Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ibu tetap Memiliki Dunia Meski Tidak Bisa Sebebas Ayah

Konten [Tampil]

 ibu dan dunianya

Ibu tetap memiliki dunia, meski telah menjadi ibu bagi anak-anaknya dan seringnya tidak bisa sebebas ayah dalam menjalani kehidupannya.

Hal ini baru saya sadari akhir-akhir ini, ketika sekian lama setiap saat, selama 24 jam per 7 hari, bareng anak-anak mulu.

Lalu akhirnya melihat cuplikan atau potongan curhatan seseorang di media sosial, yang kira-kira seperti ini.

"Setelah menikah, apalagi setelah punya anak, saya merasa ada yang hilang dari diri saya. Di mana saya sebagai ibu harus menyusui anak, harus mengurus anak. Bahkan tubuh saya, harus dibagi dengan anak dan suami. 

Saya iri sama suami, yang meski sudah menikah dan punya anak, hidupnya tidak banyak berubah. Masih bisa bebas mengejar impiannya, masih bisa lebih mudah punya waktu dengan teman-temannya tanpa khawatir meninggalkan anak di rumah!"

Jujur ya, sebelum melihat cuplikan curhatan demikian, dari dulu mah saya seringnya uring-uringan gegara hal itu.


Tentang Ayah yang Masih Bisa Bebas Meski Telah Punya Anak

Kalau dipikir-pikir, penyebab terbesar masalah rumah tangga kami tuh, karena saya menuntut keadilan sejak dulu. 

Maunya, saya begini suami juga begini.

ayah dan dunianya

Saya begitu, dia juga harus begitu.

Demikianlah ketika saya merasa bisa menghasilkan uang, bahkan lebih stabil ketimbang dia (dulunya). Saya menuntut dia bisa kayak saya, minimal sama-sama ngurus anak, biar adil.

Kan kesal ya, dia kerja di luar kota, gajinya juga nggak lebih banyak dari gaji saya. Sementara saya kerja dekat anak, sudahlah di kantor capek banget, pas diminta bos untuk lembur selalu nggak bisa karena alasan anak.

Belum lagi kalau malam, tidur jadi nggak nyenyak, karena harus bangun bikinin susu si bayi.

Lalu teringat pada pak suami, yang kayaknya kok enak banget ya dia. karena pulang seminggu sekali, that means dia bisa tidur dengan nyenyak setiap malam tanpa diganggu tangisan bayi maupun kebangun bikin susu.

Masalah ini masih berlanjut, terlebih ketika akhirnya saya memutuskan mengalah, menjadi IRT saja karena nggak sanggup membagi waktu antara anak dan kerjaan kantor.

Tapi, masalah utamanya adalah, saya dan pak suami itu sama-sama lulusan teknik sipil, dan sama-sama bekerja di dunia proyek jalan.

Ketika pak suami cerita tentang keseruannya di proyek, bahkan cerita masalah-masalah proyek, seketika hati mencelos, menahan rasa iri padanya.

Iya, rasanya kok iri banget liat pak suami yang meski sudah nikah, dan punya anak, tapi rasanya tak banyak yang berubah dari hidupnya.

Masih bisa kerja mengejar impiannya, membangun karirnya. Apalagi sekarang dia kerja di luar kota, berjarak ratusan KM dari anak-anaknya. Fix dah, dia bisa bebas sebebasnya.

Semua masalah rumah dan anak, saya yang nanggung.

Dia mah, cukup kerja, pulang ya tidur, belum ngantuk ya bisa main, atau melakukan hal-hal layaknya bujang.


Tentang Ibu yang Merasa Tak Bisa Bebas Lagi Ketika Punya Anak

Berbeda dengan menjadi ibu, ketika anak masih bayi seolah tubuh kita bukan lagi milik kita sendiri. Anak-anak butuh ASI ibunya, bahkan ibu yang menyusui anaknya melalui ASI perah pun dikatakan 'tidak punya kedekatan dengan anaknya'.

Bahkan ketika butuh me time seorang ibu dan mendapatkannya, dengan kooperatif suami yang mau menjaga anak-anak. Nyatanya me time yang dibutuhkan itu tetap tidak bisa berjalan mulus, entah kepikiran anak atau semacamnya.

Jangankan impian dan karir sebagai wanita, tubuh milik pribadi saja harus berbagi dengan manusia lain. Apalagi mengejar karir, tidak terhitung wanita yang sebelum menikah punya karir yang cemerlang.

kebebasan ibu terkukung

Setelah menikah, baik diminta pasangan ataupun diminta oleh kondisi, terpaksa mengubur karirnya, dan memilih mendampingi anak-anaknya.

Kalaupun ada wanita yang berstatus ibu, masih punya kesempatan menikmati dan membangun karirnya. Itupun dilakukan dengan tidak tenang, terpikir anak-anak di rumah gimana?

Terpikir ketika anak iri melihat anak lainnya selalu didampingi ibunya.

Apalagi ketika momen anak sakit, dijamin banyak ibu yang terpaksa berangkat ngantor ditemani air mata yang bercucuran. Karena nggak tega meninggalkan anak sakit di rumah dengan orang lain.


