Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jika Tak Mampu Menafkahi Uang Dengan Cukup, Bekerjasamalah!

Konten [Tampil]

suami tak mampu menafkahi

Dear para suami, jika kalian tidak mampu memberikan nafkah uang dengan cukup untuk anak istrimu, maka bekerja keraslah.

Sesungguhnya, saya tetap meyakini tidak ada rumah tangga yang gagal karena ekonomi. Alasan utamanya adalah sikap dari suami dan istri dalam menghadapi ujian kehidupan.

Karena, plis lah, bahkan milyader dunia pun saya rasa pernah mengalami masalah keuangan. Tidak ada manusia di dunia yang sejak lahir sampai tua tak pernah merasakan masalah keuangan. 

Kecuali manusia yang lahir di keluarga kaya, tapi nggak lama kemudian selesai waktunya di dunia.

Maka bayangkan, jika ekonomi menjadi penyebab kegagalan rumah tangga, dijamin nggak akan ada kakek nenek mesra yang kita liat menjadi sasaran sorotan kamera netizen.


Belajar Dari Akar Masalah Ekonomi Rumah Tangga

Sebagai istri, saya tuh sudah sampai di tahap 'terserah kamu dah' dalam menghadapi papinya anak-anak.

akar masalah ekonomi

Sebenarnya ini tidak baik ya, seorang psikolog yang bisa menjadi sebuah konsultasi pernikahan pernah menasihati saya. Bahwa sebaiknya menghadapi suami itu, bagaikan layangan.

Jadi, biarkan suami memutuskan karena dia yang memimpin, dan lelaki emang ditakdirkan punya ego sebagai pemimpin. Tapi jangan dilepas begitu saja.

Contoh mudah untuk dipahaminya begini,

Kita sebagai wanita (kebanyakan) memang diberikan kelebihan dalam hal perencanaan yang lebih matang ketimbang para lelaki. 

Sayangnya, seringnya hal itu menjadikan wanita bertindak berlebihan sehingga melukai harga diri lelaki.

Dalam hal yang paling sederhana aja misalnya, kayak memilih pakaian ketika hendak bepergian. Para istri kan cenderung memilihkan suami pakaian apa yang harus dipakai, sesuai keinginan istri. Seringnya mengabaikan perasaan suami, apakah dia suka atau enggak baju itu.

Menurut psikolog, sikap istri seharusnya gini.

Alih-alih memilihkan baju apa yang harus suami kenakan, lebih baik memilihkan opsi yang luas, agar suami terbiasa memilih keinginannya, tapi juga masih di dalam kontrol yang baik.

Masalahnya adalah, dalam praktik milih baju sih gampiiilll buat saya, apalagi di usia sekarang saya udah nggak peduli dengan penampilan suami yak, terserah dia mau pakai baju apa yang nyaman.

Tapi, kalau masalah masa depan dan keuangan, ternyata susah amiiirr.

Unfortunally, saya dan papinya anak-anak itu, sama-sama manusia yang kurang pandai menabung. Tapi, kelebihan saya (di mata saya ya!) adalah sosok manusia yang sangat takut kekurangan, sangat takut berhutang.

Sementara papinya anak-anak, menganggap hutang itu biasa.

Dalam hal itu saja, udah beda banget.

***Baiklah, saya akan menjawab pertanyaan spontan di benak pembaca,

"Kalau udah tahu 'beda banget' kenapa mau nikah, Rey!"

Jawabannya adalah: karena saya sudah melewati 8 tahun untuk membuktikan bahwa si lelaki ini tidak pernah bosan untuk menjalani rumus hubungan kami.

Rumus hubungan kami : ada beberapa hal yang wajib ikut aturan saya! satu di antaranya adalah masalah keuangan.

******

Lanjut yak.

Masalahnya dari sikap 'menganggap hutang itu biasa', apalagi ditambah dengan sikap kakak-kakaknya yang terbiasa membantunya dalam masalah keuangan. Makin tak ada rasa 'takut' deh buat papinya anak-anak dalam menjalani hidup 'apa adanya' (kalau nggak ada, tinggal hutang alias minta kakaknya).

