Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Berhenti Menyalahkan Suami Atas Kondisi Diri Sekarang

Konten [Tampil]

berhenti menyalahkan suami

Kalau dipikir-pikir, pikiran saya akhir-akhir ini sedikit lebih tenang, setidaknya dibanding beberapa tahun belakangan. Seperti di tahun 2019, 2020, 2021, 2022.

Tahun sebelumnya juga sih, kondisi saya sering ngenes, rempong sendiri, dan baru sadar itu karena saya selalu menyalahkan suami atas kondisi diri.

Bedanya, ketika awal menikah sampai punya anak satu, rumah tangga sering ribut, tapi paksu selalu mengalah. Biar kata mengalahnya juga nggak bikin saya tenang, karena mengalahnya hanya diam, bukan menyelesaikan masalah.

Walaupun juga sih ya, kalau dipikir-pikir, menyelesaikan masalahnya juga nggak mudah sih. Kayak dulu awal menikah, kami sering berantem karena paksu nggak mau mencoba cari kerja di Surabaya saja. Alasannya, saya kan juga kerja, masa iya disuruh tinggal di rumah mertua, sementara dia nggak di rumah.

Meski akhirnya saya kabur, dan kami akhirnya ngekos, lalu berakhir dengan ngontrak di dekat terminal bus luar kota, sebagai solusi agar kami selalu bertemu setiap hari. Tapi nyatanya hal itu belum menjadi solusi terbaik.

Hal ini menerus, sampai akhirnya berkembang jadi masalah lain, ketambahan masalah yang dibuat-buat, sampai akhirnya jadi lebih parah setelah punya 2 anak.


Teringat Sikap Dahulu Dari Curhatan Wanita Berjudul 'Menyesal Resign Karena Permintaan Suami'

Ngomong-ngomong, tulisan hari ini nggak pakai riset keyword atau materi, hahaha. Saya cuman iseng mau menuliskan ini, lantaran teringat akan sikap saya dahulu, gegara membaca curhatan di akun IG @wanita.cl

menyesal resign

FYI, buat yang belum tahu, akun @wanita.cl ini mirip akun @cerminlelaki yang sering memuat tentang curhatan para lelaki. Nah, yang satu ini khusus memuat curhatan para wanita.

Saya iseng follow keduanya, karena berawal dari suka baca curhatan lelaki yang bikin saya sedikit banyak memahami pikiran mahluk dari Mars tersebut, hehehe.

Selain itu, curhatan di sana sering kali memberikan ide menulis buat saya, *ehem.

Jadi, beberapa hari lalu, saya membaca curhatan seorang istri dengan judul 'Menyesal Resign Karena Permintaan Suami'.

Sebenarnya ceritanya biasa (menurut saya), tentang sikap suaminya yang menyuruh dia resign dengan alasan bawa-bawa agama. Padahal sebelum menikah, istrinya udah nanya, boleh nggak setelah menikah dia kerja? suaminya membolehkan.

Kenyataannya setelah menikah dan punya anak, suaminya minta dia resign aja, dengan alasan beragam (nggak dijelasin alasannya sih). Awalnya si istri nggak mau resign, karena merasa sayang banget, dia kerja di perusahaan asing dengan gaji 21 juta.

Tapi, karena suaminya selalu maksa resign, sampai kirimin video hukuman bagi wanita yang nggak patuh perintah suami, dan lainnya. Pendek cerita, akhirnya si istri resign meski nggak ikhlas. 

Dan ketika itulah awal mula hidupnya dipenuhi dengan ketidak puasan selalu. Banyak hal mengganggu pikirannya, salah satunya ketika mendengar suaminya bicara dapat proyek karena nyogok.

Belum lagi masalah dengan mertua, yang menurutnya selalu ikut campur dan lainnya. Dia merasa kalau mertuanya ini tipe yang sok power banget dan semacam itulah.

Jujur, saya paham dan mengerti bagaimana perasaan si Mbak itu, meskipun mungkin tak bisa sepenuhnya tahu. Karena hanya yang mengalami kan yang benar-benar tahu rasanya?. Yang mendengarkan atau membaca ceritanya mah cuman membayangkan.

Even mungkin pernah ada di posisi dan kondisi yang sama, pasti rasanya nggak bakal sama, karena bahkan seorang eh dua orang kembar punya sikap yang beda dalam menjalani sebuah kondisi.

Namun, saya justru salah fokus setelah membaca semua ceritanya, salah satunya karena merasa membaca cerita dulu, bagaimana saya bersikap ketika menghadapi berbagai hal yang tidak seindah ekspektasi diri terhadap suami.


Teringat Sikap Diri ke Suami Selama 10 Tahun Sejak Menikah

Mungkin cerita saya berbeda dengan si Mbaknya. Kalau dia resign kerja karena disuruh, bahkan dipaksa suami. Kalau saya malah resign tanpa paksaan, justru diri sendiri yang maksa, meskipun sama juga sih, sama-sama nggak ikhlas.

menyalahkan suami

Ujungnya jadi sama ya. Kalau si Mbaknya dipaksa secara langsung, kalau saya dipaksa dengan sikap yang serba salah.

