Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dunia Tunanetra tak Lagi 'Gelap' Berkat Aksi Tutus Setiawan Si Pembuka Mata Tunanetra

Konten [Tampil]
Dunia Tunanetra tak Lagi 'Gelap' Berkat Aksi Tutus Setiawan Si Pembuka Mata Tunanetra

Apa yang ada di benak kita jika melihat seseorang tunanetra.
Jujur, saya pribadi akan mengatakan, kasian.

Membayangkan hidup mereka yang selalu gelap, tak ada cahaya yang bisa menerangi penglihatannya. Rasanya, selain kasian, saya juga merasa mereka adalah orang-orang pilihan terhebat.

Dunia Gelap Para Tunanetra 


Bahkan ketika mencoba memahami apa yang dirasakan para tunanetra, bayangkan ketika mati lampu secara merata di malam hari.

Sekuat tenaga kita membelalakan mata, tapi yang tampak hanyalah sebuah kegelapan yang hitam mencekam.

Kita, masih beruntung karena semua itu hanyalah sementara.
Ketika lampu dinyalakan kembali, seketika itu masa mencekam dalam kegelapan hidup kita menghilang.

Tapi, para tunanetra tentunya tak bisa merasakan hal yang sama, seperti yang orang normal rasakan. Mereka, akan tetap berteman dengan kegelapan, dan mau nggak mau harus menerima kegelapan itu, sebagai sahabat terbaik selama di dunia ini.

Membayangkan hal sesederhana itu saja, membuat diri jadi takjub, betapa tak mudahnya hidup yang harus dijalani para tunanetra.

Belum lagi ketambahan dengan harus menghadapi stigma negatif yang selalu ada di masyarakat, tentang sosok-sosok hebat pilihan Tuhan tersebut.


Mendobrak Stigma Negatif tentang Tunanetra di Masyarakat


Sebenarnya, kalau dipikir secara mendalam, stigma negatif tentang para tunanetra yang melekat di masyarakat itu, salah satunya diawali dengan rasa kasian oleh orang-orang yang melihat keberadaan para tunanetra.

Sama seperti kesan pertama yang saya rasakan dan tulis di atas, sebenarnya tidak ada maksud negatif dari kesan pertama tersebut, hanyalah semata-mata refleks membayangkan betapa beratnya hidup para tunanetra.

Sayangnya, reaksi tersebut biasanya tidak berhenti sampai di situ saja, tetap berlanjut bersamaan dengan berbagai spekulasi serta mengira-ngira dari masyarakat yang melihat.

Yang pada akhirnya berujung pada rasa kasian, tapi dirasakan sebagai bentuk meremehkan oleh para penyandang tunanetra. 

Dari ungkapan, bahwa para tunanetra merupakan beban bagi yang lainnya, karena mereka tak bisa melihat seperti orang normal lainnya.
Hingga ungkapan dan tindakan yang meremehkan kemampuan mereka.

Padahal, kita semua pasti setuju, Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia, termasuk menciptakan manusia.

Tuhan menghadirkan manusia di dunia ini dengan modal untuk bisa hidup dengan baik.
Kalaupun ada satu hal utama yang dikurangi, Tuhan pasti akan memberikan modal lain yang melengkapi kekurangan tersebut.


Tutus Setiawan, Sang Pembuka Mata Tunanetra di Surabaya


Karenanya, tidak sedikit dari penyandang tunanetra yang berhasil mematahkan stigma buruk tentang tunanetra di masyarakat tersebut.

Salah satunya adalah, Tutus Setiawan, seorang pemuda tunanetra luar biasa dari Surabaya, yang bukan hanya berhasil mendobrak stigma negatif tersebut, tapi juga bisa menjadi pembuka mata bagi para tunanetra lainnya, sehingga dunia tunanetra tak melulu 'gelap semata'.
 

Cerita penyebab kebutaan Tutus Setiawan


Tutus Setiawan, merupakan seorang pemuda asli Surabaya, lahir tanggal 16 September 1980.
Dia terlahir normal dan sehat dari rahim ibunya, Sriyuwati, dan menjalani masa kecil yang aktif dan bahagia.

Sayang, masa-masa tersebut hanya dirasakan hingga duduk di sekolah dasar saja.
Suatu hari, Tutus tersandung hingga kepalanya membentur tembok SDN Dupak 6, Surabaya, sekolahnya saat itu.

Kejadian itu mengubah hidupnya, setelah penglihatannya berangsur menghilang.
Tutus menceritakan, bahwa ia tak merasakan sakit ketika itu, hanya merasa sedikit pusing.

