Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seandainya Saya Tidak Pernah Menjadi Seorang Ibu

Konten [Tampil]

tidak menjadi ibu

Seandainya saya tidak pernah menjadi seorang ibu, kira-kira apa yang akan terjadi pada hidup saya ya?. Btw tulisan ini bisa kita sebut dengan curhat atau bisa juga tentang cerita.

Yang pasti, ini kayaknya bakalan panjang, karena jadi semacam sebuah healing buat release semua pikiran yang berkecamuk di otak saya belakangan ini.

Biar kata sebenarnya hal ini sering terjadi pada saya, tapi memang sih ada momen-momen tertentu yang kadarnya lebih tinggi, kadar stres juga ikutan meningkat jadinya.


Merasa Lelah Fisik dan Mental

Pas banget nih, di long weekend kemaren, saya lewati dengan kondisi yang nggak asyik. Tulang-tulang di punggung, khususnya di bagian iga yang letaknya di belakang, terasa nyeri.

Saya nggak tahu sih apa penyebab utamanya, awalnya saya pikir gegara salah posisi tidur. FYI, ini bukan semata jadi watak perempuan, yang apa-apa nyalahin yang lain yak.

Memang sayanya aja yang udah sejak menjalani sesar kelahiran anak pertama dulunya, menderita sakit tulang, khususnya di bagian punggung dan sekitarnya.

Letak sakitnya tuh nggak bisa saya jelaskan dengan baik dalam tulisan, kecuali saya tunjukin. Intinya, sakitnya berasa nyeri gitu, dan yang nyeri bukan ototnya, tapi kayak tulang iganya yang nyeri bagian dalam.

Kondisi ini, sering banget kambuh ketika saya salah posisi tidur, meskipun kadang juga tiba-tiba asal muncul aja. Tapi seringnya pemicunya ya salah posisi tidur. Dan kalau udah nyeri, ya ampuuunn, nggak ada obatnya, nggak tahu diapain biar nggak nyeri, pokoknya saya nggak bisa asal gerak, harus jalan kayak robot gitu.

Ketika pandemi dulu, penyakit tulang ini berkembang jadi kayak sakit saraf terjepit di bagian pinggang bagian belakang. Masya Allaaaah nyerinya minta ampun, dan ketika itu adalah masa nyeri yang paling parah. lebih parah lagi, karena saya kudu mengurus 2 anak, sementara bergerak aja mau ngompol rasanya, saking sakitnya.

Demi mencegah sakit nyeri aneh itu, saya rutin yoga ringan hampir setiap hari, dan benar-benar mencari kasur dan posisi yang pas ketika tidur. Saya nggak berani gonta ganti kasur, karena seringnya ganti kasur ketika tidur menjadi salah satu pemicunya.

Nah, dengan kondisi sakit demikian, saya nggak bisa langsung istrahat gitu, masih harus melakukan rutinitas harian. Harus masak, nyuci, nyetrika, antar jemput anak sekolah. Termasuk mondar mandir antar jemput anak-anak kegiatan lain di luar sekolah.

Untungnya, sejak Kamis kemaren udah libur, saya bisa istrahat di rumah, setidaknya nggak perlu anjem anak-anak. Ya ampuuunn, saya jejeritan kalau pas anjem si Adik, terus motornya melewati jalanan nggak rata, tuh tulang rasanya rontok semua, hiks.

Bukan hanya fisik, mentalpun ikut sakit *eh, hehehehe.

Saya nggak tahu ya, apakah sakit tulang saya tuh kambuh karena pikiran lagi berat, atau sebaliknya?. Yang jelas, saya emang sedang merasa lelah secara mental juga.

Apalagi kalau bukan masalah kerjasama dengan papinya anak-anak, yang mana saya tuh pengennya kita kerjasama dengan baik. Saya handle semua urusan anak, apapun itu. Tapi biaya hidup anak, harusnya di-cover semua sama bapakeh dong.     

Nyatanya, ya ampuuunn, saya sampai malas banget nulisnya, pokoknya gitu lah, bikin bete di tengah kerempongan urus anak dan lainnya.

