Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjadi Ibu Rumah Tangga, Ini Teladan yang Ibu Berikan Ke Anak!

Konten [Tampil]

teladan irt kepada anak

Menjadi Ibu Rumah Tangga itu hanya akan memberikan teladan buruk ke anak!. 

Eits, jangan ngamuk ke saya, parents!. Itu bukan pemikiran saya, tapi tulisan seseorang dengan nama akun facebook Dono Baswardono. 

"Kamu kuliah sampai master dan berkarier bagus. Lalu memutuskan untuk resign demi merawat anak-anak dan membiarkan suami (yang mungkin pertumbuhan karirnya takkan sehebat dirimu) yang terus bekerja."

"Pesanmu ke anak: jangan bermimpi tinggi!"

"Tindakan anak berdasar teladanmu: malas belajar, tidak termotivasi dalam melakukan apapun, tidak tahu mesti mengambil jurusan kuliah apa, tak tahu kelak bekerja sebagai apa, dan tidak tahu tujuan hidupnya."

"Jadi, kalau ada yang bilang bahwa 'keluarga nomor satu', ya silahkan. Tetapi demi kesehatan mentalku, aku menomor satukan diriku sendiri. Kedua, pasanganku. Ketiga, anak-anak. Keempat, sahabatku yang kini tinggal satu orang. Kelima, para rekan kerjaku. Keenam, orang tuaku (karena keduanya sudah wafat, maka para kakakku). Ketujuh, sesama manusia.

 

Tulisan tersebut saya kutip dari tulisan status akun facebook si Bapak, di tanggal 06 Maret 2024 kemaren.

Sebenarnya, tulisannya bagus, di satu sisi hati saya mengatakan, bahwa (khususnya) tulisan yang akhir, itu baik. Atas nama kesehatan mental.

Sayangnya, keknya ini dipengaruhi oleh pola pikir kaum lelaki yang sangat berbeda dengan perempuan. That's why, sejujurnya saya malas mengilhami pemikiran para lelaki, untuk masalah-masalah seperti itu.


Psikolog Lelaki dan Bias Pemikiran Gender Terhadap Sebuah Masalah Menurut MamiRey

By the way, sebelum parents ngamuk ke akun facebook beliau, saya kenalkan aja dulu siapa sih Bapak  si pemilik akun tersebut?.

Berdasarkan hasil googling, saya akhirnya tahu, ternyata si bapak ini bergelar dan bernama lengkap Dr. Dono Baswardono, Graph, Psych, AISEC, MA, Ph.D. 

Adalah seorang A psychoanalyst, graphologist, sexologist, and marriage & family therapist.  

Wowww yaaa...

Saya kudet dong, baru ngeh si Bapak, padahal blio merupakan seorang pakar di bidangnya, dan telah menuliskan beberapa buah buku yang salah satunya merupakan buku best seller dengan judul Poligami itu Selingkuh.

Btw lagi nih, si Bapak bukanlah seorang psikolog ya, tapi seorang psikoanalisis.

Keduanya berbeda, sama bedanya antara psikolog dan psikiater.

Tapi, menurut saya yang memang bukan ahli di bidang ini, pola pemikiran mereka mirip-mirip nggak sih, intinya sih untuk kesehatan mental. Iya nggak?.

Dan jujur, saya pernah sekali berhubungan dengan seorang psikolog lelaki ketika konseling dengan psikolog di Unair Surabaya. 

Hasilnya, saya kurang cocok, atau juga belum menemukan psikolog lelaki yang pas untuk menghadapi mental saya.

Ya gitu deh, sama kek dokter, bahkan dokter dengan tingkatan profesor aja, nggak melulu bisa cocok di semua pasien.

Namun, ketidak cocokan saya dengan psikolog lelaki itu, tiada lain karena entah mengapa, saya merasa kok kayaknya para 'dokter penyakit mental' ini. Masih bias dengan gender, ketika 'mengobati' penyakit pasiennya.  

Salah satunya, kayak tulisan facebook di Bapak Dono di atas, yang dalam pemahaman saya itu baik, tapi bukan sebuah solusi yang pas.

Persis kayak si psikolog yang saya temui di Unair dulu.