Namun beberapa saat kemudian, dia mulai panik, ketika melihat objek yang terlihat hanya di sekitar beberapa meter saja, terlebih setelah itu ternyata penglihatannya jadi hilang total.
Tutus menangis panik, bukan karena kesakitan, tapi takut dengan kondisi pandangannya yang telah gelap.

Gurunya akhirnya mengantarkan Tutus pulang ke rumahnya, dan oleh ibunya dia dibawa ke rumah sakit untuk segera menjalani pengobatan.

Sayangnya, dari semua perawatan yang dilewati Tutus, tak satupun yang membuahkan hasil.
Berganti-ganti rumah sakit didatanginya, beberapa dokter sudah menanganinya.

Sampai akhirnya dokter memvonisnya dengan kondisi ablasi retina, di mana kondisi tersebut merupakan sebuah kondisi di mana retina mata terlepas dari jaringan penopangnya.

Dokter lalu menyarankan untuk menjalani operasi, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Selepas operasi, penglihatan Tutus sempat membaik, namun seiring waktu kembali bermasalah, sampai akhirnya hilang total hingga kini.


Masa-masa keterpurukan


Setelah kejadian operasi yang tidak menggembirakan tersebut, selama 6 bulan Tutus hidup dalam keterpurukan.

Rasa takut, kecewa dan putus asa, hingga marah ke Tuhan dia lakukan.
Menurutnya Tuhan tidak adil memberikan cobaan itu kepadanya.

Terlebih setelah kejadian itu, perlahan namun pasti semua teman-teman sepermainannya menjauhinya.
Tutus lalu menjalani kehidupannya dengan makan, tidur dan berulang seperti itu, setiap harinya.


Bangkit dengan dukungan orang tua


Orang tua mana yang tidak sedih melihat kondisi anaknya yang terpuruk, membuat ibunya dengan setengah memaksa membawanya ke SDLB YPAC Surabaya.

Pembuka mata tunanetra
Ilustrasi anak tunanetra, source: bisamandiri.com

Meski awalnya dijalani dengan terpaksa, namun seiring waktu, bersekolah di SDLB YPAC malah membukakan pikiran dan semangatnya untuk bangkit. 

Tutus akhirnya mau kembali bersekolah meski harus mengulang di kelas 1 lagi.
Namun bertemu dengan teman-teman sesama tunanetra, guru-guru yang dengan sabar mengajarinya dengan cara yang bisa dilakukan para tunanetra, membuatnya makin bersemangat.

Tutus akhirnya menyelesaikan pendidikannya di SDLB YPAC Surabaya hingga jenjang SMP, setelah lulus Tutus tertantang untuk melawan keterbatasannya, dengan memilih sekolah reguler untuk melanjutkan sekolahnya.

Untung baginya, sebuah sekolah, SMA Bhayangkari 2 Surabaya bersedia menerima murid dengan kondisi sepertinya. 
Meskipun harus dengan syarat, di mana jika dia tidak mampu mengikuti pembelajaran selama 1 caturwulan (4 bulan) pertama, maka Tutus harus rela keluar dan mencari sekolah lain.

Syarat itu ternyata jadi cambuk semangat buat Tutus, tak mau harus mencari sekolah lain, dengan sungguh-sungguh Tutus mengikuti pelajaran yang ada, dan memaksa diri untuk bisa membuka pertemanan dengan murid lainnya.

Berbekalkan kelebihannya dalam mengerjakan soal-soal pelajaran, Tutus akhirnya berhasil mempunyai teman-teman di kelas. Dan berhasil lulus dari sekolah tersebut, lalu lanjut kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Biasa di Universitas Negeri Surabaya.

Di bangku kuliahpun, Tutus selalu berprestasi, dan sukses membuat dirinya memperoleh beasiswa.
Hingga akhirnya dia lulus S1, dan melanjutkan S2 di tempat yang sama, dan berhasil lolos seleksi program beasiswa yang diikuti oleh 100 PNS dari seluruh Indonesia.


Perjuangan melawan stigma negatif masyarakat terhadap tunanetra


Meski perjalanan hidupnya di bidang pendidikan terbilang lancar, bukan berarti Tutus bisa menjalani kehidupannya dengan mulus-mulus saja.

Stigma negatif masyarakat terhadap penyandang tunanetra masih juga selalu dihadapinya, dan kadang juga membuatnya down, terlebih menghadapi komentar asal nyablak dari beberapa orang yang meremehkan dan menjatuhkan semangatnya.

