Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

The Real Meaning of 'Bertahan Demi Anak'

Konten [Tampil]
The Real Meaning of 'Bertahan Demi Anak'

Bertahan demi anak, meski pernikahan terlihat tidak bahagia di masa kini itu, semacam sebuah aib besar. Bahkan jauh lebih aib daripada staycation bareng pacar, menikah beda agama, dan lain sebagainya.

Duh, maafin nih, kalimat pembuka di Parenting By Rey kali ini agak sarkasme ya.
Tapi, insha Allah saya menulis hal demikian, sama sekali tidak bermaksud menyakiti atau menyinggung hati siapapun.
Hal tersebut saya ungkapkan karena miris melihat tanggapan kebanyakan orang di zaman sekarang, bagi orang-orang (khususnya wanita), yang memilih bertahan dalam pernikahannya (yang terlihat tidak bahagia), dengan alasan demi anak.

Banyak yang menjudge bahwa wanita yang bertahan demi anak itu adalah wanita yang bodoh, wanita yang tidak mencintai diri sendiri.
Wanita lemah, dan lain sebagainya, kemudian banyak yang meminta bahkan menyuruhnya untuk segera bercerai.

Bahkan, saya sendiri sempat beberapa kali menerima perkataan yang sedikit menyinggung hati, yaitu ketika beberapa orang menyarankan (bahkan terkesan memaksa) saya untuk segera mengurus surat cerai di pengadilan.

Padahal nih ya, apa sih untungnya surat cerai itu?
Kalau seandainya surat cerai bisa ditukarkan dengan uang 2 milyar kali ya, duh auto gercep dah saya ngurusnya, wakakaka.

Coba gitu, yang nyuruh saya urus surat cerai itu, bantuin kek urusnya, jangan cuman nyuruh aja, wakakaka.

Tapi begitulah gambaran kehidupan, orang lain hanya akan memberi ide, bahkan menyuruh sampai memaksa.

Tapi, percayalah..
Mereka tak akan bertanggung jawab dengan kehidupan kita selanjutnya.

Etdah, ini bahas apa sih si Rey ini.
Padahal, saya nggak mau bahas itu loh, mau bahas hal penting yang ada di pikiran saya, dan beberapa hal yang saya temukan di konten sosial media.


Cerita Anak-Anak Terlantar Akibat Perceraian Orang Tuanya


Jadi ceritanya, beberapa hari lalu saya membaca status facebook seorang teman blogger, kalau nggak salah Mbak Mugniar.

Di statusnya Mbak Niar bercerita tentang seorang teman anaknya, perempuan, yang mendapatkan pengabaian dari ayah maupun ibunya.

Kedua orang tua anak tersebut sudah bercerai, lalu ayah dan ibunya kemudian menikah lagi dan mempunyai keluarganya sendiri-sendiri.

Dan qadarullah nasib Aurelnya Anang, tidak matching dengan nasib anak tersebut.
Which is ibu tirinya tidak bisa mengambil hatinya seperti Ashanti memenangkan hati Aurel.

Dan qadarullah juga, ibu tirinya nggak sebaik Nathalie Holscher, yang memilih mundur demi anak-anak nggak kehilangan sosok ayahnya.

Woe Rey, kenapa jadi bahas artis sih! wakakakaka.

Oke baiklah, biar lebih jelas, saya lampirkan aja tulisan Mbak Niar, mau embed status dari facebook, tapi saya lupa gimana caranya, jadi screenshoot aja yak, hehehe.
 
cerita anak yang mendapatkan pengabaian

Saya auto sedih bacanya, tapi juga merasa ada hal yang selama ini saya perjuangkan, muncul di permukaan.

Jauh sebelum saya punya anak, bahkan jauh sebelum menikah, saya sudah kenyang dengan cerita, eh bahkan kejadian nyata seperti di atas, terjadi di depan mata saya.

Bahkan beberapa teman saya mengalami hal serupa, dan sedihnya lagi, ada juga teman saya, yang anaknya seperti si putri yang terabaikan itu.

Sering banget saya liat, seorang anak terpaksa tinggal dengan neneknya, karena dia tak punya tempat buat bergantung lagi.

