Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cinta dan Allah, Kunci Pernikahan Langgeng dan Bahagia

Konten [Tampil]

kunci pernikahan

Call me bucin, tapi saya tak akan pernah mengganti opini tentang kunci pernikahan langgeng dan bahagia itu, ya cinta.

Biar kata sedunia bilang, bahwa hidup nggak makan cinta. Tapi sejujurnya saya bisa hidup sampai detik ini, bahkan di atas kehidupan, yang andai boleh saya bahas blak-blakan ini ngenes amat. Tiada lain ya karena cinta

Dari rasa cinta kepada si kakak pacar, lalu rasa cinta ke pak suami, sampai akhirnya anak-anak menempati urutan pertama rasa cinta saya, karena saya gagal menjaga cinta untuk pak suami.

Iya, jagalah cintamu kepada pasangan halalmu, jangan pernah mencintai karena dicintai. Kecuali memang belum menikah atau belum punya anak.

Karena, jika kata orang lain, seumur hidup itu terlalu lama jika hidup dengan suami yang tidak menghargaimu. Kata saya, seumur hidup itu terlalu lama untuk hidup tersiksa karena ekspektasi diri sendiri dan tanpa cinta.

 

Begini peran Cinta dan Allah Sebagai Kunci Pernikahan Bahagia dan Langgeng 

Kalau baca-baca opini hampir semua manusia di dunia, katanya bukan cinta yang mempertahankan kelanggengan  pernikahan yang bahagia, tapi komitmen.

kunci pernikahan bahagia

Banyak juga yang mengatakan, cinta dalam pernikahan itu tidak akan bertahan lama. Selebihnya komunikasi dan komitmen yang utama.

Ah mungkin saja saya manusia yang aneh sendiri. Anggap aja dulu kayak gitu.

Tapi, saya sedang membayangkan, kehidupan bahagia apa yang sedang orang-orang jalankan itu. Bagaimana bisa berkomunikasi dengan pasangan jadi lancar dan menyenangkan, tanpa melibatkan rasa cinta.

Saya jadi ingin mengajukan pertanyaan, atau pernyataan ya ini?

Bagaimana caranya kita bisa asyik berkomunikasi dengan seseorang yang sama sepanjang hidup kita, jika kita tidak lagi mencintai seseorang tersebut? 

Bukankah, komunikasi akan lebih menarik, bukan hanya karena kita asyik diajak bicara, tapi juga melibatkan hati?.

Lalu, bagaimana bisa kita bahagia mempertahankan pernikahan karena komitmen, sementara udah nggak ada lagi cinta di hati?.

Kunci masalahnya kan targetnya pernikahan langgeng dan bahagia. Menurut saya, opini tentang 'komitmen paling penting dalam pernikahan' itu, agak kontradiktif dengan sikap dan pemikiran kebanyakan perempuan zaman now.

Misal, 

Nggak bahagia dalam pernikahan, langsung memutuskan cerai, dengan alasan seumur hidup terlalu lama jika dihabiskan dengan orang yang salah.

Saya jadi berpikir, apakah kita para perempuan ini selalu sangat sempurna, sehingga ketika pernikahan tidak bahagia, masalahnya ada di suami, hehehe.

No hard feeling yak, ini cuman sebatas rasa penasaran saya aja, tentang pemikiran kaum kita yang kadang emang agak bertolak belakang dengan yang saya rasakan. Atau mungkin, saya yang nggak normal yak, hahaha.

Tapi, opini yang terbentuk di benak saya itu, tidak serta merta ada di kepala saya. Semua itu terbentuk dalam waktu yang tidak sedikit.

Meskipun usia pernikahan saya (yang udah nggak harmonis itu *plak! hahaha) baru terbilang belasan tahun. Tapi rasanya udah bisa lah jika saya ikutan memberikan kesimpulan atas hal-hal dalam sebuah pernikahan dan kehidupan.

Berkaca dalam pernikahan saya, seperti apapun saya merasa eneg dengan sikap buruk pak suami, kenyataannya blio ya nggak melulu buruk semuanya. Ada banyak juga hal positif dari kepribadiannya.