Si MamiRey ini curhat tentang masalah mentalnya yang rasanya terganggu dengan pemicu di paksu. Eh si bapak psikolog cuman fokus menasihati saya untuk bisa menghadapi suami dengan sabar dan tepat.

Dulu saya merasa, 

"Ya elah! ini mah sama aja kek curhat sama orang awam, ujungnya disuruh sabar aja!"

Hahaha.

Nah, kalau si Bapak Dono ini, sekilas memang lebih mengajarkan bagaimana agar ibu menjadi sosok yang egois demi kesehatan mentalnya. Tapi kalau dibaca berulang, saya kok merasa ya sama aja...

Ujungnya yang salah ya si ibuk. Mana itu bukan solusi yang tepat, khususnya buat para ibu kan ye.

I mean, gini deh.

Mari kita mencontohkan kasus saya sendiri, tentang bagaimana alasan saya sehingga jadi ibu rumah tangga, yang sejujurnya i hate jadi mamak-mamak di rumah itu, i love bekerja cari duit yang banyak!.

psikolog dan psikoanalisis lelaki

Jika mengikuti teori bapak Dono misalnya.

Saya mencintai diri saya sebagai pekerja kantoran, dan yakin, meski nggak sehebat ibu Sri Mulyani, atau Ibu Risma, tapi saya yakin, jika saya tetap berkarir di kantoran. Keuangan kami bisa membaik, setidaknya cukup.

Mengapa? karena saya mungkin sama cerdasnya dengan pak suami, *uhuk. Tapi saya punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh paksu. Yaitu ulet.

Namun masalahnya kan, tidak sesimple, 

"Ya udah kerja aja Rey, jangan jadi ibu rumah tangga!"

TEROS SI KAKAK DARRELL YANG BOLAK BALIK MASUK RS ITU SIAPA YANG JAGA?

Itu baru mikirin, siapa yang bakal menjaga si Kakak yang bolak balik sakit, berasa maminya ini kerja untuk menghamburkan gajinya buat bayar daycare dan dokter anak yang mihil.

Belum memikirkan, bagaimana saya bisa bahagia dengan mental yang sehat, sementara hati saya tercabik dalam perjalanan ke kantor, karena meninggalkan anak yang badannya lemah tak terperih, dengan mata sayu berlinangkan air mata, karena dia sedih, lagi sakit kok malah dititipin di daycare yang rame.

Duuhh si Bapak, coba ajarkan saya, atau ibu lainnya, bagaimana berbahagia di atas sakitnya anak, lemasnya anak, tidak berdayanya anak?

GIMANA?

Itu masalah pertama ya.

Sekarang, mari kita masuk ke masalah kedua, yang menjadi alasan, mengapa saya sebagai ibu, memilih jadi IRT atau ibu rumah tangga.

Alasan kedua adalah, karena saya tidak mampu bekerja kantoran dengan maksimal, tapi harus mengurus anak dan rumah sendirian.

Paksu, tidak mau mengalah untuk mencari pekerjaan yang sekota, agar kami bisa sama-sama bekerja, sama-sama mengurus rumah dan anak pula.

Alasannya, lowongan yang ada tidak sesuai dengan passion dia, selain gajinya kecil, menurutnya (padahal ya dulu, gajinya nggak gede-gede amat jugak, dan dia itu bukan karyawan tetap).

Jangan ajari saya tentang egois. 

Saya udah jungkir balik untuk masalah itu, semua cara udah saya lakukan, bahkan nekat kembali bekerja biar menunjukan bagaimana enaknya bekerja sama. Sama-sama cari uang.

Tapi ujungnya emang si paksu maunya bekerja sesuai passion-nya.

Bahkan sejak dulu, pengennya dia kerja jauh dari keluarganya, dan memang akhirnya tercapai di masa sekarang.

Sayangnya, hasilnya enggak tercapai, hahaha.

Intinya, dalam kasus permasalahan yang saya hadapi. Menjadi egois demi kesehatan mental ala Pak Dono itu sama sekali bukanlah sebuah solusi yang tepat.

Justru, menurut saya, pemikiran si Bapak masih bias di gender (ini hanya pemikiran saya ya, bukan kesimpulan mutlak).