Ayah ibunya bercerai, kemudian mereka menikah lagi.
Lalu kedua orang tuanya ternyata tidak bisa 'memasukan' sang putri/putra ke dalam keluarga baru mereka.

Anak yang terabaikan tersebut, mau nggak mau tinggal bersama neneknya.
Iya kalau neneknya atau kakeknya masih ada, dan mau menerimanya?

Tidak jarang anak-anak tersebut terpaksa tinggal dengan saudara lainnya, bahkan orang lain.
Dan tidak jarang, mereka terpaksa hidup bagaikan pembokat di rumah tempat numpangnya.

Yang beruntung, mereka bakal disekolahkan, sampai setidaknya lulus SMP atau SMU yang biayanya masih bisa ter-cover oleh orang yang baik hati mau menyekolahkannya.
Teman-teman SD, SMP, STM saya ada yang mengalami hal ini loh. 

Ada juga teman saya, menikah dengan lelaki pilihannya sendiri.
Pada akhirnya mereka bercerai, dia pulang ke rumah orang tuanya, sambil membawa anak-anaknya.

Seiring waktu, dia menemukan tambatan hatinya kembali, menikahlah dia.
Sayangnya, setelah menikah, ternyata sang suami baru tidak begitu menerima hadirnya anak-anaknya terdahulu.

Bahkan, keberatan jika sang istri masih membiayai anak-anaknya tersebut.

The Real Meaning of 'Bertahan Demi Anak'
Source: qureta

Apakah itu salah, kalau diliat dari Islam sih sebenarnya itu nggak salah, anak-anak kandung dari seorang janda, sama sekali bukan tanggung jawab ayah sambungnya.

Setelah kenyataan itu terjadi, anak-anak ingin kembali ke ayahnya, tapi sayang... karena drama perebutan anak mewarnai perceraian ayah ibunya.

Ayah kandungnya telah menikah lagi, punya anak lagi, dan jangankan ayah kandungnya, bahkan kakek nenek dari pihak ayah mereka pun, tidak terlalu bisa menerima mereka lagi.

Ya Allah, sedih banget rasanya melihatnya.

Mungkin karena saya tumbuh besar dalam lingkungan seperti itu, dan itu terjadi lebih banyak bahkan hampir menutupi kisah orang tua bercerai dan anak-anak jadi bahagia.

Itulah mengapa, saya merasa surat cerai itu bukanlah prioritas utama.
Prioritas utama saya tuh UANG, wakakakaka.

Iyaaaa, call me matre!
babahno!

Karena akoh udah sangat jungkir balik biar anak-anak nggak kelaparan.


Bertahan Demi Anak itu adalah Sebuah Niat Mulia


Saya pernah menulis sebuah artikel (postingan curhatan sih hahaha).
Tapi saya lupa judulnya, entar deh saya coba cari dulu, di mana artikel itu.

Intinya, menurut saya.
Ketika menikah dan punya anak, sebijaknya baik istri maupun suami, memindahkan prioritas kebahagiaannya di anak.

The Real Meaning of 'Bertahan Demi Anak'

Jadi, apa-apa, kembalinya ke anak lagi.

Lagian, coba deh pikirin.
Apa sih arti sebuah kebahagiaan diri, jika anak-anak kita menderita?

Apa gunanya saya bercerai dan menikah lagi, demi merasa bahagia, kalau ternyata anak-anak akhirnya kehilangan sosok saya, apalagi kalau mereka pun mungkin tidak bisa diterima dan diperlakukan dengan baik oleh keluarga papinya?

Nggak usah jauh-jauh deh, sekarang aja, saya mengurus mereka seorang diri loh.
Bahkan di saat saya sakit tak berdaya, dan keluarga papinya masih sekota, nggak ada tuh yang mikirin anak-anak ini, dengan siapa mereka ketika saya sakit?
Apakah anak-anak makan?

Oh jangan tersinggung, jika Anda adalah keluarga papinya anak-anak.
Saya sama sekali nggak menyalahkan mereka kok.

Karena saya juga menyadari, setiap orang sibuk dengan urusan dan kepentingan masing-masing.

Saya cuman berpikir, kalau bukan saya, siapa lagi yang bisa mengurus anak-anak?
Yang bisa menenangkan dan memenangkan hati anak-anak saya?

