Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sayangi Mentalmu Bu, Sikap Ayah Ke Anak Bukan Tanggung Jawabmu!

Konten [Tampil]

sayangi mental ibu

Dear para moms, ada yang ngeh nggak sih, kalau kita para ibu ini, seringnya terlalu berlebihan menjadi seorang parents.

Salah satunya adalah, merasa bersalah jika ayah anak-anak kita, tidak bisa menjadi ayah terbaik untuk mereka. Seolah memberikan ayah terbaik buat anak itu adalah, tanggung jawab ibu semata.

 

Tidak jarang, ibu mendikte ayah dalam memperlakukan anaknya. Atau ibu akan marah jika ayahnya memarahi anaknya.

Di lain waktu, ibu akan menghadapi segala keruwetan yang ada, menuntut sang ayah memenuhi kebutuhan anak dengan baik. Lalu memaksa anak untuk menghormati ayahnya, karena sudah menafkahinya dengan baik. Meskipun mungkin tidak seperti itu.

Ini yang saya alami sejak menjadi ibu.

Apalagi, ibu dari anak-anak lelaki, which is kita tahu persis bahwa sangat jarang anak lelaki bisa dekat dengan ayahnya.

Dan iyes! anak-anak saya, khususnya si sulung, sangat sulit bisa dekat secara emosional kepada papinya. Terlebih setelah dia terlalu sering menjadi saksi mami papinya berantem. Ditambah, papinya suka kabur dan menghilang tanpa kabar hingga berhari-hari, sesuka hatinya.

Penyebab lainnya adalah, papinya tidak bisa mendidik si Kakak dengan kesabaran, dia sering membentak si Kakak, bahkan memukulnya, lalu tak pernah meminta maaf secara langsung ke anaknya. Semakin menjadilah ketidak pedulian si sulung terhadap papinya.

Gara-gara sikapnya itu, si Kakak sangat tidak punya empati ke papinya. Bahkan ketika papinya pernah kecelakaan dan masuk UGD di Lamongan, si Kakak biasa aja tuh, nggak peduli sama keadaan papinya.


Well, sejatinya sayapun bukan ibu terbaik buat si kakak. Sering banget, ketika lagi stres, saya membentak bahkan ngamuk kayak singa ke anak-anak.

Cuman, mungkin Allah masih menyayangi saya kali ya, dikasihlah saya kesempatan oleh-Nya untuk berusaha menjadi ibu yang baik. Jadi, ketika saya yang terbiasa meminta maaf kepada mereka, dengan cara memeluknya sebelum tidur, menjelaskan sikap maminya yang kayak singa itu, dan meminta anak-anak mendoakan maminya bisa jadi orang sabar. Alhamdulillah, anak-anak masih bisa memahami maminya yang masih selalu berusaha hingga detik ini.

Di sisi lain, mungkin ini berkah saya menjadi ibu rumah tangga kali ya, selalu bisa bersama anak bahkan nyaris 24 jam selalu bareng anak.

Jujur, kadang saya merasa bosan, sampai eneg ke anak-anak. Being a mom introvert diekori anak 24 jam itu, bikin energi sosial saya jadi minus. Dan inilah pemicu lain dari sikap mami yang suka ngamuk kek singa, hahaha.

Tapi, belakangan saya jadi bersyukur akan kondisi anak-anak yang selalu bersama maminya nyaris 24 jam. Karena lebih mudah buat saya menyentuh hati mereka, ketimbang papinya.

Jadi ingat cerita film Jepang Mother, ada yang pernah nonton nggak?

Saya pernah nulis review film itu di blog reyneraea.com, di mana menurut saya pesan film itu bukan hanya tentang ibu yang toksik. Tapi bagaimana bonding ibu dan anak mengalahkan segalanya.

Kita juga pernah dengar kan, beberapa kata-kata galau relationship.

"Karena yang baik, akan kalah sama yang selalu ada!"