Sikap itu diperparah dengan ego blio dalam bekerja.

Saya nggak tahu ya, apakah anak-anak yang punya ortu 'pernah terlihat sukses', lalu akhirnya down dengan cepatnya. Akan menghasilkan anak yang terobsesi menggantikan kesuksesan ayahnya di bidang yang sama?.

Karena begitulah sikap paksu, dia benar-benar terobsesi bekerja di tempat yang dia sukai, yaitu proyek. Masalah besarnya adalah, dia 'hanya bekerja' sesuai job desc di proyek itu.

Alhasil, dia harus bisa mengikuti ke manapun proyek itu berpindah (jika tenaganya masih dipakai, karena dia bukan karyawan tetap).

Obsesinya memang menjadi karyawan tetap, masalahnya adalah persaingan begitu banyak, dan sulit untuk bersaing, kalau kita bekerja dengan standar saja.

Sebagai seorang wanita dan istri, apalagi terbiasa bekerja di atas rata-rata sehingga disayang bos kayak saya, tentunya sudah bisa membayangkan, bagaimana ujung karirnya.

Sangat sulit bersaing jika memilih cara aman seperti itu.

Jadi, tawaran saya adalah, kami wajib bekerja satu kota, dengan porsi kerja yang tidak terlalu berlebihan satu sama lainnya, sehingga kami bisa sama-sama mengurus anak dan rumah dengan baik dan adil.

Adil yang saya maksud ini, bukannya fifty fifty ya. 

Tapi setidaknya kalau kami bekerja satu kota, kami bisa bergantian mengurus anak sesuai tanggung jawab pekerjaan kami.

Misal gini,

Kalau suami lembur, saya mengalah untuk menolak perintah lembur atau semacamnya, karena harus menjaga anak.

Di lain waktu, suami yang harus mengalah, ketika saya harus lembur dia yang mengalah nggak boleh lembur, karena dia yang akan mengurus anak.

Demikian juga ketika anak sakit, kami bisa bergantian jagainnya.

Dan untuk itu, akan sulit dilakukan, jika kami hidup beda kota.

Sulit itu, bukan hanya dalam overthinking saya semata, tapi memang sudah dijalankan.

Saya pernah hamil sampai terpaksa melahirkan prematur dan disesar. Dugaan saya karena terlalu lelah. Ketika hamil pertama kali, saya tetap bekerja dan naik motor sendiri menempuh perjalanan PP sejauh 35 KM setiap harinya.

Hal ini harus saya jalani, karena paksu bekerja di luar kota, dan kami putuskan tinggal di dekat terminal luar kota, jadi masih bisa ketemu setiap hari atau 2 hari sekali, karena paksu bisa pulang dan dekat terminal.

Setelah anak lahir, saya harus tinggal di rumah mertua, karena tidak berani meninggalkan bayi diasuh orang asing tanpa diawasi keluarga.

Meski bisa dikatakan tidak mengalami konflik yang parah dengan mertua, tapi saya sangat tersiksa. Karena tinggal di rumah mertua, itu berarti kudu nurut aturan mertua. Yang jujur sangat merugikan saya.

Sering banget saya telat berangkat kerja karena anak nggak ada yang urus. Saya juga udah nggak bisa lembur, padahal kerjaan saya memang butuh lembur, karena sore hari mertua sudah ribut nanya saya kapan pulang, padahal ada pembantu yang kami bayar untuk di rumah.

Intinya, saya sulit berkembang dalam dunia kerja, dan sering kena marah bos gara-gara tidak bisa bekerja maksimal sejak punya anak.

Karena itulah, saya selalu marah dan uring-uringan, meminta paksu untuk mencari kerjaan di kota yang sama aja. Gaji kecil juga tak masalah, toh kan baru pertama kali masuk.

Dan kami masih bisa tinggal di rumah mertua. Sebaik-baiknya mertua ya, akan lebih damai kita tinggal di rumah mertua, kalau suami selalu ada di rumah setiap hari.