Hal-hal begini sukses bikin mental saya jadi down banget, dan dampaknya luar biasa sih entah buat diri saya dalam hal fisik, maupun ke anak-anak yang jadi kena omelan mulu, hiks.

Di masa seperti ini, biasanya tantangan yang sejatinya menjadi sebuah hal berat dalam status single fighter mom pejuang LDM, jadi terasa makin berat (meskipun memang, aslinya berat, hahaha).

Hal ini menjadi tantangan, karena merupakan sebuah kekurangan yang saya nggak suka, tapi terpaksa dilakukan. Apa itu? multitasking!. I hate multitasking, aslinya, huhuhu.


Tak Suka Dengan Kehidupan Multitasking dan Tidak Fokus

Iya, salah satu hal yang paling saya nggak suka dalam hidup ini adalah multitasking. Karena saya tipe orang yang kalau ngerjain sesuatu, harus fokus.

Bisa dilihat, ketika bekerja, saya nggak suka ditemani musik, kecuali terpaksa. Misal menulis di tempat yang memang bukan khusus buat menulis, kayak di McDonalds.

Jika di tempat-tempat seperti itu, terpaksa saya harus mengeluarkan ilmu mengasingkan diri di tengah keramaian, sehingga bisa menulis dengan cepat dan lancar.

Kuncinya, jangan ada interupsi atau distraksi, jadi saya bisa tetap berada di dalam ruang pikiran yang tenang, meskipun di tengah-tengah suasana bising.

That's why, saya bisa loh menulis dengan lancar di sebuah resto keluarga kayak McD. Which is ada suara musik yang lumayan keras, suara orang-orang mengobrol dengan kencang, dan semacamnya.

Ya karena seolah cuman raga saya di sana, pikiran saya semacam ada di sebuah tempat yang tenang, ibarat berada di ruangan kecil dengan dinding kaca kedap suara.

Jadi, saya bisa menulis dengan lancar dan fokus, seolah nggak mendengar kebisingan dari sekitar, tapi sudut mata selalu awas terhadap ke sekeliling. 

Ya begitulah saya.

Seorang wanita yang suka bekerja, tapi nggak suka jika ada distraksi atau multitasking ketika sedang bekerja, karena menginginkan hasil yang maksimal.

Buat saya, hasil maksimal itu, sulit dicapai kalau disambi dengan multitasking. Terlebih jika kerjaan saya adalah menulis.

Can you imagine? udah nemu ide di dalam pikiran, dan siap dituangkan dengan lancar melalui jari-jari saya yang menari di atas keyboard laptop. Tapi diajak ngobrol.

Ya ampuuunnn, pegimana caranya tuh mengeluarkan ide yang udah muncul banyak di kepala, tapi sambil mikirin jawabin pertanyaan atau dijeda dulu karena distraksi.

Sungguh hal begini mengganggu banget buat saya.


Kehadiran Anak-Anak Dalam Hidup

Situasi distraksi yang paling terasa dalam hidup saya adalah, ketika anak-anak hadir. Yup, saya senang dan bahagia banget punya anak, dua pulak!.

Karena dulunya saya memang berpikir pengen punya anak 4.

Hal ini berdasarkan kehidupan saya ketika kecil, di mana adik saya meninggal yang bikin mama jadi patah hati luar biasa. Setelah itu, anak tengahnya, si Rey malah pergi jauh dari sisinya.

Anak pertamanya, nggak pernah benar-benar dekat dengan mama. Jadilah mama sendirian di hari tua, terlebih ketika akhirnya bapak berpulang terlebih dahulu.

Hal ini yang bikin saya berpikir, kayaknya punya anak dua aja kayak anjuran pemerintah itu kurang. Harus empat, biar ketika ada anak yang mau merantau, maminya masih punya anak lainnya.

Dasar naif emang ya si MamiRey, hahaha.

Ternyata oh ternyata, ketika si kakak lahir, memang sih belum seberapa terasa bebannya. Karena papinya anak-anak masih berlaku manis seperti saat pertama kali memutuskan jadian dulunya. Meskipun ketika itu, saya melewati masa semacam terjebak di antara dua pilihan.