Yup, begitulah, setoksik apapun ibu, selama dia selalu ada untuk anak-anaknya, akan lebih baik dalam mengetuk hati anaknya dibanding ibu yang jarang ada secara langsung di hidup anaknya.

  

Begitu pula cerita saya dengan anak-anak, meski saya galak, tapi mereka selalu mencintai maminya ini. Berbeda dengan papinya, yang bahkan dalam setahun cuman bisa bertemu anaknya nggak sampai 2 mingguan kali.

I mean, papinya memang ada jadwal cuti pulang melihat anak-anaknya. Tapi dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk ke rumah saudara-saudaranya, atau ke rumah temannya, ke rumah bapaknya. Atau berkumpul dengan tetangga di rumah bapaknya.

Waktu buat anaknya, palingan cuman sejam 2 jam, itupun kepotong oleh benda kesayangannya, si HP.


Ketika Mental Si Kakak Terobrak Abrik Karena Harus Berhadapan Langsung dengan Papinya

Jadi ceritanya, si Kakak sudah beberapa hari ini lagi pusing banget. Penyebabnya adalah, karena dia harus berhubungan langsung ke papinya, meminta nafkah mereka bulan ini.

Sudah sejak beberapa lama, papinya memang memutuskan 'memegang' gajinya sendiri. Dia hanya mengirimi kami sedikit-sedikit, sesuka hatinya alias nggak ada jadwal pastinya.

Tapi, seringnya dia abai, yang bikin saya gregetan banget.

Ya kan, di awal bulan, seharusnya tak perlulah dia menunggu saya minta, langsung dikirimkan aja seperti pengeluaran yang sudah saya berikan rinciannya sejak lama.

Itupun, semua rincian itu cuman untuk makan anak-anak, uang sekolah, air listrik dan sewa kamar di Surabaya, juga belanja keperluan rumah tangga. 

Kebutuhan anak lainnya, kayak perlengkapan sekolah, apalagi kebutuhan pribadi saya, kayak pembalut, skincare dan lainnya, ya saya beli sendiri pakai uang penghasilan saya sebagai blogger.

Sejujurnya jika kami sepakat, bahwa nafkah anak keseluruhan adalah tanggung jawabnya, karena dia sama sekali tidak pernah berperan dalam mengurus anak, dengan alasan jauh. Sementara saya bertanggung jawab mengurus semuanya di sini. Semua akan baik-baik saja.

Dan saya mungkin bisa mengikuti beberapa teman lainnya, yang bisa menyenangkan dirinya sendiri, dengan membeli barang impiannya, dari tabungan hasil ngeblognya.

Penghasilan blog saya, Alhamdulillah lumayan sih, tapi sama sekali nggak bisa ditabung. Padahal, saya mupeng loh menabung di reksa dana atau semacamnya *uhuk.

Tapi, karena papinya anak-anak tidak pernah bisa memenuhi kebutuhan anak-anak dengan baik, jadinya semua penghasilan saya terpakai untuk kebutuhan harian kami.

Namun, sebagaimanapun saya bekerja, jujur penghasilan saya belum bisa menutupi semua kebutuhan yang ada, apalagi dengan kondisi ekonomi sekarang, apa-apa mahal.

Jadinya, ketika semua penghasilan saya terpakai, maka harapan satu-satunya ya wajib minta kewajiban papinya.

Masalahnya adalah, papinya anak-anak itu sering sesuka hatinya tidak merespon chat saya. Sudah terjadi bertahun-tahun sih, bahkan kadang dia menghilang begitu aja, padahal sebelumnya kami nggak ada masalah apapun.

Nggak usah tanya bagaimana sakit hati ini, that's why saya sering banget mengeluh di media sosial, sebenarnya selain guna menyalurkan emosi hati yang membuncah, yang bakal bahaya banget kalau nggak saya keluarkan, karena akan mengancam kena di anak-anak.

Pun juga sejujurnya saya berharap agar teman-temannya atau keluarganya yang berteman dengan saya di medsos, bisa menasihatinya.