Bagaimana bisa saya bahagia, jika anak-anak tidak bahagia, bahkan mungkin terlantar?

Karena itulah, sebanyak apapun yang menyarankan saya mengurus surat cerai, bahkan keluarga papinya anak-anak juga mulai menyarankan mengurus surat cerai.
Saya ogah.

Ya kan, saya udah googling, dan bertanya ke mana-mana.
Belum ada yang ngasih tau kalau surat cerai itu, bisa diuangkan senilai 2 milyar, wakakakaka *plak, woeee serius, Rey!

Enggak, maksud saya, belum ada yang bisa saya pikirkan, semua akan lebih baik jika saya mengurus surat cerai.

Justru, dengan mengurus surat cerai, akan lebih mudah saya didekati pria lain, dan papinya yang memang sejak dulu selalu nggak mau kalah dari saya, tentu saja akan ikutan mencari ganti saya dan melupakan anak-anak.

Dan alasan lainnya, papinya anak-anak masih peduli dengan biaya anak-anak kok, meski nggak semuanya.
Setidaknya saya nggak sendirian menanggung biaya anak-anak, kagak punya pemasukan tetap untuk biaya hidup dan pendidikan anak yang tetap soalnya.

Serta, alasan terkuat adalah, saya tak punya tempat pulang.
Nggak usah nyaranin saya pulang ke rumah ortu.

Orang terakhir saya mudik, balik ke Surabaya semacam diusir kok, hahaha.

Tapi sudahlah, intinya buat saya, tidak mengurus surat cerai dengan ngebet sehingga dibilang bertahan demi anak itu, adalah sebuah niat yang mulia.

Karena memang niatnya buat anak-anak.

Ah Rey!
Bagaimana anak-anakmu bisa bahagia, kalau kamunya nggak bahagia?
Anak-anak justru menderita dengan ibu yang tertekan!

Lah, terus gimana saya akan bahagia dengan mengurus surat cerai, kalau anak-anak akhirnya nggak bahagia bahkan terlantar?

Atuh mah, akoh tak suka jadi ibu rumah tangga, akoh bahkan takut jadi ibu rumah tangga karena sadar banget dulu menikah dengan lelaki yang nggak mapan seperti harapan orang tua.

Tapi toh akhirnya saya memilih jadi ibu rumah tangga, meski itu adalah sebuah pengorbanan besar buat saya.
Masihkah belum bisa mengukur, betapa hidup telah saya serahkan kepada anak-anak, sejak pertama kali mereka lahir ke dunia ini?

Lalu, sudah sejauh ini pengorbanan saya kepada anak-anak, masa iya mau di-cut demi kebahagiaan saya yang mungkin hanyalah semu semata?

Ah, jangan selalu berpikir yang nggak baik, positif thinking semua akan lebih baik setelah mengurus dan resmi bercerai.    

Hmmm.... kenapa positif thinking-nya nggak dialihkan ke 'bertahan demi anak', cobak?
Mengapa harus berpisah lalu berpikir positif? mengapa bertahan selalu diarahkan ke negatif?

Padahal, kita semua pasti tahu dan sadar betul, bahwa bertahan dan bercerai ya sama aja, sama-sama kudu berjuang.
Mengapa perjuangan itu nggak dialihkan hanya untuk bertahan?
Dan tentu saja bukan hanya bertahan ya, tapi dengan 'the real meaning of bertahan demi anak'.

Jadi demikianlah, mengapa saya tidak pernah sependapat dengan banyak pendapat orang zaman now, which is memandang seorang wanita atau ibu yang memilih bertahan demi anak adalah sebuah kebodohan.

Justru bagi saya, bertahan demi anak adalah sebuah niat yang mulia, dan insha Allah akan diberkahi oleh Allah, karena semua demi kebaikan.

Berbanding hal yang halal tapi sangat dibenci Allah, yaitu perceraian.
Dan jadi ingat akan klarifikasi suami Tasyi tentang Allah membenci orang yang menyuruh orang lain (seorang istri) untuk bercerai dengan suaminya.

Btw, pasti banyak yang berpendapat begini begitu.
Tahan, jawabannya masih ada di bawah.


Alasan Mengapa Harus Bertahan Demi Anak


Saya googling dengan keyword 'Bertahan Demi Anak' dan ajaib, saya tidak menemukan artikel positif yang membahas kalau bertahan demi anak itu hal positif.