Karena, si paksu sedikit banyak juga sering berpikir seperti yang pak Dono tuliskan itu.

Iya, paksu sebenarnya (kayaknya sih) nggak suka saya jadi IRT, apalagi sekarang dia menyadari kalau sulit bersaing dan berkembang.

Dia berharap banget saya bisa ikut menghasilkan uang. 

Itulah mengapa, meskipun sekarang kami LDM, saya sendirian mengurus anak dan semuanya tanpa bisa didelegasikan ke siapapun. Tapi jarang banget si paksu mau mengirimkan uang sebelum diminta paksa.

Kan lucu ya, menurutnya gimana tuh? saya urus anak sendiri, tapi saya juga bisa menghasilkan uang puluhan juta sehingga nggak perlu nunggu uang dari dia? hadeh!.

Nah, cara paksu berpikir itu juga persis, maunya praktis.

Ya udah, cari kerja aja di luar, anak-anak pasti akan ada yang jaga.

TAPI SIAPA? UJUNGNYA YA AKOH YANG KERJA KANTORAN SAMPAI NGEHEK, AKOH YANG URUS RUMAH, AKOH JUGA YANG URUS 2 ANAK!

Atau, sama dengan kalimat yang ada di tulisan bapak Dono di atas, yang saya potong untuk dibahas di lain tulisan aja.

Bunyinya gini:

"Kamu sedang sakit. Alih-alih segera istrahat, makan sehat dalam porsi cukup, dan pergi ke dokter, kamu tetap mengurusi anak, mendahulukan pekerjaanmu."

WOEEEE WOEEEE WOEEEE!

Itu persis sis banget nget dengan pemikiran si paksu banget nget!.

Dia selalu kesal, ketika saya sakit, sembuhnya lama. Karena boro-boro sakit ya tidur, nyatanya saya tetap begadang, tetap bangun sambil nangis sambil ngomel kesakitan, ya masak, ya nyuci juga tengah malam malahan.

Dan saya malas banget ke dokter.

Paksu sampai tega meninggalkan saya sendirian, bahkan ketika sedang mengalami sakit saraf terjepit, nggak bisa gerak sama sekali. Eh malah ditinggal kerja ke luar pulau dong.

Padahal saya di Surabaya itu sebatang kara, anak-anak juga bergantung sama saya. Alasannya, karena saya nggak mau usaha sembuh cepat.

WATDEPAAAAKKKKK!!!!

Pegimana akoh bisa istrahat? teros anak-anak siapa yang urus?

MAU KE DOKTER? MANA DUITNYA WOEEEEE!

Mau dahulukan istrahat? siapa yang bangunin anak-anak ke sekolah, yang siapin sarapannya?. Apalagi, kok pas banget, saya sakit di saat anak-anak ujian, selalunya begitu.

Liat tuh, bahkan seorang dengan ilmu yang mumpuni, pemikirannya juga mirip-mirip dengan yang nggak punya ilmu mumpuni.

Bias dengan gender-nya, di mana mereka menghadapi seorang perempuan dengan pola pikirnya, KAGAK NYAMBUNG KAN YE!.

Saya justru setuju dengan cara Dr. Aisyah Dahlan, di mana blio selalu menyelesaikan masalah berdasarkan ilmu yang mengarah ke otak masing-masing gender.

Jadi, cara menyelesaikan masalah mental seorang ibu, beda dengan mengatasi masalah pada ayah. Karena otak mereka kan beda, dan itu nggak bisa dipaksakan. Allah sendiri loh yang ciptakan begitu.      

Menjadi Ibu Rumah Tangga, Ini Teladan yang Ibu Berikan Ke Anak!

Tapi, mari kita lupakan sejenak pemikiran seorang psikolog yang bias akan gender-nya. Termasuk juga pemikiran seorang psikoanalis.

Saya akan memberitahukan kepada si Bapak Dono, bagaimana kami, para ibu bisa bangkit, meski terseok, demi hal yang lebih baik.

teladan irt kepada anak

Bahwasanya memilih atau terpaksa milih jadi IRT itu, sama sekali tidak selalu memberikan teladan negatif dan buruk ke anak.