Di satu sisi, pengen banget selalu mengasuh dan merawat si Kakak biar tumbuh jadi anak yang sehat baik mental dan fisik.

Tapi di sisi lain, rasanya bosan melihat kehidupan yang dipilih oleh papinya anak-anak, kok susah banget meningkatnya ya, sementara kebutuhan diri, keluarga dan lainnya semakin meningkat.

Masalah makin terlihat ketika anak kedua lahir, di mana jedanya sampai 7 tahun lamanya. Ketika saya sudah berencana akan kembali bekerja ketika si Kakak udah mandiri, minimal SD.

Eh lah kok malah muncul kembali bayi baru, yang bikin saya jadi seolah mengulang masa menunggu untuk bisa cari duit.

Sementara, mencari duit ini bukan semata hal untuk memuaskan ego seperti kebanyakan wanita zaman now ya. Tapi karena memang butuh, hahaha. 

Kehadiran anak-anak, buat saya adalah hal yang menyenangkan, as you know, saya adalah pecinta anak-anak sejak dulu. Ketika almarhum adik saya masih kecil dulu, justru saya yang lebih telaten mengurusnya, mengendongnya dan bermain dengannya, ketimbang mama.

Lalu tiba-tiba adik berpulang, rasanya tuh semacam ada yang hilang di separuh jiwa.

Bagaimana bisa saya menggambarkan kebahagiaan ketika akhirnya punya anak, laki pulak, seolah Allah mengembalikan adik saya dalam bentuk anak saya.

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada hal yang menantang. Apalagi kalau bukan kondisi yang memaksa saya harus bisa multitasking.

Dengan profesi dan pekerjaan sebagai blogger yang menulis, harus bekerja di rumah pulak, dekat anak-anak. Sering banget kondisi multitasking yang bikin saya tidak bisa fokus dalam mengerjakan satu hal, terpaksa saya jalani.

Misal, ketika hendak bermain atau bercengkrama dengan anak, tapi pikiran deadline mengejar saya. Jadinya nggak bisa benar-benar fokus menemani anak-anak. 

Atau, ketika saya sedang menulis, meski anak-anak sudah diberi pengertian untuk peduli pada kondisi maminya sebagai blogger WFA single fighter mom pejuang LDM.

Hal-hal seperti ini yang menjadikan sebuah tantangan tersendiri, yang ketika beban mental masih terkontrol, saya bisa memaknainya sebagai tantangan.

Tapi, ketika mental sedang berada di posisi paling bawah alias low energy, apa itu tantangan. Tiba-tiba saja muncul pikiran, bahwa kehadiran anak adalah annoying buat saya, serasa anak hanya menjadikan hidup saya kurang berkualitas. 

Tidak jarang saya berpikir, andai saya nggak usah punya anak. Andai saya nggak perlu atau nggak pernah jadi seorang ibu.


Seandainya Saya Tidak Pernah Menjadi Seorang Ibu

Yup, saya jadi sering berpikir, seandainya saya tidak pernah jadi ibu, nggak perlu punya anak. Sepertinya hidup mungkin lebih menarik ya.

Menjadi perempuan sukses

Kalau nggak punya anak, tentunya karir saya sudah bisa lebih baik, semua peluang bisa dilakukan dengan sebaik mungkin. Karena saya bebas dan merdeka, nggak perlu terhambat oleh multitasking dan nggak ada distraksi yang bikin nggak fokus. 

Hal-hal yang belum sempat saya lakukan karena keterbatasan zaman dahulu, bisa dilakukan seiring dengan kemajuan teknologi.

Misal, dulu tuh saya nggak pernah mau dikirim oleh kantor untuk ikutan seminar ke kota atau luar kota Surabaya jika sendiri. Alasannya takut.

Sekarang mah semuanya mudah, transportasi mudah digunakan, nggak ada lagi drama takut dan bingung di kota lain.

Atau, ketika teknologi membuka peluang untuk menghasilkan uang melalui konten kreator atau lainnya. Saya bisa ikutan dengan fokus, dan bisa pakai modal yang lebih untuk inventaris dari usaha tersebut.