Selama bertahun-tahun, saya stres dengan kelakuannya yang KDRT mental dengan mendiamkan kami tanpa alasan lalu setelahnya tanpa minta maaf atau penjelasan, dia seenaknya datang ke kami.

Jika saya protes, wah dia yang lebih marah lagi. Ujungnya dia segera ambil tas dan bajunya lalu pergi tanpa kabar, tanpa apapun berhari-hari, sampai dia puas, baru pulang.

Saya nggak tahu sih dia ke mana, tapi kalau mendengar ketika saudara-saudaranya ngobrol, sepertinya dia ke rumah kakak-kakaknya dan puas tiduran di sana.

Ketika dia seenaknya pergi, nggak peduli di rumah ada makanan, ada uang, anak-anaknya makan atau enggak.

Bukan main mental saya terganggu, suka ngamuk untuk hal sekecil apapun ke anak-anak. Sedih banget karena saya sering membentak anak-anak, padahal mereka hanya melakukan kesalahan kecil.

Sampai akhirnya saya berpikir, hal ini salah banget, dan harus diakhiri.

Caranya adalah, dengan menyuruh anak-anaknya minta langsung kebutuhan mereka ke papinya.

Dan begitulah, sejak beberapa hari lalu, si Kakak bertugas menanyakan nafkah kebutuhan mereka bulan ini. Tentu saja nggak dibalas dong sama papinya.

Sakit hati banget anak-anak, dan menghasilkan muka murung mereka seharian.

Saya ngakak, dalam hati saya berguman,

"Ya elah anak-anak, baru tahu kan rasanya jadi mami, mengalami hal itu bertahun-tahun lamanya, demi kalian?"

Andai nggak ada anak-anak, atau andai saya punya penghasilan yang bisa menafkahi anak-anak dengan baik. Nggak pakai ba bi bu, langsung say babay aja.

Sebenarnya si Kakak udah tersinggung banget dengan sikap diam papinya, akhirnya saya kasih ide untuk cari tahu dari pakdenya, yang kebetulan kerjanya juga di pulau yang sama. Dulunya proyeknya sama pulak.

Dan syukurlah pakdenya segera merespon, memberitahukan ke papinya anak-anak. Berikutnya anak-anak bisa meminta langsung haknya ke papinya, tapi tetap saja tidak dikirim sebanyak kebutuhan anak-anaknya.

Saya nggak bisa berbuat apa-apa, jadinya meminta si Kakak untuk tetap minta papinya. Ye kan, emang maminya ini bisa dapat uang banyak dari mana? Hanya papinya yang memang bekerja tanpa diganggu anak, yang jadi harapan anak-anaknya.

Namun, jawaban papinya sungguh di luar nalar.

Si kakak habis kena makian, dikata-katain bacot, cerewet, bahkan disuruh cari uang sendiri untuk kebutuhannya.

Luar biasa mental si Kakak, sampai gemetaran dia saking menahan kesal. Dan saya hanya bisa memeluknya menguatkan, sambil mengatakan bahwa papinya asal ngomong, toh papinya aja bukan orang sempurna, bagaimana berharap anak sempurna?.

Saking kesalnya juga saya menceritakan ke kakak, bagaimana dulu eyang putrinya harus berhutang ke sana sini, demi membeli makanan buat anak-anaknya.

Bahkan, sampai ibunya menjelang kepergiannya awal tahun lalu, ternyata eyangnya masih juga punya hutang di tempat lain, untuk berbelanja bahan makanan.

Pretlah papinya, nyuruh anaknya bisa cari uang bantuin ortu. Lah dia sendiri, sampai setua itu, dan ibunya meninggal, tapi dia belum pernah bisa bantuin ibunya padahal ya ibunya butuh buat masakin mereka semua. 


Dear Para Ibu, Sayangi Mentalmu, Ayah Seharusnya Bertanggung Jawab Atas Sikapnya Sendiri ke Anak

Ketika saya menuliskan hal tersebut saking kesalnya, beberapa orang memberikan tanggapan, dan kebanyakan tanggapannya bernada begini,

"Ya ampun, kasian si kakak Mbak Rey, mentalnya hancur, biar gimanapun dia tak pernah meminta punya ayah seperti itu!"