Kenyataannya Ibupun Tetap Memiliki Dunia Ketika Punya Anak

Saya melewati masa-masa berdamai dengan rasa iri itu dengan waktu yang tidak sebentar. Sejak punya anak pertama, terlebih ketika si Adik lahir dengan jarak 7 tahun dari kakaknya.

Rasanya masa terberat menjadi ibu semakin terasa buat saya.

Apalagi, sejak anak kedua lahir, pak suami makin error, makin ingin menuntut waktu dan kebebasan layaknya bujang.

Tidak peduli, saya tidak punya siapa-siapa di negeri orang ini. Ditinggalkannya kami, tanpa dititipkan ke siapapun, sama sekali.

Bahkan seringnya tanpa komunikasi sama sekali, baik dengan saya maupun anak-anak. Semakin berat terasa beban di pundak saya, ketika harus menanggung semuanya, tanpa ada tempat untuk mengadu atau berbagi beban.

Rasanya semakin kesal pada dunia, semakin merasa tidak ada keadilan buat seorang wanita. 

Namun syukurlah akhir-akhir ini saya memang lebih sering belajar untuk menerima apapun dalam dunia ini, termasuk menerima bahwa dunia memang tidak adil.

Dari perjalanan menerima semuanya itu, Alhamdulillah mata saya jadi lebih terbuka. Di mana, saya lebih sering melihat dari banyak arah, bukan hanya dari sisi saya seorang.

Ditambah dengan begitu banyak hal menakjubkan yang saya rasakan bersama anak-anak setiap hari, setiap saat.

Mulai dari anak-anak, yang meskipun dimarahin habis-habisan, mereka selalu punya 1001 maaf untuk mami galaknya ini.

Anak-anak yang selalu memperlakukan saya dengan manis, selalu mau berbagi apapun, termasuk hal-hal yang mereka sukai. 

Terutama si Kakak, yang berasa menggantikan sikap papinya ketika dulu masih sangat manis ke saya.

Lama-lama saya jadi menyadari, bahwa sebenarnya dunia saya tidak pernah hilang, meski saya sudah menjadi ibu.

Justru dengan menjadi ibu, saya memiliki dunia yang jauh lebih luas dari pak suami yang terlihat bebas di luar sana.

Saya punya anak-anak, saya memiliki hati anak-anak, saya memiliki waktu anak-anak sepenuhnya. Saya masih bisa memeluk anak-anak setiap waktu, masih bisa tidur bareng anak-anak setiap waktu.

Masih bisa berboncengan bertiga ke mana-mana.

Meski saya tidak pernah merasakan masa kecil seperti masa kecil anak-anak yang selalu bersama maminya. Tapi saya tahu, selalu bareng maminya adalah impian semua anak di dunia ini.

Si kakak contohnya, dulu dia pernah dititipin ke daycare Sidoarjo, lantaran maminya harus kerja kantoran.

Kasih banget dong dia, selalu sedih dan murung setiap kali diantar ke sekolahnya. Selalu murung ketika mami jemput di sore hari dan telat jemputnya.

Selalu sedih ketika ada acara sekolah, dia hanya bisa didampingi gurunya saja, sementara anak lainnya bareng ibunya.

Si Adik Dayyan tidak mengalami hal itu. Setiap hari dia diantar jemput oleh maminya. Setiap mereka pengen sesuatu dan ada isi rekening Mami, dijamin tanpa mikir mami akan mengajak mereka untuk bersenang-senang.

Intinya, bersama anak-anak, membagi waktu atau menyediakan waktu buat anak, seolah memberikan semua waktu kita kepada dunia.

Balasan yang akan kita terima di dunia saja mengasyikan, di mana anak-anak jadi lebih dekat dan lebih mencintai ibunya.

Dicintai seseorang dengan tulus itu, sangat luar biasa. Apa lagi dicintai oleh 2 orang sekaligus tanpa dendam, meski maminya kadang jadi super galak.

Kata siapa ibu tidak lagi punya dirinya? kata siapa, ibu tidak lagi mampu mengejar impiannya? Justru ibu memang tak perlu mengejar impian. Karena dunia telah datang kepada ibu, melalui keikhlasan malaikat-malaikat kecil dari rahim kita.

Jadi, bagi saya, ibu masih tetap memiliki dunianya, meski sudah punya anak.

Dan dunia paling besar dan indah bagi ibu, ya anak-anaknya. Terbayang kan, bagaimana lelahnya kita mengurus anak-anak, lalu ketika dewasa anak-anak tetap tak ragu untuk mencintai ibunya.

Maka dunia mana lagi yang akan kita butuhkan?

Bandingkan dengan ayah, yang meski mereka punya banyak waktu khusus untuk mengejar impiannya, membahagiakan dirinya. Sejujurnya, mereka tak pernah bisa mendapatkan impiannya berupa dunia. Karena dunia itu ada di anak-anak, dan sayangnya anak-anak jadi berjarak dengan ayahnya, karena jarang bonding dengan anak.

Bagaimana bisa hidup tetap terasa indah, jika dunia kita tak mau dekat dengan kita?

Begitulah kira-kira posisi kedudukan ayah ibu dalam mengejar impiannya, setelah punya anak.


Surabaya, 17 Januari 2024

Post a Comment for "Ibu tetap Memiliki Dunia Meski Tidak Bisa Sebebas Ayah"