Semuanya negatif, dan menitik beratkan bahwa anak akan terganggu mentalnya jika orang tuanya bertahan demi anak.

Mungkin saya kurang mengeksplor juga sih ya, tapi beneran loh, nggak ada artikel yang menyarankan bertahan demi anak, dalam hal yang positif.

Karena itu, saya ingin membahas hal tentang bertahan demi anak, dalam sisi yang positif, dan bukan semata bertahan, tapi..'the real meaning of Bertahan Demi Anak' 

Pertama, saya ingin membahas alasan mengapa kita sebijaknya harus bertahan demi anak, yaitu:


1. Karena bercerai atau bertahan itu sama aja perjuangannya


Iya, jika kita merasa lelah dengan pernikahan yang tak berasa membahagiakan, lelah merasa berjuang sendiri, sementara kita masih merasa ragu-ragu buat bercerai.

Maka ketahuilah, bahwa perjuangan itu tidak akan pernah berakhir, hanya karena kita bercerai.
Apalagi kalau kita nggak ada persiapan sama sekali.

Karena menurut saya, perceraian itu sama dengan pernikahan, sama-sama harus dipersiapkan juga, nggak langsung sat set sat set ke pengadilan agama buat urus surat cerai (kecuali ada tunjangan 2 milyar dari surat cerai, wakakakakak).

Saya membaca banyak banget curhatan para single mom hebat di grup MHI, di mana banyak yang bercerita tentang perjuangan mereka ketika sudah bercerai.

Suami eh mantan suami sudah melupakan mereka, termasuk anak-anaknya.
Dan seketika itu anak-anak menjadi tanggung jawab sang ibu sendirian.

Belum lagi, sang single mom yang kelelahan mencari biaya hidup sendiri, terus struggling dengan mengobati trauma, yang tentunya sangat berhubungan dengan sikap mental yang seringnya tidak baik-baik saja.

Mental yang terganggu, melahirkan output yang buruk dari sang single mom, di mana bukan hanya akan membuat anak-anaknya terluka dengan sikapnya, tapi bisa juga membuat keluarganya ikutan terluka dengan sikapnya dikarenakan mental health yang struggling itu. 
 
Nggak jarang, saya membaca curhatan dari para single mom, terpaksa pergi dari rumah orang tua, karena alasannya orang tua nggak bisa memahami dia, atau bahkan ada juga yang justu orang tuanya yang jadi stres dengan perpisahan anaknya, dan lama-lama menimbulkan gesekan antara orang tua dan dia.

Intinya, bercerai, tidak sepenuhnya auto bahagia semata.
Tapi penuh dengan perjuangan juga, yang sama-sama beratnya dengan bertahan.


2. Anak-anak butuh sosok ayah dan ibu


Sehebat-hebatnya seorang single parents, tak akan pernah bisa menggantikan sosok seorang ayah dalam arti yang normal ya.

Anak-anak akan tumbuh jauh lebih baik, jika dalam asuhan ayah dan ibunya.
Bahkan sedrama apapun sikap dan karakter orang tua, insha Allah anak-anak akan lebih mudah berbahagia dibanding hanya dibesarkan oleh single parents (itu menurut opini dan pengalaman saya ya, dan nggak melulu mutlak seperti itu). 


3. Jika bercerai peluang anak-anak terlantar jadi semakin besar


Sudah bertahun-tahun saya jarang ketemu papinya anak-anak, terlebih ketika dia memilih bekerja di luar pulau.
Praktis membuat saya kayak janda yang belum resmi, hahaha.

Dan hal itu juga membuat saya mengerti, betapa status janda itu amat sangat tidak mudah untuk dijalani. Terutama dalam menjaga godaan dari luar.

Sudah beberapa lelaki yang menggoda saya, dari yang secara halus, sampai yang terang-terangan mengajak saya menikah siri, jadi istri keduanya sampai beralasan biar saya nggak jablay.

Untung aja ya, mental saya itu masih terpaut sama mental anak 80-90an.
Kuat mental bosque!
Jadi hal-hal yang sebenarnya udah masuk ranah pelecehan seksual gitu, saya baca aja, dan membatin dalam hati.