Karena lelah kena marah mulu di kantor, dan suami nggak mau diminta kerjasama di kota yang sama. Akhirnya saya kasih pilihan, bahwa saya akan berhenti bekerja saja, dan membiarkan dia yang kerja saja. 

Dan ternyata paksu nggak gentar dan menerima keputusan itu.

Demikianlah awal mula keuangan kami makin kacau.

Well, ketika saya masih bekerja, meski gajinya kecil, tapi mungkin karena saya selalu bekerja melampaui gajinya kali ya. Alhamdulillah kami selalu merasa cukup, bahkan bahagia karena bisa selalu kasih mertua, bisa beliin ibu mertua hal-hal yang disukainya.

Tinggal di rumah mertuapun, berasa ngontrak, karena kami membayar banyak hal selain biaya kamar kali ya.

Setelah resign, saya memilih ikut paksu ke tempat kerjanya, karena anak masih bayi kan, buat apa jauh-jauhan, apalagi saya dititipin di rumah mertua. 

Duh, saya bisa tenang tinggal di rumah mertua sebelumnya, karena saya kerja dan bisa kasih duit ke mertua. Jadi, mertua nggak punya alasan buat menyakiti perasaan saya.

Tapi, gimana kalau saya nggak bisa lagi kasih duit karena memang yang kerja cuman paksu?.

Ternyata, meski selama resign saya mencoba banyak hal untuk bisa menghasilkan uang, ternyata keuangan kami hancur di tahun ke-3 resign saya.

Sebenarnya, bisa dikatakan, keuangan hancur ketika paksu mulai menyembunyikan cash flow keuangan kami. Hidup dengan cara dia mengelola keuangan, di mana ini sulit saya terima.

Cara paksu itu adalah life goooo with flow.

Iya sih, mungkin bagus aja ikut aliran air, tapi kalau kita lengah, airnya belok ke comberan bahkan ke septiktank, bukannya ke laut.

Dan begitulah, airnya benar-benar belok ke comberan.

Kami down dengan sangat parah, dan saya hampir pengen bunuh diri rasanya menemukan kenyataan, kalau paksu punya hutang puluhan juta.

Yang bikin mau bunuh diri itu adalah, hutang itu karena hal-hal yang nggak jelas. 

I mean, kalau berhutang buat bikin usaha atau apa kan masih bisa dipahami, tapi ini hanya buat gaya hidup.

Dan tahu nggak apa yang bikin saya mau mati aja?. Karena saya tidak terbiasa dengan hutang, dan sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan keluarga suami.

Bisa ditebak?

Iyes! mereka semua menyalahkan saya, dengan gaya hidup saya yang tinggi, mengakibatkan suami berhutang puluhan juta, bahkan nyaris masuk penjara karena melakukan sebuah perbuatan yang salah.

Dia beruntung, punya ibu luar biasa yang mendidik anak-anaknya bisa saling bantu, meskipun itu jadi boomerang buruk juga sih buat dia.

Karena kakaknya menyelamatkan dia dari masalahnya.

Sejujurnya, andai saya mau mengikuti kata ortu ketika itu, mungkin saya sudah bisa terlepas dari masalah yang sama sampai bertahun-tahun ke depannya.

Masalah keuangan yang bikin saya pengen mati aja itu, tidak berhenti sampai di situ. Alih-alih minta maaf, paksu malah nambahin kesalahannya dengan sengaja ngejar-ngejar wanita lain.

Ketika itu, bapak saya ada di Surabaya, dan tidak diperlakukan dengan baik oleh paksu. Bahkan berani merokok di depan bapak saya, seolah menantang saya dan bapak.

Sayangnya, bapak mendidik saya menjadi wanita pantang menyerah. Bukannya ikut bapak pulang dan diusahain cari kerjaan di Buton, eh malah saya bantuin paksu dengan kembali bekerja.

Alhamdulillah, berkat saya balik bekerja, hutangnya yang ada di mana-mana itu, lunas dalam setahun. Meskipun mengorbankan anak dan diri sendiri demi harus bekerja.

