Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pernikahan Tak Bahagia, Cerai Tak Selalu Jadi Jalan Terbaik

Konten [Tampil]
Pernikahan tidak bahagia

Parenting By Rey - Saat merasa pernikahan tak bahagia, hampir semua wanita berpikir akan mengakhiri pernikahan tersebut. Termasuk saya juga dong, ingin sekali bisa lepas dari lelaki yang seolah berhenti mencintai saya *tsah.

Tapi akhirnya saya menyadari, bahwa bercerai atau perceraian tak selalu jadi jalan terbaik, untuk keluar dari rasa tidak bahagia tersebut.

Oh ya, sebelumnya seperti biasa saya ingin kasih warning dulu, bahwa semua yang saya tulis di blog ini, mostly berdasarkan pengalaman dan opini pribadi, sama sekali nggak mutlak benar, dan mungkin sangat berbeda dengan orang lain.

Saya udah sering membahas tentang masalah perceraian di blog ini, parents bisa intip di label Marriage.
Dari masalah penyebab utama perceraian, cara memutuskan bercerai atau bertahan, hingga artikel yang mirip dengan tema saat ini, yaitu jika tidak bahagia mengapa tak bercerai?.

Sebenarnya tulisan kali ini bahkan agak-agak mirip dengan tulisan mengapa tak bercerai aja itu, tapi mungkin kali ini saya ingin membahas lebih detail lagi, dengan menitik beratkan alasan, bahwa bercerai itu, bukanlah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.


Pernikahan Tak Bahagia itu Tanggung Jawab Siapa?


Nah ini dia.
Langsung to the poin aja deh saya, hahaha.

Jadi intinya itu adalah, bagaimana kita memaknai kebahagiaan kita sendiri sebenarnya.
Sekali lagi ya saya ingatkan, ini opini saya, berdasarkan pola pikir saya, mungkin bakalan beda ama parents lainnya.

Arti divorced

Memang sih, pola pikir seperti ini nggak serta merta hadir di pikiran saya, butuh waktu dan perjalanan super panjang sampai akhirnya ada di pemikiran seperti ini, dan tentu saja saat ini masih kadang goyah dikit-dikit, tapi hal itu yang benar-benar bikin saya berhenti sejenak dari semua rasa depresi, rasa tidak bahagia, lalu mulai menanyai diri sendiri.

Dan mungkin begini bentuk percakapan saya sendiri.
A: "Rey, sebenarnya apa sih yang bikin kamu nggak bahagia dalam pernikahanmu?"
B: "Apa ya? mungkin karena paksu sekarang berubah, dia berani kasar sama saya, dia berani bentak bahkan memaki saya, dia bahkan berani meninggalkan saya dan anak-anak hingga 2 mingguan tanpa kabar jelas, itu menyakiti hati saya!, dia juga udah mulai merokok lagi, dia suka chat perempuan lain, dia ah pokoknya banyak dah"
Pokoknya keluar semua alasan-alasan yang menurut saya, itu menjadi penyebab ketidak bahagiaan saya.
Awalnya sih saya nggak sadar, sampai akhirnya percakapan seperti itu saya tulis di buku, iseng aja gitu, terus saya baca lagi.

Waooo, begitu banyak tuntutan saya kepada suami, lalu saya mencoba mengingat-ngingat, apa aja tuntutan suami terhadap saya?

Kayaknya nggak ada sih ya, selain dia ngakak liat saya pake poni, dan dia melarang saya pake kawat gigi atau softlense, tapi nggak melarang yang harga mati kayak saya.
Saya rasa pun, kalau saya tetap pake poni (and i do it dong, lalu ku merasa risih karena poninya nusuk mata, hahahaha).

Saya juga kalau punya duit mau pake kawat gigi, juga softlense, dan saya rasa kalau saya nekat pake, paksu nggak lantas merasa nggak bahagia di pernikahan kami kan ye.