Plis dah, mending jablay akut, ketimbang sama laki kek dirimu, nggak selerah akoh!
Untungnya itu cuman ada di dalam kepala saya aja, biar teman saya nggak tersinggung, meski dia nggak menyadari kalau saya yang tersinggung digitukan.

Jadi saya tulis aja di sini ya, biar kalian para lelaki baca, nggak semua perempuan itu murahan.
Akoh terlalu mahal, saking mahalnya nggak ternilai.
Jadi jangan coba memancing, karena si Rey ini, ahlinya 'Emotional Damage!' wakakakaka.

Oke, baiqlah, jangan melenceng ke mana-mana Rey, serius, hahaha.

Iya, maksud saya, menjadi single mom atau janda itu tak mudah, banyak godaan, apalagi bagi saya yang nggak punya keluarga sama sekali yang bisa support, peluang untuk jatuh ke pelukan lelaki lain akan lebih besar, ketika saya lelah menghadapi hidup, lalu datang yang menawari bantuan.

Kalau udah gini, bahayanya ke mana-mana, bukan hanya kalau akhirnya memberikan ayah sambung yang mungkin tidak masuk krtiteria anak-anak, tapi juga bisa berpeluang jadi pelakor sampai mau aja dijadikan istri ke sekian, hahaha.

Eh bukan berarti mengatakan janda itu seperti itu ya.
Ini saya berbicara tentang diri sendiri, kalau kemungkinan besar saya nggak kuat nolak tawaran, kalau status saya single.


4. Tidak semua perceraian seindah jalan hidup Aurelnya Anang


Cerminan kehidupan setelah menikah lagi, yang dialami Anang, selalu menjadi patokan banyak orang.
Aurel yang beruntung dapat ibu tiri baik.

Padahal, nggak banyak loh yang sadar, kalau bukan hanya Aurel yang beruntung dapat ibu tiri yang bisa menerima mereka.

Ashantipun sangat beruntung mendapatkan anak sambung yang open minded kayak Aurel dan Azriel.
Karena, sebaik apapun Ashanti, pasti lah ada kekurangannya, yang kalau bukan karena kebesaran hati Aurel dan adiknya, mana bisa semua akan selancar sekarang.

Nah, itulah penyebabnya.
Bukan semata orang tua sambung tidak bisa menerima anak sambung.
Ada kalanya, ortu sambung akhirnya menyerah menerima anak sambung karena sikapnya yang merusak mental juga, hahaha.

Jadi, jangan terlena dengan Aurel dan ibu tirinya, Ashanti.
Orang si Nathalie Holscher yang terlihat bisa menerima anak-anak Sule aja, menyerah.


5. Apalah arti kebahagiaan ibu, jika anak tak bahagia


Ini yang paling utama.
Bagaimana bisa seorang ibu memilih bercerai dengan ayah dari anak-anaknya, dengan alasan untuk kebahagiaannya.

Sementara akhirnya anak-anaknya jadi nggak bahagia.
Apakah kebahagiaan seorang ibu jauh lebih penting dari anak?

Terlebih jika seorang ibu memilih menikah lagi dengan alasan kebahagiaannya, tapi akhirnya anak-anaknya kehilangan sosok orang tuanya dan jadi... bukan hanya enggak bahagia, tapi juga terlantar.

Apakah bisa seorang ibu bahagia, di atas kesedihan anaknya?


Bertahan Demi Anak, dengan The Real Meaning 'Bertahan Demi Anak'


Kayaknya udah riuh rendah nih protes akan tulisan saya ini.
Ah kamu terlalu berpikir negatif Rey!
Ah, kalau saya mending bercerai, anak-anak lebih bahagia ketika ortunya bercerai.
Ah kamu Rey....

The Real Meaning of 'Bertahan Demi Anak'

Dan masih banyak lagi, iya kan!

Tenang...
Jangan terbakar kumis dulu (eh iya kan, perempuan juga punya kumis loh, saya punya soalnya, wakakaka).

Semua hal yang saya tuliskan tentang bertahan demi anak itu, nggak asak bertahan kok.
Ada syarat dan caranya, yaitu:


Syarat bertahan demi anak


Bertahan demi anak, sebenarnya wajib dilakukan semua ibu.
Namun tentu saja dengan beberapa syarat, agar niatnya benar-benar bertahan demi anak, dan mencapai keberkahan, bukannya dzalim ke diri sendiri.