Setidaknya buat saya ya.

Kalau buat ibu Anu, saya nggak tahu, hahaha. Dan berikut teladan dan cara meneladani anak sebagai ibu rumah tangga ala MamiRey. 


1. Hiduplah dengan rajin dan disiplin

Ibu rumah tangga hanya akan memberikan teladan ke anak menjadi malas?. Wah, saya nggak ngerti sih maksud si Bapak ini gimana. Apakah blio memang sering menghadapi pasien ibu rumah tangga yang malas. Atau mungkin memang punya opini yang melekat di pikirannya, kalau ibu rumah tangga itu malas.

Atuh mah, si Bapak dong salah besar!.

Justru dalam pengalaman saya, menjadi ibu rumah tangga itu, tanggung jawab menjadi manusia yang lebih baik itu, jadi lebih besar.

Kalau pekerja kantoran kan, ada jadwal ngantor yang bikin ibu pekerja, mau nggak mau harus mengikuti jadwal tersebut.

Tidak dengan IRT.

Kami, eh maksudnya saya ya, benar-benar berjuang luar biasa untuk bisa tetap rajin dan disiplin dari dalam diri sendiri.

Karena nggak ada jadwal ngantor yang strict.

Palingan jadwal anak sekolah sih, tapi karena risikonya bukanlah kek kantoran gitu, di mana kalau telat kudu siapkan mental kena teguran, atau bahkan kepotong gajinya kan ye.

Nah IRT, bisa sih sesekali nggak perlu jumpalitan mengikuti jadwal anak-anak yang seabrek itu. Karenanya butuh banget kesadaran dari dalam diri yang besar, untuk melakukan hal itu.

Semua kondisi tersebut, menjadikan seorang ibu berusaha lebih keras, dan bisa mencontohkan hingga meng-influence anaknya. Agar mengikuti tindakannya, atau meneladani sikap ibu.

Dalam hal ini, sebagai ibu dari anak-anak lelaki, tentu saja selain mencontohkan, sayapun tetap tak pernah bosan untuk melakukan sounding. Baik secara deep talk khusus bareng anak-anak, atau secara obrolan biasa, hingga melalui omelan *plak, hahaha.

Nggak usah bilang, jadi ibu itu jangan suka ngomel dan ngasih tahu efek anak diomelin. Semua ibu tau kok efek buruknya. Tapi nggak ada ibu yang dikasih kondisi stabil ala bidadari.

Intinya, bagi saya, setelah menjadi IRT, justru usaha untuk lebih disiplin dan rajin itu, lebih dimaksimalkan. Dan tentunya hal ini yang selalu saya ajarkan dan contohkan ke anak.

Jadi, kata siapa semua ibu rumah tangga malah bikin anaknya malas?

Coba aja anak-anak saya malas dan nggak disiplin, mau dengar auman singa yang melengking -kah? hahaha.


2. Gunakan waktu sebaik mungkin

Mungkin karena saya menjadi seorang ibu rumah tangga yang juga tetap produktif dalam usaha menghasilkan uang juga. Jadinya waktu 24 jam itu, terasa amat sangat kurang.

Saya sering banget menuliskan keluhan, betapa sesungguhnya saya harus 'melampaui' batas kenormalan, dalam berusaha menghasilkan uang juga.

Mengurus anak-anak dan rumah itu, sudah menghabiskan hampir semua waktu di luar waktu istrahat normal sebagai manusia, saya.

Dan bisa berikhtiar cari uang, melalui blog dan media sosial seperti yang saya lakukan sekarang itu, bisa dilakukan dengan benar-benar disiplin menggunakan waktu sebaik mungkin. Meskipun ujungnya 'bocor' juga memakai waktu istrahat saya.

Jadi, anak-anak sudah terbiasa melihat maminya ini jumpalitan setiap harinya. Sudah terbiasa mengikuti kebiasaan maminya yang amat sangat  strict terhadap waktu.

Sedikit saja anak-anak meleset dari waktu yang sudah disepakati, berpotensi mereka rugi, karena itu berarti hal-hal yang menyenangkan buat mereka, di 'cut' oleh maminya.