Si kakak bolak balik sakit, dan ujungnya masuk RS dan berakhir dengan dia harus minum obat TBC tanpa pemeriksaan terlebih dahulu.

Sakit hati banget saya melihat si Kakak yang bahkan rambutnya rontok saking kerasnya obat TBC itu. Masalahnya adalah, dia tidak terbukti kalau benar-benar mengidap TBC, langsung diresepin aja obat TBC dan sayangnya saya nggak tahu kalau itu obat TBC karena profesor nya nggak jelasin, hiks.

Karena itulah, saya akhirnya memutuskan resign lagi, ketika semua hutang lunas, dan keuangan masih terkontrol juga dari gajinya.

Setelah resign, sebenarnya semua masih terkontrol, dan saya berani bersaksi, bahwa Allah benar-benar Maha Besar dan Maha Benar tentang rezeki keluarga tak bergantung dari istri juga harus bekerja.

Yang jadi masalah itu ketika akhirnya paksu lagi-lagi memutuskan kehidupan secara sepihak. Mulai lagi nggak jujur dengan keuangan.

Menolak cara hidup saya dengan nol hutang, kalau nggak mampu ya usaha dong! jangan hutang.

Lagi-lagi dia telibat masalah keuangan, dan kali ini dia benar-benar nggak mau terbuka dengan saya, bahkan kepada ortunya pun dia ogah terbuka.

Hasilnya gimana? Ya bahkan sampai detik ini, saya belain nggak masalah kurang tidur, nggak masalah kesehatan saya taruhannya. Yang penting saya harus bekerja terus. Biar Allah selalu ngasih kami rezeki.

Karna apa?

Paksu sih Alhamdulillah masih kerja, tapi entah karena sikap buruknya yang bolak balik menyakiti hati saya. Dengan selalu sulit dihubungi ketika kami butuh uang di sini.

Ditambah sepertinya dia punya banyak tanggungan hutang, dan belum terbayar bahkan cuekin orang yang nagih.

Udah bisa ketebak dong hasilnya?

Iya... rezekinya selalu seret.


Bukan Ekonomi yang Jadi Penyebab Utama Masalah Keuangan Jadi Masalah Besar Bagi Rumah Tangga

Dari masalah itulah saya bisa menyimpulkan, sebenarnya bukan masalah ekonomi yang jadi penyebab gagalnya rumah tangga.

penyebab masalah ekonomi

Karena, tidak semua istri memilih mundur, ketika suami terjebak masalah keuangan, meskipun semua itu sudah diperingatkan istri berulang kali.

Saya contohnya, dan mungkin masih banyak istri di luar sana yang melakukan hal yang sama.

Alih-alih meninggalkan suami yang sedang terpuruk, bahkan ditambah dengan sikap pengecutnya nambahin masalah dengan coba berselingkuh.

Nyatanya saya bahkan sibuk mencari uang agar bisa membuat rumah tangga kami kembali di dalam lintasan yang benar.

Nyatanya saya berhasil kan.

Sayangnya, diulang kembali, dan saat ini sikapnya makin menantang kehidupan.

Andai paksu dulu nurut keinginan saya, di mana blio cari saja kerjaan di Surabaya. Gajinya kecil nggak masalah, karena nggak mungkin kan kita bekerja hanya mendapatkan gaji semata, tapi tentunya ada ilmunya.

Siapa tahu ke depannya bisa bikin usaha sendiri, dan masih ada karir istri yang jadi penyanggah, jika suami mau bikin usaha sendiri.

As we know, seseorang yang sedang mulai bikin usaha kecil itu, nggak akan bisa menafkahi keluarganya, kecuali punya dana simpanan tertentu.

Nah, kalau istri bekerja, kan ada yang membantu melengkapi kebutuhan keluarga dulu.

Tapi, sama kayak suami yang butuh dukungan istri sepenuhnya ketika membangun karir. Istri juga demikian.