Saya sudah pernah menuliskan hal ini di artikel tentang cara memutuskan bertahan atau bercerai.

Di mana, bertahan akan lebih baik jika:
  • Suami masih menafkahi, setidaknya menafkahi anak-anaknya.
  • Suami masih menjadi sosok ayah terbaik buat anak-anaknya.
  • Suami tidak melakukan kekerasan fisik yang dilakukan setiap saat dia marah (karakternya temperamen).
  • Suami juga tidak punya karakter bermulut kasar (KDRT verbal, yang merupakan karakter ya, kalau sesekali dia berkata yang menyakitkan hati mah, wajar sebagai manusia, kita wanita juga pasti pernah kan?).
  • Suami tidak bergonta ganti pasangan di luar, penyakit dong Mom!
  • Suami masih mau bertahan, tidak ngotot bercerai.
Jadi gitu ya, hal yang saya maksudkan dengan bertahan demi anak ya, jika masalah rumah tangga yang banyak terjadi sekarang ini.

Perbedaan pendapat lah, ekonomi lah, merasa bosan lah, beda pola pikir lah.
Saya pikir, hal-hal demikian masih bisa diperbaiki, dengan tentunya dimulai dengan niat bertahan demi anak.


Yang harus dilakukan dengan bertahan demi anak 


Bertahan demi anak adalah sebuah tindakan yang bodoh, memelihara ketidak bahagiaan tanpa ujung.
Pasti banyak yang beranggapan seperti itu kan?

Saya sudah pernah membahas hal ini di artikel, tidak memilih bercerai dan bertahan demi anak, bukan berarti bertahan dalam derita

Intinya, bukan hanya memilih bertahan demi anak, tapi juga memperjuangkan semua kebaikan demi anak.

Jadi, bukan berarti bertahan aja ya.
Menjalani hidup dalam ketidak harmonisan, ketidak bahagiaan, ke selalu saling menyakitinya.

Tapi, berjuang untuk memperbaiki hubungan, ya dengan satu tujuan, demi anak.

Toh sama aja kan ye, mau bercerai pun, masa iya kebahagiaan bakalan datang begitu saja ke kita.
Enggak kan, butuh perjuangan panjang juga, sampai akhirnya kita bisa menerima hal menyakitkan dari perceraian, hingga akhirnya kita bisa berdamai dengannya.

Demikian juga dengan bertahan, butuh perjuangan yang juga tak mudah, tapi insha Allah, kita punya tujuan yang jelas, demi anak-anak.
Demi kebahagiaan anak-anak.

Dan kebahagiaan anak-anak adalah sumber kebahagiaan terbesar kita, sebagai ibu, iya nggak?


Penutup


The real meaning of 'Bertahan Demi Anak' ini saya tuliskan, berdasarkan kisah-kisah sedih dari anak-anak yang kehilangan sosok parents, karena ayah ibunya bercerai.

The Real Meaning of 'Bertahan Demi Anak'

Terlebih kalau kedua parents yang bercerai, akhirnya memilih menikah lagi, punya keluarga sendiri, dan sedihnya kadang anak-anak tersebut menjadi batu sandungan kebahagiaan keluarga ayah/ibunya yang baru.

Karena itulah, saya berpikir, bertahan demi anak itu lebih mulia.
Bukan hanya sekadar bertahan ya, tapi juga berjuang untuk kebaikan.

Demikianlah, the real meaning of Bertahan Demi Anak.


Sidoarjo, 09 September 2022


Sumber: pengalaman dan opini pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

2 comments for "The Real Meaning of 'Bertahan Demi Anak'"

  1. Aurel anang emang pengecualian.kebanyakan ya emang terlantar anak2 klo org tuanya bercerai aplg dah nikah masing2...aduh miris bgt kan

    ReplyDelete
  2. Bertahan atau melepaskan bukan keputusan yang mudah. Begitu juga pengaruh ke depannya. Terutama bagi anak itu sendiri maupun ortunya. Yaa persiapan materi dan mental juga sangat perlu dipikirkan

    ReplyDelete