Sama dengan saya, sesempurna apapun saya menilai diri sendiri, saya yakin dan menyadari kalau hal itu cuman ego saya aja. Ya kali, manusia ada yang sempurna.

Jadi sebenarnya, saya punya kekurangan, pak suami juga sama. Lalu gimana cara meleburkan kekurangan tersebut. 

Saya ingat mendapatkan insight dari beberapa mahasiswa S2 Psikolog Unair, yang mengatakan, bahwa setiap orang punya kekurangan. Kalaupun kita tidak bisa menerima kekurangan pasangan, jangan lupa ngaca, apakah kita sudah sempurna? Apakah kesempurnaan kita adalah sempurna juga buat suami?.

Lalu, gimana mengatasinya? Punyai batas toleransi.

Dulu, saya setuju, bahwa dalam pernikahan itu, kita harus memberikan kelonggaran untuk pasangan, dengan batasan yang sudah kita ketahui (dan tentunya pasanganpun harus tahu).

Tapi saya pikir, hal itu belum bisa menjadi sebuah solusi terbaik, karena apa? 

Jika batas toleransi itu adalah dari diri kita, sama aja itu mah, masih ada ego yang bekerja.

Masalahnya adalah, hal utama yang menghancurkan pernikahan adalah ego. Yang dulunya saya cuman menganggap, para lelakilah yang terlalu mementingkan ego.

Seiring waktu, saya menyadari, sebenarnya saya pun juga masih menjalani pernikahan dengan ego.

Lalu, kapan hari saya sempat mendengar potongan pembicaraan pasangan artis (duh saya lupa namanya!).

*Setelah browsing akhirnya ingat!

Itu, si Mario Irwinsyah dan istrinya, Ratu Anandita.

Saya lupa perkataan mereka tepatnya, tapi kira-kira seperti ini.

"Jika saya punya pemikiran, pasangan pasti juga punya pemikiran sendiri. Ini bakalan sulit mencari titik tengahnya, karena masing-masing pasti nggak mau melepas egonya! Lalu gimana solusinya? pakai cara ketiga yang menjadi penengah, apa itu? yaitu hukum Allah!" 

Benar juga ya.

Kalau kita memutuskan sesuatu, hanya berdasarkan like dislike kita semata, seumur hidup pun, kita tak akan pernah bisa benar-benar bahagia dengan berkepanjangan.

Ini sama dengan cerita 'seumur hidup itu terlalu lama', di mana ada cerita seorang istri menjadi tidak bahagia, hanya karena suaminya sering membuang puntung rokok di pot bunga kesayangannya.

Saya termasuk golongan tukang komen yang berkata,

"WTF! kek nggak ada masalah yang lebih pelik dalam hidup ini, sampai-sampai pot bunga jadi masalah besar sampai mengakibatkan perceraian, hahahahaha!"

Untung aja cerita itu happy ending, si istri menceraikan suaminya, meskipun saya nggak yakin sih masalahnya cuman itu. Kalau cuman itu, masa iya sih hakim dengan mudahnya mengabulkan permohonan cerai dari istri, karena masalah pot bunga, hahaha.

Tapi serius deh, meski itu penting, tapi masalah saya lebih pelik, jadi maafkan kalau saya ngakak dengarnya, hehehe.

Nah kan, kalau batasan toleransi itu berasal dari manusia. saya pikir bukanlah solusi terbaik, karena ego akan berkuasa.

Coba deh, jika kita memutuskan sesuatu yang baik untuk suami dan istri berdasarkan hukum Allah, insya Allah adil buat suami maupun istri. Dengan catatan, jika tidak mengerti, jangan tafsirkan sendiri tulisan-tulisan tentang hubungan suami istri dalam Islam.

Nanti ujungnya sama aja, ego pasti masih bisa ikutan.

Lalu, bagaimana jika kedua belah pihak, suami dan istri ternyata tidak puas meski itu adalah aturan Allah?. Ya mau nggak mau harus diikuti, kan udah menikah, komitmen yang akan berbicara, dan cinta yang akan memudahkan dan saving happiness always!.