Harapan saya, hal ini akan menjadi sebuah kebiasaan positif yang bisa melekat pada diri anak-anak hingga dewasa.


3. Hiduplah dengan mandiri

Sebagai single fighter mom pejuang LDM, dan sebatang kara di daerah orang, mandiri sepenuhnya tanpa pernah merepotkan keluarga suami, atau tetangga. Tentu saja membuat saya harus menularkan sikap mandiri ke anak-anak.

Yang namanya mandiri mengurus dirinya, bertanggung jawab atas dirinya, adalah sebuah kewajiban yang diterapkan maminya ini dengan ketat.

Ye kan, bagaimana bisa saya bisa tetap hidup, kalau anak-anak juga bergantung sepenuhnya untuk semua hal ke saya?

Nggak mungkin banget kan!

Jadi, adalah lucu sih kalau ada yang menyimpulkan, anak-anak yang diasuh oleh ibu yang memilih eh terpaksa memilih jadi IRT adalah anak yang sulit mandiri.


4. Jangan menyerah dengan keadaan

Saya pribadi, yang mengalami kondisi terpaksa jadi IRT, dengan kondisi single fighter banget nget pulak. Sesungguhnya, saya berharap, dengan menjalani LDM dengan suami, kerjanya di luar pulau, dan menyerahkan semua hal di sini di bahu saya. Tanpa ada bantuan sedikitpun dari orang lain ataupun paksu nitipin kami ke seseorang kek.

Enggak ya.

Tentunya hal ini berat banget, tapi nyatanya saya nggak mau terus terpuruk menangisi nasib, apalagi sampai membiarkan anak-anak jadi anak jalanan, karena maminya ikut-ikutan bapakeh yang sering nggak peduli masalah anaknya.

Saya bangkit, meski berat, tapi tetap berusaha untuk selalu melakukan hal positif.

Itulah yang saya contohkan ke anak-anak, jangan pernah menyerah pada keadaan, sesulit apapun itu. Dan bagaimana bisa, hal itu dikatakan sebuah hal yang negatif?.


5. Cintailah hidupmu

Hal penting lainnya yang ingin saya tularkan ke anak adalah, dengan menjadi manusia yang selalu bisa mencintai hidupnya, seperti apapun kondisinya.

Untuk poin nomor 5 ini, sebenarnya bisa jadi sebuah hal yang otomatis, ketika anak-anak melihat maminya selalu tak menyerah untuk melakukan semua hal dari poin 1 hingga 4.

Poin-poin tersebut, menggambarkan sebuah usaha keras bagi seorang manusia, dalam menjalani hidup dengan sebaik mungkin, bahkan melampaui batasnya.

Saya meyakini, jika kita selalu melakukan semua hal positif dengan maksimal. Maka tak ada lagi hal yang bisa disesali dalam hidup ini.

Dan kita bisa selalu menikmati hidup dengan baik, sebagaimanapun kondisinya.


See, bagaimana mungkin, seorang ibu yang terpaksa menjadi IRT, hanya akan memberikan contoh dan teladan yang negatif ke anak-anaknya.

Jangan bermimpi tinggi

Kata siapa?

Justru, menjadi IRT itu tak mudah buat seorang ibu, dan bukannya menyerah, kenyataannya saya terus melangkah dengan semangat. Tak peduli mungkin usia yang tidak seru lagi diajak mekewati tantangan hidup.

Bukankah itu, justru memperlihatkan ke anak, bahwa jangan pernah menyerah pada impianmu? sampai kapanpun?.


Anak malas belajar? tidak termotivasi dalam hal apapun? bingung tujuan hidupnya? 

Lah, emangnya para ibu rumah tangga itu MALAS? dan nggak punya motivasi hidup? 

Keknya si Bapak wajib menjelaskan secara detail, maksud dari tulisannya. Atau mungkin juga blio sedang menyemangati para IRT untuk bisa melawan tantangan agar tetap produktif.

Tapi, bukan dengan tulisan yang bikin kesal para IRT sih ya.

How about you, parents


Surabaya, 07 Maret 2024

Post a Comment for "Menjadi Ibu Rumah Tangga, Ini Teladan yang Ibu Berikan Ke Anak!"