Salah satunya komentar tentang, apa gunanya dia sekolah tinggi-tinggi, toh juga tidak bisa melihat dunia.
Beruntung, Tutus memiliki semangat pantang menyerah yang kuat, sehingga semua stigma yang menjatuhkan tersebut, malah memberinya ide, untuk mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) Surabaya, ketika sedang berada di semester terakhir kuliahnya.

Dengan mengajak teman-temannya sesama tunanetra, yaitu Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani, dan Yoto Pribadi, bersama mereka berupaya keras mendobrak stigma negatif masyarakat terhadap penyandang tunanetra, yang seringnya dinilai sebagai warga yang menjadi beban saja.

Dibantu oleh beberapa teman yang penglihatannya normal untuk menjadi volunter, Tutus dan teman-temannya selalu giat menyuarakan tentang keberadaan penyandang tunanetra yang berdaya.

Berbagai kegiatan dilakukan, seperti mengikuti talk show di berbagai radio maupun televisi lokal. Hingga melakukan aksi dengan turun ke jalan-jalan di Kota Surabaya, untuk menyebarkan brosur guna edukasi dan informasi kepada masyarakat umum, bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang juga bisa berdaya seperti lainnya. 


Tunanetra tak melulu hidup dalam 'kegelapan'


Dalam kiprahnya mengangkat derajat hidup para tunanetra, Tutus dan teman-temannya mengadakan tiga program utama, yaitu: pendidikan dan latihan (diklat), advokasi, serta riset mereka yang memberdayakan penyandang tunanetra dan keluarganya. 

Semua usahanya tersebut, tidak lain demi mendobrak anggapan kuno, bahwa penyandang tunanetra hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat. 

Padahal, penyandang tunanetra juga bisa menjadi bagian yang sama dengan masyarakat lainnya, bisa menjadi seorang pengajar, pemain musik, dan berbagai hal lainnya.

Tutus setiawan pengajar di LPT Surabaya
Tutus bersama murid-murid penyandang tunanetra, source: liputan6

Dan bukan hanya perkataan semata, hal tersebut direalisasikan dengan dibukanya beberapa program pendidikan dan latihan berupa pengajaran khusus penyandang tunanetra melalui LPT yang didirikannya. 

Para penyandang tunanetra ini diajarkan keterampilan dalam menguasai penggunaan komputer yang sebagian dioperasikan lewat mode suara. Pelatihan ini penting karena seiring perkembangan zaman para tunanetra tidak bisa hanya mengandalkan huruf braille saja. 

Tutus setiawan pembuka mata
Para penyandang tunanetra mengoperasikan komputer, source: sindonews

Selain itu, diadakan pula bimbingan belajar bagi tunanetra yang mengalami kesulitan belajar di sekolah, pelatihan jurnalistik, pelatihan sebagai operator telepon, hingga orientasi mobilitas untuk kemandirian lainnya.

Dalam bidang advokasi, Tutus dan tim mengambil peran penting sebagai pengajar yang turut memberikan pendampingan kepada para tunanetra yang mengalami diskriminasi karena kondisi mereka.

Hal ini sering terjadi, karena stigma masyarakat yang menganggap mereka sebagai warga kelas dua, sehingga seringnya mereka ditolak ketika ingin masuk sekolah reguler, hingga kesulitan ketika hendak melakukan transaksi perbankan.
 
Tutus setiawan dan prestasinya
Source: republika

Dengan mengajak kerja sama beberapa pihak, di antaranya Institut Teknologi Surabaya, Tutus juga aktif melakukan survei tentang ketersediaan fasilitas publik yang ramah bagi penyandang tunanetra. 
Lalu hasilnya disampaikan ke wali kota sebagai masukan dalam melengkapi fasilitas publik ramah disabilitas termasuk tunanetra.

Bukan hanya itu, lembaga yang dijalankan Tutus dan tim, juga bekerjasama dengan berbagai LSM seperti Pusat Studi Hak Asasi Manusia, maupun lembaga yang peduli terhadap tunanetra seperti Mitra Netra, Jakarta.

Berkat kiprahnya, sejak tahun 2003, sudah ada lebih dari 300 orang penyandang tunanetra yang menerima manfaat program yang dijalankannya. Meskipun dalam kenyataannya, kendala serapan dunia kerja masihlah minim, karena kendala aksesibilitas dan krisis kesempatan dari institusi pemberi kerja.

Walau demikian, lembaganya masih bisa berbangga dengan prestasi yang diukirkan beberapa orang binaan mereka, khususnya di bidang pendidikan.