Itulah peran cinta dan Allah dalam mencapai dan menjalani pernikahan yang nggak cuman langgeng, tapi juga selalu bahagia, no matter what.


Cinta Adalah Penguat, Cinta yang Membawa Pada Kesempatan Menua Tetap Berdua dan Mesra

Pernah liat ada kakek nenek yang so sweet banget muncul di media sosial?. Entah direkam cucunya yang memperlihatkan bagaimana cinta kakek neneknya langgeng sampai tua?.

kunci pernikahan bahagia

Atau juga, ada kakek dan nenek yang terlihat mesra tanpa sengaja di tempat publik? Misal, ketika si nenek ngantuk dan si Kakek segera membiarkan kepala si nenek tidur di pahanya. Meskipun mereka sedang berada di tempat publik.

Jika ada postingan seperti itu, coba deh intip kolom komentar.

"Definisi menikah dengan orang yang tepat!"

"Ketika menemukan pasangan yang tepat!"

Saya yang baca komentarnya cuman senyum-senyum aja, pengen ikut komen juga sebenarnya,

"Sesekali coba tanyain deh sama kakek nenek itu, apakah seumur hidup pernikahan mereka seperti itu?. Tidak pernahkah salah satu pihak atau mungkin kedua belah pihak saling menyakiti?"

Saya sungguh nggak yakin kalau dijawab, bahwa si kakek nenek itu, selalu mesra sejak puluhan tahun lalu, dan nggak pernah saling melukai.

Pret dah!.

Jangankan sama orang lain, yang kita dibesarkan dalam lingkungan dan pengasuhan yang berbeda. Sesama saudara saja pernah juga berantem. Ibu dan anak juga pernah saling menyakiti.

Apalagi orang lain.

Lalu, bagaimana bisa mereka menua dengan romantis demikian?.

Apalagi ya selain berdamai, menerima dan memaafkan? Dan semua itu bisa jadi lebih mudah, jika ada cinta.

Cinta itu menguatkan.

Karena pada dasarnya, mau menikah dengan siapapun, bahkan tidak menikah sekalipun, kita pasti bakalan menemukan masalah dalam hidup.

Bagaimana bisa menari dengan masalah? ya dengan cinta.

Cinta itu, menghapuskan semua noda kesalahan pasangan di mata kita, sehingga jadi lebih mudah untuk memaafkan pasangan kita.

Cinta itu, kata orang nggak bisa dipakai beli beras. Tapi, kayaknya orang-orang lupa. Ada cinta dan enggak, kalau nggak ada duit ya manalah bisa beli beras, hahaha.

Masalahnya adalah, mau ada cinta atau enggak, semua manusia pasti mengalami kehidupan up and down. Namun, ketika kehidupan sedang tidak baik-baik saja, kita masih bisa tertawa bersama pasangan itu, adalah luar biasa.

Karena apa? ya karena kita mencintai pasangan.

Karenanya, jagalah selalu cinta di hati kita pada pasangan halal. Tidak peduli, pasangan kita mencintai atau sedang berkurang cintanya.

Lakukan itu dengan keyakinan, bahwa apapun yang kita lakukan, akan selalu kembali ke diri kita sendiri. 

Begitulah...


Surabaya, 24 Februari 2024

1 comment for "Cinta dan Allah, Kunci Pernikahan Langgeng dan Bahagia"

  1. Tiap orang pasti punya batasan, jadi kalau bilang “Seumur hidup itu terlalu lama untuk dihabiskan dengan orang yang salah” ya memang betul. Batasku, kalau pasangan sampai selingkuh itu sudah gak bisa dimaafkan. —-So ya, DIA orang yang salah, yang gak akan ku buang waktuku yang berharga cuma untuk bersama dia. Aku happy, pasangan happy, that’s what matter. Bukannya aku mencari kesempurnaan, karena untuk bahagia itu gak perlu sempurna. Tapi aku cuma jauhi hubungan yang toxic. Buat apa “langgeng” tapi hati tersakiti ;)

    ReplyDelete