Kalau si Mbaknya, nggak menjelaskan sih, mengapa dia dipaksa suami resign, apakah suaminya kasian liat anak mereka kurang terurus oleh orang lain? atau anaknya sakit-sakitan?.

Nah, kalau saya malah resign karena kasian anak-anak, eh maksudnya kasian liat si Kakak nggak ada yang jagain, sampai kedua kalinya masuk RS dan di-over diagnosis oleh seorang profesor dokter anak. 

Paksu diam aja ketika hal itu saya keluhkan, sampai akhirnya saya merasa diri 'mengalah' dengan cara resign. Tapi sungguh nggak ikhlas, karena alasan saya mirip dengan si Mbaknya.

Meski gaji saya bukanlah sebesar 21 juta, tapi dulu tuh kedudukan saya di dunia kerja lebih stabil. Saya pegawai tetap sebuah perusahaan, bos-bos saya sayang dan bergantung sama saya.

Sementara si paksu, dia hanyalah karyawan kontrak proyek yang belum jelas kedudukannya. Apalagi ada contoh, kakaknya yang kerja di perusahaan tersebut, sampai puluhan tahun pun tetap menjadi karyawan kontrak.

Maksud saya lainnya, mengapa saya nggak ikhlas resign kerja, karena dengan kedudukan saya sebagai karyawab tetap di perusahaan tersebut. Maka urusan ambil KPR rumah dan bayarnya insya Allah masih bisa dimudahkan.

Banyak teman-teman kerja saya yang bisa ambil KPR dan dipermudah dengan bantuan kantor kami. Tapi, saya nggak mungkin bertahan kalau saya sendiri yang harus urus, dan peduli dengan urusan anak-anak. Paksu tau beres, mana harus tinggal di rumah mertua pulak, karena dia kerja di luar kota.

Begitulah awal mula mengapa saya nggak ikhlas resign.

Dan selanjutnya sikap saya tuh, mirip banget dengan cerita si Mbaknya, meski beda cerita keseluruhan ya. 

Dari yang selalu meremehkan jika paksu bisa sukses, karena cara berpikirnya emang beda dari saya (sebenarnya standar sih, cuman saya aja yang terlalu saklek dalam berpikir).

Hasilnya, saya hidup dengan tidak ikhlas, selalu memikirkan semua kegagalan saya menjadi sosok yang punya penghasilan atau gaji. Sedih memikirkan ortu udah berkorban banyak membiayai saya kuliah, which is ortu juga bukanlah orang berada.

Sedih banget liat rumah reyot ortu yang hampir roboh, ruangan kosong hanya penuh dengan barang-barang ringsek berusia uzur.

Ortu menahan diri banyak banget demi bisa memberika pendidikan dan gelar kepada anaknya, yang memang sejak kecil terlihat cerdas ini.

Harapan ortu, tentunya agar anaknya ini bisa lebih mandiri dalam finansial, biar hidupnya lebih baik. Syukur-syukur bisa menaikan derajat keluarga. Sukses dan punya duit, sehingga bisa memperbaiki rumah ortu.

Ya Allah, ngenes banget kalau ingat hal itu, bahkan sampai sekarang dong, sampai bapak meninggal, anaknya ini belum bisa memenuhi harapan mereka.

Berbagai pikiran itu, keluar dengan output yang sungguh tak asyik dari diri saya. Mulai dari suka menyetir suami bagaimana bersikap. Memaksa agar paksu tampil seperti saya yang memang lebih disiplin dan strict dengan masalah pekerjaan.

Saya juga memaksa paksu harus kayak saya yang memang keras banget dalam memaksa diri berada di jalan yang lurus (di mata saya). Bagus sih, tapi suer saya lelah, apalagi paksu yang memang dibesarkan oleh ortu dengan pola asuh berbeda dengan saya.

Bukan hanya itu, saya selalu merasa diri sebagai korban, dan saya memaksa semua orang, khususnya paksu mengerti dan membalas semua 'pengorbanan' saya itu.

Bukan hanya paksu, keluarganya pun saya harapkan berterima kasih ke saya, which is saya merasa nggak pernah berhutang dengan mereka.  

Jadi saya memaksa mereka harus mengerti saya, harus tak bisa ikut campur sedikit pun dengan keputusan saya, nggak boleh memaksa saya sama sekali.

Apapun yang mertua dan ipar lakukan, selalu salah. Intinya semua bermula dari ketidak puasan saya setelah resign.

Dan sedihnya, itu terjadi hingga bertahun-tahun, sejak awal menikah. Bahkan kalau dipikir-pikir, baru setahun atau 2 tahun belakangan ini saya mulai belajar berdamai. Mulai pasrah, dan menyerahkan tampuk kendali ke paksu, lalu mulai sedikit demi sedikit merasakan kedamaian yang ada.