Banyak penyandang tunanetra yang berhasil masuk sekolah negeri reguler, bahkan mendapatkan peringkat 10 besar selama bersekolah.

Salah satunya, Alfian, seorang remaja penyandang tunanetra berusia 17 tahun, yang menjadi siswa kelas 3 IPS SMA Negeri 8 Surabaya, yang merupakan salah satu penerima manfaat program LPT.

Alfian tunanetra berprestasi
Alfian merupakan tunanetra pertama yang melek teknologi dan menjadi mahasiswa Unair tunanetra pertama, source: suarasurabaya

Alfian dengan sangat membanggakan, berhasil meraih Juara II dalam ajang Global IT Challenge 2015 di Jakarta.

Dalam menjalankan LPT, Tutus dan timnya memang sering mengalami kendala khususnya dalam pendanaan, sehingga sering mereka terpaksa harus merogoh dana pribadi demi kelancaran program di LPT tersebut.

Beruntung, sejak tahun 2007, akhirnya LPT mereka mendapatkan dana tetap dari pemerintah, khususnya Dinas Sosial Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, maupun dari pihak swasta.

Meskipun akhirnya Tutus tidak melanjutkan kerja sama tersebut karena suatu alasan.
Hingga akhirnya, saat ini, LPT mereka hanya mendapat dukungan dana dari BUMN dan BUMD, juga LSM dari luar negeri.

Oh ya, luar biasanya dari LPT yang dijalankan oleh Tutus dan kawan-kawannya, memberikan program kepada semua penyandang tunanetra yang membutuhkan secara gratis.

Bahkan LPT sering memberikan uang transportasi serta konsumsi kepada para binaannya. 
Hal ini disebabkan, karena sebagian besar peserta binaan, memang berasal dari keluarga menengah ke bawah yang mengalami kesulitan ekonomi.

HIngga saat ini, Tutus merasa sangat senang, karena usaha yang dibangunnya sejak lama mulai berhasil, bersama program-program dan aksi yang mereka lakukan, sejak tahun 2003.

Kini mulai ada pergeseran stigma masyarakat terhadap tunanetra, di mana sebelumnya masyarakat terkesan toidak peduli akan mereka, ataupun ada yang peduli, tapi tidak tahu bagaimana caranya memberikan perhatian kepada para tunanetra secara tepat.

Tutus Setiawan berhasil mendapatkan penghargaan Satu Indonesia Astra Awards.
Tutus Setiawan ketika menerima penghargaan Satu Indonesia Astra Awards, source satuindonesia.com

Dan dengan kiprahnya luar biasa dalam mendobrak stigma buruk masyarakat akan keberadaan tunanetra itu, Tutus Setiawan berhasil mendapatkan penghargaan Satu Indonesia Astra Awards.


Penutup


Tuhan selalu menciptakan semua manusia dengan sempurna.
Jika diberi satu kekurangan, niscaya akan diganti dengan kelebihan lainnya.

Begitulah yang bisa digambarkan dari perjalanan hidup Tutus Setiawan, seorang pemuda penyandang tunanetra yang diberikan kelebihan mempunyai semangat tak kenal menyerah, terlebih setelah peristiwa dia kehilangan penglihatan ketika masih kecil dahulu.

Dalam keterbatasannya, dengan semua stigma buruk masyarakat terhadap penyandang tunanetra yang dia rasakan, justru menjadi sebuah cambuk semangat untuk bangkit dan mendobrak stigma buruk tersebut, dengan menciptakan penyandang tunanetra penuh dengan prestasi dalam berbagai hal, bukan semata jadi tukang pijat seperti yang melekat di stigma masyarakat sejak dulu.

Melalui lembaga yang dijalankannya, dan berbagai aksi yang Tutus dan teman-temannya lakukan, sukses membuat penilaian masyarakat berubah terhadap mereka.

Kini, banyak penyandang tunanetra, di Surabaya khususnya, yang tidak melulu merasakan dunia yang gelap, berkat Tutus Setiawan yang gigih membuka mata dunia akan keberadaan dan kelebihan penyandang tunanetra.

Sangat menginspirasi ya.


Sidoarjo, 14 Desember 2022

Sumber: 
  • https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/pembuka-mata-tuna-netra/, diakses 14 Desember 2022
  • https://www.femina.co.id/true-story/tutus-setiawan-mengangkat-derajat-penyandang-tunanetra, diakses 14 Desember 2022
Gambar: Canva dan berbagai sumber

Post a Comment for "Dunia Tunanetra tak Lagi 'Gelap' Berkat Aksi Tutus Setiawan Si Pembuka Mata Tunanetra"