Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dear Mom, Tidak Ada Pengasuhan yang Sempurna Tanpa Luka

Konten [Tampil]

pengasuhan sempurna

Seiring dengan perkembangan teknologi, kampanye tentang pengasuhan yang baik semakin menggema di mana-mana. Hal ini tentunya menjadi sebuah hal yang positif, tapi juga menimbulkan tantangan baru.

Tantangan tersebut salah satunya adalah efek negatif yang harus dihadapi kebanyakan ibu, di mana akibat kampanye pengasuhan yang baik, membuat mereka merasa ibu yang gagal.

Bukan hanya merasa jadi ibu yang gagal, keadaan tersebut berkembang dengan sikap sering menyalahkan diri sendiri, lalu meluas ke sikap menyalahkan orang tuanya.

Banyak yang menganggap, kalau sikap tak terkontrol mereka ke anak, adalah kesalahan ibunya atau orang tuanya di masa kecil. Di mana orang tua merekalah yang memberikan luka pengasuhan di masa kecil, sehingga mereka sulit menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya.

Hmmmm....

Mungkin memang salah ibu kita di masa lampau, yang menorehkan luka di hati kita, ketika mereka mengasuh kita dahulu.

Tapi, apakah mereka tak juga mengalami hal yang sama dengan kita?. Ibu kita, mungkin juga mengalami luka pengasuhan oleh ibunya, nenek kita. Lantas apakah kita akan menyalahkan nenek kita juga.

Lalu, terus menerus kita mencari titik awal kesalahan tersebut, sampai akhirnya kita menyadari, bahwa... ternyata semua hal itu berawal dari kesalahan manusia turun ke bumi.

Kemudian, lantaskah kita menyalahkan Tuhan untuk itu? 


Dear Mom, Bukan Sepenuhnya Salah Ibu Kita Memberikan Luka Pengasuhan

Kenyataannya, ibu kita mungkin tidak seberuntung kita dalam mengasuh kita dulunya. Dan kita yang merasa tidak beruntung ini, bisa jadi kondisinya sudah jauh lebih baik.

Kita mungkin punya suami yang lebih baik, kehidupan yang lebih baik.

Jika kondisi kita lebih baik, kenapa kok kita nggak bisa menjadi ibu yang baik, seperti yang ingin kita harapkan dari ibu kita?.

Nyatanya, enggak mudah kan?.

Bukan salah ibu kita sepenuhnya, yang membuat diri kita terluka di masa sekarang. Tapi kondisi lah yang juga menyumbang luka itu.

Andai ibu kita punya kehidupan lebih baik, suami dan keluarga yang lebih baik, apakah ibu kita akan jahat dan membuat kita terluka?.

Jadi, seharusnya lah kita, terutama ketika sudah menjadi ibu, menyadari bahwa apa yang ibu kita lakukan di masa lalu ke kita, bukanlah sepenuhnya salah beliau.

Karenanya, maafkanlah ibu kita. 

Terlebih saat kita juga sudah menjadi seorang ibu, apakah kita mau, jika anak kita membenci ibunya juga?.

Menyadari adanya luka pengasuhan yang marak disebut di zaman sekarang, sejatinya membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bukan malah menjadikan kita sebagai ibu yang lebih buruk baik ke anak-anak, diri sendiri, hingga ke ibu kita.

Dan sejatinya, luka pengasuhan itu, bukan karena seorang ibu yang membentak anaknya. Luka pengasuhan yang sebenarnya dalam Islam adalah ketika ibu diam saja melihat anaknya salah dalam menjalani hidup.

Mari kita tarik benangnya.

Bukankah kebanyakan ibu yang galak dan membentak anaknya, hanya karena anak melakukan hal yang salah?.

Meskipun mungkin salah, karena ibu belum bisa menasihati dengan lembut. Tapi coba bayangkan jika seorang ibu, diam saja melihat anaknya tumbuh dalam jalan yang salah.


Dear Mom, Cintai Dirimu Sesuai Kondisimu, Tak Perlu Menyamakan Dengan yang Lain

Kenyataan lainnya adalah luka yang dirasakan para ibu zaman sekarang tuh, kadang muncul hanya karena adanya pemicu dari pengaruh media sosial.

Maraknya konten-konten tentang luka pengasuhan, tiba-tiba aja meng-influence ibu lainnya, untuk merasa bahwa mereka juga punya luka pengasuhan.

Hal ini bisa saya simpulkan dari pengalaman diri dan juga membaca banyak curhatan para ibu di medsos. 

Di facebook misalnya, ada grup yang bernama Mother Hope Indonesia.

Grup ini memang dibentuk oleh founder-nya, yang pernah merasakan PPD atau post partum depression. Karenanya di grup ini terbuka untuk semua ibu yang ingin curhat mengenai kondisinya sebagai ibu.

Tentu saja hal ini disambut meriah oleh banyak ibu, seakan menemukan tempat yang pas untuk curhat, maka mulailah satu persatu meluapkan apa yang mereka pendam selama ini.

Setelah sering membaca curhatan di grup tersebut, saya putuskan untuk tidak sering-sering menyimak curhatannya, karena ternyata lumayan menguras energi positif saya.

Jadi, grup tersebut sering saya snooze saja, dan baru bisa terbaca oleh saya, ketika masa snooze-nya habis.

Dan ketika itu, saya sempat membaca beberapa curhatan, yang kebanyakan sih (kalau dilihat dari POV saya) bahwa masalahnya adalah dipicu oleh pengetahuan yang makin berkembang.

Maksudnya gini, kebanyakan tuh para ibu yang curhat, seolah tahu betul masalah mereka. Hanya karena diagnosa diri sama dengan si Anu atau si Itu.

Ada juga yang sudah ke psikiater, sudah dikasih obat penenang, tapi entah mengapa, bukannya membaik, malah bikin mereka semakin memburuk nggak sih.

Kalau saya liat dari curhatannya, dan membandingkan dengan pengalaman diri, emang iya sih. Kebanyakan tuh kita para ibu salah menyikapi masalah kesehatan mental dan selalu berlindung di balik 'luka pengasuhan' yang akhirnya nggak pernah bisa beranjak dari kondisi itu.

Membandingkan dengan keadaan orang lain, menyikapi masalah dengan dendam atau bahkan semakin menambah masalah dengan 'masa bodoh', yang akhirnya bikin kita arogan dan merugikan pihak lain.

Padahal kuncinya itu sederhana, memanfaatkan pengetahuan dan perkembangan kesehatan mental sebagai hal untuk menguatkan kita.

Berhenti menyamakan kasus orang lain dengan diri kita, berhenti mentriggerkan diri dengan kasus orang lain.

Berhenti menjadikan posisi orang lain sebagai sumber ketidak bahagiaan kita. Lalu kemudian, menjadikan anak-anak sebagai tong untuk menampung luapan sikap negatif kita.

Mari cintai diri kita apa adanya, sesuai kondisi kita.

Tanpa perlu menyamakan atau membandingkan dengan kondisi kita dengan orang lain.

Peluk diri kita, dan yakinlah, tidak ada pengasuhan yang sempurna tanpa luka. 


Surabaya, 28 Maret 2024

Post a Comment for "Dear Mom, Tidak Ada Pengasuhan yang Sempurna Tanpa Luka"