Ketika Berhenti Menyalahkan Suami Atas Kondisi Diri Sekarang

Sejujurnya, mungkin saya belum sepenuhnya berhenti menyalahkan suami, tapi sedikit demi sedikit sudah mulai berdamai. Karena Allah.

berhenti menyalahkan suami atas kondisi

Iya, pada akhirnya bukan suami yang menyadarkan saya akan sikap salah saya selama ini. Meskipun saya nggak merasa itu benar-benar salah ya.

Maksud saya, sebenarnya sikap saya dulu tuh nggak benar-benar salah, hanya caranya aja yang tidak tepat guna dan bikin rugi diri sendiri.

Sama kayak si Mbaknya itu, kalau baca ceritanya, sebenarnya apa yang dikeluhkan si istri itu benar adanya, hanya saja nggak guna karena nggak tepat sasaran.

Ujung-ujungnya menyakiti diri sendiri.

Dan saya akhirnya belajar mengubah semua pola pandang saya selama ini, karena plis lah, nggak guna, nggak ada perubahan, ujung-ujungnya saya yang rugi dan sakit sendiri.

Paksu jadi cuek, makin nggak peduli, dan ujungnya saya sendiri yang terseok-seok memikul tanggung jawab 2 anak seorang diri. Ditambah nggak punya support sistem keluarga sama sekali kan, kelar deh.

Saya nggak perlu sampai melakukan hal lebay sih untuk belajar menerima semuanya. Cukup memulainya dengan menaruh tampuk kendali rumah tangga di tangan paksu aja.

Cara kongkritnya, ya dengan membiarkan dia memutuskan mau kerja di mana? senyamannya dia, selama masih bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Saya juga berhenti menyetir dia harus gimana dalam bekerja, yang saya lakukan hanya mendengarkan ceritanya, memberinya semangat dan mendoakan agar sukses dan diberi kemudahan.

Hasilnya, meski tentu saja tidak benar-benar sesuai keinginan saya, tapi semesta seolah mendukung dan menyeka air mata saya.

Paksu sedikit demi sedikit mulai mereda egoisnya, meskipun ofkors tidak benar-benar berubah total ya. Dia juga lebih peduli dengan keuangan, meskipun banyak meskinya hahaha.

Yang paling terasa sih, hati saya lebih sering tenang, meski ada juga kalutnya, tapi nggak separah ketika nggak ada komunikasi sama sekali.

Intinya, meskipun sekarang, masih banyak tapi, walaupun, meskipun-nya. Namun much better lah.

Mungkin juga karena faktor usia kali ya, saya udah merasa bukan saatnya lagi harus sibuk berdebat atau mempermasalahkan hal-hal yang memang nggak ada jalan keluarnya atau yang ada di luar kendali saya.

Berusaha untuk lebih legowo, mengikuti takdir Allah kayak gimana. Berusaha untuk membiarkan hal-hal di luar kendali untuk berjalan seperti yang harus berjalan.

Selama paksu enggak berani mukul saya, enggak juga berani talak saya atau sibuk menceraikan saya. Dan selama paksu masih mau bertanggung jawab pada kebutuhan anaknya. juga selama dia masih berusaha, ya udah lah ya.    

Intinya, saya mulai mengembalikan semuanya di tempatnya, tidak lagi menyalahkan suami seorang atas kondisi saya sekarang. Yang jadi IRT, nggak punya karir atau pemasukan uang tetap.

Nggak bisa ketemu ortu, apalagi ngasih uang ke ortu sesering ketika saya masih kerja dulu.

Ye kan, kalau ada duit lebihnya, manalah mungkin saya mengabaikan ortu, yang jadi masalah kan, duit saya masih harus dipakai untuk banyak hal urgent lainnya.

Dengan menyederhanakan ekspektasi, sedikit banyak beban pikiran berkurang. Alhamdulillah.

Bukan hanya ke paksu, juga ke mertua dan ipar-ipar. Saya tetap memelihara rasa cinta ke mertua khususnya ibu mertua, meskipun saya tahu bagaimana pikiran mereka di belakang saya. Btw, ketika saya tinggal 3 bulanan di rumah mertua tahun lalu, pembokat mertua cerita banyak tentang semua omongan mertua dan ipar mengenai saya.

Ya begitulah, tapi saya cuek aja, Alhamdulillah.

Sekarang tuh, saya lebih peduli dengan apa yang ada di depan saya. Selama mereka baik di depan saya, kalau di belakang buruk, ya biarin aja.

Toh, cuman dibicarain kan, nggak bikin saya mati, hahaha.

Intinya demikianlah, semoga hati saya selalu tenang. Dan menyadari, bahwa ini dunia, tak mengapa meski kadang dikelilingi oleh hal-hal yang nggak adil di mata sendiri.

How about you, parents?.


Surabaya, 03 Mei 2024

#FridayMarriage - Parenting By Rey

Sumber: 

  • IG @wanita.cl
  • Opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

Post a Comment for "Ketika Berhenti Menyalahkan Suami Atas Kondisi Diri Sekarang"