Hal yang masih sulit saya lakukan sekarang, karena apa-apa yang didahulukan ya kebutuhan anak. Saya bebas memakai berapapun waktu dalam hidup untuk fokus bekerja, tidak perlu khawatir dan terdistraksi dengan pekerjaan mengurus anak-anak.

Terdengar sangat menarik ya, khususnya buat seorang wanita workaholic kayak saya. Yang sekarang tuh kayak gemes sekaligus iri kepada generasi muda, yang sebenarnya punya banyak kesempatan, tapi dibiarkan lewat begitu saja.

Sementara saya yang mati-matian mengikuti perkembangan zaman, namun tersendat karena harus membagi semuanya dengan anak, adanya ngos-ngosan.

Dan dari semua itu, saya jadi berpikir, kayaknya asyik ya kalau saya nggak pernah menjadi ibu. 

Namun...

Ketika hati mulai tenang, nyatanya saya berpikir sebaliknya dari semua pemikiran ini.


Nyatanya Saya Beruntung Menjadi Seorang Ibu

Iyaaaa, nyatanya saya merasakan, bukan hanya memikirkan, bahwa sungguh beruntung diri ini karena dipercaya menjadi ibu.

menjadi ibu

Bukan untuk dibandingkan dengan ibu yang lain, yang mungkin belum Allah berikan kepercayaan untuk melahirkan dan membesarkan amanah-Nya ya. Tapi khusus untuk diri sendiri, sejujurnya membandingkan diri, dari ketika masih single, dan sekarang sudah punya anak, betapa banyak hal positif yang terjadi di diri saya, karena anak.

Saya yang dulu egois dan moody, sejak punya anak dipaksa untuk melawan moody.

Ya kali memelihara moody, terus anak-anak nggak makan dong, karena maminya lagi nggak mood.

Saya yang dulu selalu meremehkan waktu, melakukan apapun selalu lupa waktu alias berlebihan. Sekarang, ya kali mau bukan laptop sampai 24 jam, terus yang siapin sarapan anak-anak berangkat sekolah siapa?. Apalagi sekarang, saya harus antar jemput anak sekolah juga. Ya kali bisa buka laptop sampai subuh, trus siapa yang antar jemput anak sekolah.

Saya yang dulu malas shalat, sekarang ya kali malas shalat, emang mau anak-anak ikutan malas shalat?.

Banyak hal-hal positif yang kalaupun saya tulis, rasanya nggak bakal cukup dalam 1 lembar kertas HVS, saking banyaknya hal-hal positif yang kadang saya abaikan atau lupa untuk disyukuri.

Selain daripada itu, betapa beruntungnya saya punya anak, karena sesulit apapun kehidupan saat ini, rasanya masih jauh lebih baik ketimbang dahulu.

Sekere-kerenya saya saat ini, Allah tidak pernah berhenti menjamin semuanya, selama saya mau berusaha. 

Bahkan, saya nggak bisa membayangkan, jika saya tidak pernah menjadi ibu, kayaknya saya bakalan jadi wanita yang super tidak menyenangkan, karena hidupnya gitu-gitu aja, dan jadi super sensitif akan berbagai hal di dunia ini.

Karena, anak-anak lah yang melatih saya khususnya, menjadi pribadi yang lebih kuat, baik fisik maupun mental.

Banyak hal-hal positif yang terjadi pada saya, karena anak-anak, dari yang dulunya pemalu, sekarang punya alasan untuk mendobrak hal tersebut. Karena saya tahu, menjadi ibu itu butuh yang namanya sosialisasi dengan ibu lainnya, sekaligus mengajarkan anak-anak tentang sosialisasi yang sehat.

Sungguh, sebagaimana mengasyikannya berpikir seandainya saya tidak pernah menjadi ibu, ujung-ujungnya saya menyadari, bahwa kenyataannya adalah, saya sangat beruntung dipercaya Allah untuk menjadi seorang ibu dari 2 putra yang hebat, Alhamdulillah.


Surabaya, 12 Februari 2024

1 comment for "Seandainya Saya Tidak Pernah Menjadi Seorang Ibu"

  1. Keren mba Rey ... Terharu membacanya. Bahagia adalah pilihan ya ... Big hug, salam semangat

    ReplyDelete