Tidak ada orang yang bisa sukses dalam pekerjaannya, kalau semua dilakukannya sendiri. Ibu Megawati yang jadi pemimpin partai itu, nggak mungkin bisa mencapai posisi itu, kalau dia setiap hari masih rempong dengan masak, cuci piring, nyuapin anak, jagain anak sakit sampai izin melulu.

Sama!

Istri juga butuh dukungan suami secara langsung. 

Dan itu hanya bisa terjadi, kalau suami istri hidup sekota.

Dan tak perlu khawatir dengan harga diri suami yang akan jatuh ketika istri kerja. Enggak kok.

Saya pikir, tidak ada istri yang merendahkan suaminya karena mungkin istrinya lebih sukses. Yang terjadi adalah, istri merendahkan suami yang SIKAPNYA nggak tahu diri!

Misal, udah tahu istri juga capek cari uang, tapi suami malah selingkuh dengan alasan istrinya terlalu sibuk.

KALAU ENGGAK MAU ISTRI SIBUK, YA KOMPETEN CARI DUITNYA BEIBEH!    

Toh kebanyakan istri sibuk cari uang, karena lakinya nggak mampu menafkahi dengan uang yang cukup kan ye.

Meskipun ada alasan lain, tapi saya pikir SEBAGIAN BESAR wanita harus kerja di luar ya karena kalau dia enggak kerja, suaminya nggak mampu memberikan uang yang cukup.

Cukup ini nggak melulu tentang rumah harus mewah, sofa harus berharga puluhan juta ya.

Dengan rumah sederhana, tapi lingkungannya aman dan sehat, dana pendidikan anak juga aman, sikap suami yang memuliakan istri. Dengan itu aja, kebanyakan istri udah bahagia banget kok.


Jadi begitulah...

Sebenarnya bukan masalah ekonomi yang jadi penyebab kegagalan rumah tangga. Tapi gagalnya manusia menyikapi ujian ekonomi secara manusiawi yang bertuhan.

Kalau nggak ada uang, ya diobrolin baik-baik toh sama istrinya, diajak diskusi bagaimana cara menyikapi hal itu. 

Apakah bisa dilakukan pengurangan pengeluaran? pos mana saja yang bisa dikurangi?

Atau, jika nggak bisa, apakah istri bisa membantu mencari uang? bagaimana caranya? lalu gimana menyikapi waktu istri yang cari uang?

Banyak hal yang harus dibicarakan.

Bukannya malah diam dan nggak berbuat apa-apa, dan memberikan kata,

"Aku lagi nggak ada pemasukan!"

Jiaaah, kalau anak istrimu bergantung padamu, trus mereka makan apa? tinggal di mana?.  Gemes kan jadinya, penasaran dulu ibunya ngajarinnya gimana?

Karena kalau mengingat masa lalu, bahkan ortu saya nggak pernah mengajarin saya dengan detail bagaimana menjadi manusia yang lebih baik. Tapi Alhamdulillah saya nggak pernah pergi mengabaikan anak-anak dan suami, bahkan dalam keadaan sesulit apapun.


Demikianlah, karenanya wahai para suami, jika tak atau belum mampu menafkahi uang dengan cukup buat anak istri, maka bekerjasamalah dengan baik sama istri. 

Ingat, dia partner hidup yang kau pilih, bukan cuman pajangan tanpa nyawa, yang ketika nggak ada uang, bisa kamu abaikan begitu saja, dan nggak bakal mati. 

Toh, jika kau memuliakan istrimu, rumah tanggamu jadi baik-baik saja, siapa yang bakal dipuja dan dihormati?

Ya, kau wahai suami.

Istrimu akan menghormatimu, dan dunia akan memberikan aplaus hebat kepada kejantanan dan kepiawaianmu menjadi sosok lelaki sejati.


Surabaya, 08 Maret 2024

#FridayMarriage

Sumber: opini dan pengalaman pribadi

Gambar: Canva edit by Rey

Post a Comment for "Jika Tak Mampu Menafkahi Uang Dengan Cukup, Bekerjasamalah!"