Loh loh loh!

Apa maksudnya tuh?

Saya 'mencium' aroma tentang kesalahan ibu dalam memilihkan ayah yang baik untuk anaknya. Ini wajar ya, karena dewasa ini, banyak banget perkataan demikian beredar di media sosial.

 "Anak tidak pernah bisa memilih ayahnya, tapi ibu bisa memilihkan ayah terbaik untuk anaknya!"

Wah....

Mungkin karena inilah, kebanyakan para ibu berjuang mati-matian menjadi penengah ayah dan anaknya. Kayak yang saya lakukan selama ini, saya nggak mau si Kakak benci ke papinya, demikian juga sebaliknya.

Tapi, bayarannya adalah mental saya babak belur banget.

Selain itu saya pun menyadari banyak hal bahwa,


1. Tidak semua ibu salah memilih ayah buat anaknya, sebagian ayah yang gagal menjadikan dirinya seorang ayah terbaik

Anak terlahir dari ayah yang tidak memberikan teladan baik? bukan semata salah ibu dong. Kenyataannya banyak wanita yang menikah dengan lelaki baik-baik, tapi di tengah perjalanan kehidupan, si ayah memutuskan jadi tidak baik.

Saya contohnya.

Duh, si papinya anak-anak itu, nggak baiknya dari mana cobak dulu?.

Kami berpacaran 8 tahun, sebelum akhirnya bisa menikah. Selama pacaran, bahkan biaya hidup saya sempat ditanggung beberapa bulan oleh lelaki itu, saking saya belum dapat kerja dan mama saya nggak mau support saya dengan uang lagi.

Si papinya anak-anak itu, punya kakak laki yang bermasalah dengan istrinya, dan seenakna meninggalkan anak istrinya tanpa nafkah sedikitpun. Dan si papinya anak-anak ngamuk ke kakaknya ketika itu, sampai mereka berantem keras.

Sedemikian pedulinya dia akan keponakannya, dan memang sayang banget sama keponakannya tersebut. Dia juga dulunya lelaki yang super manis, selalu meratukan saya, bahkan di atas ibunya sendiri.

Lalu, ketika menikah, terutama sejak kelahiran anak kedua kami, dia mulai berubah dan semakin parah perubahannya. 

Sampai-sampai, pakai cara apapun dia sudah terlalu jauh melenceng dari sikap baiknya dulu.

Lalu, ketika itu terjadi, mengapa bisa dikatakan bahwa itu adalah kesalahan ibu dalam memilihkan ayah terbaik untuk anaknya?

Tidak ya, bukan salah ibu, tapi memang ayahnya yang berubah.


2. Ayah adalah manusia dewasa yang punya akal dan pikiran

Hal penting lainnya adalah, mengapa ibu tidak bisa disalahkan akan sikap buruk ayah ke anaknya adalah, karena ayah adalah manusia dewasa yang punya akal pikiran.

Sangatlah tak punya harga diri, kalau meletakan tanggung jawabnya sebagai pendidik anak lelaki ke ibu, dan sesukanya menghadapi anak lelakinya sesuai keinginannya.

Lalu ketika anak rusak mentalnya, menyalahkan ibu?

Itu akal dan pikirannya buat apa dong?


3. Sikap ayah ke anaknya adalah di luar kendali kita sebagai ibu

And last but not least adalah bagaimana sikap ayah ke anaknya, adalah sesuatu yang di luar kendali ibu. Yang bisa mengendalikan hal itu ya si ayah sendiri. 

Apalagi merujuk ke poin nomor 2 di atas, di mana ayah adalah seorang manusia dewasa, bukan batu.


Surabaya, 12 Maret 2024

Post a Comment for "Sayangi Mentalmu Bu, Sikap Ayah Ke Anak Bukan Tanggung Jawabmu!"