Sungguh receh sekali ya penyebab ketidak bahagiaan saya.
Terlebih, ketika saya mengoreknya lebih dalam, toh semua itu terjadi karena sesuatu hal.
Alias pak suami tidak lantas melakukan semua hal yang menyakiti saya itu, melainkan rasa depresinya juga yang seringnya abai dari perhatian saya.

Semakin saya mengingat hal itu, semakin saya memahami, bahwa hidup di dunia ini ada sebab akibat yang jelas, dan sebenarnya semua masalah ketidak bahagiaan itu juga berasal dari diri saya sendiri.
Di mana saya terlalu egois menuntut, tanpa mau sedikit saja memahami yang dituntut.

Lalu, si inner child pun yang jadi kambing hitamnya, hahaha.

Saya lalu menyadari, kalau semua ini bermula dari over thinking a la anak kecil, atau pikiran saya di masa kecil yang tak pernah bisa move on di masa sekarang.

Saya yang selalu dituntut sempurna sejak kecil, yang udah sempurna pun sama sekali nggak pernah dikasih sebuah hadiah atau orang tua menganggap kalau itu adalah normal, menjadi anak sempurna itu ya normal.
Jadi, nggak ada yang harus dirayakan kalau udah jadi anak normal.

Hal itu yang membuat saya selalu mau tampil sempurna.
Saya nggak mau bergantung memberatkan dalam hal ekonomi pada suami, karenanya ketika suami belum mampu membelikan apa yang saya butuhkan atau inginkan, saya cari sendiri pun, gimanapun sulitnya.

Saya nggak mau selingkuh, meski saya merasa kesepian, dan ada beberapa teman lelaki yang ngasih perhatian.

Semua hal itu saya lakukan memang dengan penuh perjuangan, dan saya juga ingin pasangan melakukan hal yang sama kayak saya.

Harus sempurna.
Saya kan udah tampil sempurna, dia juga harus.

Semua inilah sumber dari ketidak bahagiaan saya.
Suami yang tumbuh dalam pola asuh yang santai, sama sekali nggak kuat lagi mengikuti ritme pola asuh hasil dari orang tua saya ke saya.

Jadinya ya begitulah.
Berantem, nggak pernah bisa akur, bahkan paksu nggak pernah mau komunikasi dengan baik lagi.

Lalu, saya berpikir, pantaskah saya menuduh bahwa pasangan atau suami satu-satunya yang menjadi penyebab ketidak bahagiaan dalam pernikahan kami?

Benarkah suami yang harus bertanggung jawab sendirian, terhadap ketidak bahagiaan yang saya rasakan dalam pernikahan kami?

Lalu terpikirkan kembali beberapa kata bijak, bahwa tidak ada yang bisa membahagiakan kita secara abadi, selain diri kita sendiri.
Rasa bahagia itu ada di hati kita, even psikolog kelas dunia nggak akan sanggup mengubahnya, karena kuncinya ya ada di kita sendiri, kita yang megang.


Pernikahan Tak Bahagia, Sebaiknya Jangan Terburu-Buru Menggugat Cerai


Iya, paham banget bagaimana rasanya, pengen banget gitu ketika merasa tertekan banget, kesal bahkan merasa benci dengan sikap suami, inginnya kasih dia kejutan manis, berupa surat gugat cerai.

Perceraian suami istri

Tapi tunggu dulu.
Kita kan ini menikah, bukan lagi pacaran, apalagi kalau kenyataannya udah ada anak.
Semakin sulit deh bisa menemukan kebahagiaan, jika memang tujuannya hanya agar bahagia lepas dari suami.

Gimana mungkin bisa bahagia, karena anak ya nggak akan pernah jadi bekas anak ayah dan ibunya, mau nggak mau, ya seumur hidup anak, ya kalau kita merasa orang tua yang baik, ya memang kudu berkorban perasaan, harus bertemu atau berkomunikasi lagi tentang masalah anak dengan pasangan.

Ini yang saya pelajari dari sebuah grup Single Mom Indonesia di facebook.
Di sana, hampir setiap hari saya membaca curhatan para single mom, yang bahkan sudah selesai berceraipun, waktu berlalu, ternyata belum juga bisa menemukan kebahagiaan yang dia cari. 
 
Padahal ya, salah satu alasan kuat bercerai, karena merasa sudah tidak bahagia dengan pernikahannya, suami yang nggak pernah bisa diajak komunikasi lah, suami kasar lah, nggak pengertian lah, dan segala macamnya.

Padahal ya, bisa jadi masalah suami jadi kasar dan semacamnya itu, dikarenakan ada pemicunya, dan kita sebagai istri yang jadi pemicunya.
Ebentar sekali lagi diingatkan, kali aja ada yang udah bete bacanya, hahaha.
Agar lebih bisa memahami tulisan ini, bisa baca tulisan saya tentang bagaimana cara memutuskan bercerai atau enggak, ya.
Karena semua tulisan ini nyambung banget ama tulisan tersebut, di mana nggak semua kriteria suami berhak kita perjuangkan, ada juga yang mending udah deh, akhiri aja.
Nah, yang tulisan saya ini, diperuntukan bagi yang punya suami, dulunya baik, namun berubah jahat, karena sebuah pemicu.
Lalu apa dong yang kita lakukan kalau memang udah nggak tahan lagi dengan pernikahan yang bagai di neraka?

Kalau saya kemaren sih, ternyata beruntung karena LDMan sama suami.
Jadi saya jarang ketemu suami, selain di hari weekend, bahkan kadang dia nggak pulang saat weekend.

Saat kami tidak bertemu itulah, nggak ada komunikasi, nggak ada sama sekali kontak.
Saya nggak berteman dengan paksu di media sosial, saya bisukan semua nomor WA suami, jadi saya nggak pernah tahu lagi info tentang dia.

Saat itulah saya merenung, mengira-ngira seperti apa ya kehidupan saya ketika bercerai?
Apakah saya bahagia?
Iya sih, sejenak saya merasa tenang.
Karena untuk mengobati hati yang terluka, saya pakai hampir semua waktu saya untuk menulis.
Menulis, menulis dan menulis every single day.

Hasilnya terlihat di personal blog saya www.reyneraea.com, selama tahun 2020 lalu, penuh dong setahunan saya nulis sebanyak 393 artikel, lebih ya dari tanggalan setahun itu 365 hari.

Apakah itu work buat saya? 
Bangettt...
Sejenak saya bisa melupakan kesedihan hati, ya gimana nggak lupa ya, orang saya capeknya minta ampun, hahaha.

Saya udah nyaris nggak peduli ama suami, dia mau pulang kek, mau kirim duit kek, karena Alhamdulillah saya dapat banyak rezeki dari mana saja saat itu.
Sejenak saya merasa, memang hidup saya jauh lebih baik kalau udah nggak nikah ama tuh laki.

Tapi....
Sayangnya keadaan itu enggak bertahan lama.
Karena ada saatnya saya udah nggak kuat lagi terus mengforsir diri dalam menulis.

Lalu saya tampil slow, eh ujung-ujungnya keingat lagi, merasa stres lagi, merasa nggak nyaman lagi.

Ya iyalah..
Pegimana bisa saya tenang?
Kalau masih ada bongkahan besar di hati saya? 
Selama saya tak mau mengeluarkan bongkahan itu, maka selama itu pula saya hanya akan berputar-putar dalam masalah yang itu-itu saja.

Mungkin itulah penyebab mengapa beberapa istri yang memilih bercerai dengan suaminya, setelah berceraipun tak ditemukan kedamaian sejati.

Atau dengan kata lain, yang bisa dia lakukan hanyalah mem puk-puk hatinya, berharap waktu akan mengobati hatinya, tak banyak pula yang nggak tahan dengan ketidak bahagiaan yang tetap dia rasakan, sehingga kembali melarikan diri dalam perhatian lelaki lain, lalu kemudian menikah lagi, dan ketidak bahagiaannya terulang kembali.

Itulah mengapa saya berpikir, ketika merasa pernikahan tak bahagia, janganlah terburu-buru bercerai di pengadilan agama.
Tapi, gali dulu akar masalahnya, temukan sampai tuntas, jika memang udah ketemu dan memang nggak bisa disatukan lagi.

Bercerailah dalam keadaan baik-baik, karena setelah berceraipun, kita masih punya tanggungan sebagai orang tua.
Dan buktikan ke anak, bahwa orang tuanya bercerai adalah yang terbaik, karena setelah bercerai segalanya jadi lebih baik.

Bukan sebaliknya.


Pernikahan Tak Bahagia, Bercerai atau Bertahan, Sama Tantangannya

  
Ini kali ya kuncinya.
Bahwa mau bercerai ataupun bertahan, tantangan yang akan kita lalui itu sama beratnya.
Terlebih untuk kondisi seperti saya ya.

Cerai tak selalu jalan terbaik

Nggak punya saudara ataupun orang tua yang bisa meng-support saya.
Saya punya kakak yang menyayangi saya sih, tapi memang kami sejak kecil ditakdirkan nggak bisa bareng-bareng kali ya, selaluuu aja berantem, hahaha.

Mama saya juga sama, semacam malas jika harus mengurus cucu kembali, dan saya juga nggak mau memaksakan mama mengurus anak lagi.
Terlebih sekarang bapak udah nggak ada.
Akan sulit banget untuk bisa menjalani hidup sendiri, dan membawa 2 anak lelaki yang masih kecil.

Saya juga harus kembali bekerja di luar, karena siapa yang tahu kan apa yang terjadi setelah saya bercerai dengan suami.
Bisa jadi suami nggak tahan dengan kesendirian dan menikah lagi secepatnya.

Lalu melupakan anak-anak.
Yang ada, mau nggak mau saya harus menghidupi anak-anak seorang diri.

Memang!
Tau banget kalau anak-anak ada rezekinya, tapi ya nggak datang begitu aja, butuh perjuangan luar biasa juga.

Sama aja dengan ketika memutuskan bertahan, dan memperbaiki hubungan rumah tangga.
Sulit juga dan penuh tantangan.

Tapi kalau utnuk tujuan baik, agar bisa kembali ke track perjalanan bersama mengarungi hidup kembali, agar anak-anak masih bisa berbahagia bersama mami papinya lagi.
Kenapa nggak memilih bertahan dan memperbaiki hubungan saja kan ye?

Terlebih, bukankah Allah menghalalkan perceraian, tapi amat membencinya?

Lalu gimana cara memperbaikinya?
Kalau saya nggak pakai konseling pernikahan sih, atau lebih tepatnya belum sempat.
Tapi memulai dengan mengubah diri saya sendiri.
Mencintai diri saya sendiri, mengisi tangki cinta saya sendiri.

Cara awal yang paling gampang?
Mengubah pola pikir.

Entar deh saya sambung lagi, udah capek nulis, terlebih besok mau anter si kakak sekolah offline, hahaha.
Semoga kita semua, diberi kekuatan untuk bisa mencintai diri sendiri.
Agar tangki cinta kita selalu penuh, dan bisa mencintai orang termasuk pasangan dan anak-anak dengan tulus.

Demikianlah, ketika pernikahan tidak bahagia, bercerai tidak selalu jadi jalan yang terbaik, bertahan dan memperbaiki juga bisa jadi jalan yang lebih diberkahi-Nya, insha Allah.

How about you, Parents? 

Sidoarjo, 24 September 2021


Sumber: pengalaman dan opini pribadi
Gambar: canva edit by Rey

Post a Comment for "Pernikahan Tak Bahagia, Cerai Tak Selalu Jadi Jalan Terbaik"