Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Banyak Anak Banyak Rezeki or Banyak Berbagi Banyak Rezeki

Konten [Tampil]
Banyak Anak Banyak Rezeki or Banyak Berbagi Banyak Rezeki

Banyak anak banyak rezeki, percaya nggak?
Kalau saya sih, sekarang ini percaya, meskipun ada pemikiran sendiri tentang rezeki yang dimaksud.

Dan di Parenting By Rey kali ini, saya ingin mengemukakan tentang keyakinan saya akan pola pikir yang populer sejak masa lampau itu, tapi tetap worth it dan masuk akal di pikiran saya.
Tulisan ini terpikirkan di benak saya, ketika melihat sebuah konten video, yang mengatakan bahwa dia tidak percaya banyak anak bakalan bisa banyak rezeki.

Yang ada, banyak anak bakalan banyak jantungan.
Tanggung jawab lebih besar, belum lagi anggapan kalau banyak anak bakalan banyak yang bisa ngurus ketika tua.

Kenyataannya, banyak orang tua yang sakit, punya anak banyak, eh yang bisa urus dan jaga palingan cuman satu atau dua orang.
Belum lagi, kalau mereka berantem rebutan warisan ketika orang tua telah nggak ada

Lalu penjelasannya di akhiri dengan pernyataan.
Ubah pikiran yuk, banyak rezeki itu, bukan karena banyak anak, tapi karena banyak berbagi, dan itu sudah terbukti.

Ini menarik banget buat saya bahas!


Ingin Memilih Berbagi di Panti Asuhan


Tau nggak?
Saya tuh kalau lagi burn out di kesehariannya, lelah lahir batin mengurus semuanya sendirian.
Duit menipis.
Anak-anak jejeritan.

Banyak Anak Banyak Rezeki or Banyak Berbagi Banyak Rezeki

Oke, saya jelaskan lagi buat yang baru aja menemukan tulisan saya, kondisi saya tuh cuman bertiga sama 2 anak.

Saya mengurus anak-anak seorang diri, tanpa bantuan siapapun.
Masak, nyuci, dan segalanya itu.
Urus anak, mandiin, cebokin, suapin, aturin jadwal sekolahnya dan lainnya, semua saya yang kerjakan sendiri.

Dan, harus cari uang karena harus bayar sekolah si bungsu, serta biaya makan yang tidak dicover sepenuhnya oleh papinya anak-anak.
Capek? nggak usah nanya deh!

Rasanya saya pengen teriak, bahkan kadang udah teriak sih.
Sambil berpikir bahkan kadang berkata,
"Kalau disuruh milih, saya lebih milih cari pahala dengan berbagi buat anak-anak di panti asuhan, ketimbang mengurus 2 anak sendiri, toh sama aja dapat pahalanya, lebih minim drama pulak!"
Lelah banget soalnya.
Saya sungguh merindukan masa-masa sebelum punya anak, sebelum menikah.
Yang mana, kalau ngantuk ya bobok, lapar ya makan, sedih ya nangis dan makan cokelat, butuh uang ya kerja!

Hidup terasa jauh lebih mudah kalau saya nggak perlu urus anak.
Kalau urus anak?
Ngantuk? ya harus cepat-cepat ajak anak-anak gosok gigi, pipis dulu, ganti baju biar nggak gatal dan rewel pas tidur. Baru deh saya bisa tidur (panjang benerrrrr perjalanan sampai ke tidur).

Kalau lapar? ya pastikan ada uang buat beli makan atau bahan makanan dan segala perlengkapan buat masak.
Kalau nggak ada uang? ya usaha dulu, cari uang, biar kata ngantuknya naudzubillah karena kurang tidur.

Belum lagi saya harus membagi waktu 24 jam yang terasa sangat sedikit itu, demi semuanya terurus.
Anak-anak butuh saya secara fokus, kerjaan rumah juga butuh saya.
Dan kalau mau dapat uang, ya harus fokus juga cari uang dari rumah di tengah jejeritan anak-anak, waktu yang sangat sedikit untuk itu.

Pokoknya, saya kangen masa lalu saya.
Masa ketika kerja tanpa tanggung jawab.

Saya bebas kerja lembur, tanpa harus mikirin anak-anak nggak terurus.
Saya juga bebas cari uang sebanyak-banyaknya, dan tentunya saya bisa berbagi buat anak-anak yang kurang beruntung di panti asuhan atau sejenisnya.

Saya rasa, itu rencana yang sempurna, saya bisa dapat pahala karena berbagi.
Dan saya bebas menjemput rezeki tanpa diribetin masalah anak yang bikin kita berasa punya ekor yang mengganggu kinerja kita dalam hidup.

Rencana yang sempurna bukan?
Saya memikirkan hal ini, bahkan jauh sebelum saya liat konten, banyak berbagi banyak rezeki.


Rezeki Saya Ketika Belum Punya Anak Dulu


Setelah memikirkan rencana yang lebih menyenangkan, ketimbang hidup saya saat ini.
Nggak punya anak, hidup minim drama.

Bebas fokus cari uang, bebas menjauh dari drama, punya banyak pilihan sehingga kalau ada orang yang toxic di pikiran saya, ya babay lah, nggak perlu terlalu berlarut-larut memelihara toxic.

Ya karena saya mandiri, saya bisa cari uang, tidak perlu bergantung dari orang lain.
Tidak ada hal yang bikin saya harus terpaksa bergantung dari orang lain.
Sungguh sangat menarik kan ye?

Etapi, bentar deh.
Sepertinya saya udah pernah melewati masa itu dalam hidup saya.
Makanya saya bisa membandingkan dan merindukan masa nggak punya anak.
Ya karena dulu, ketika belum ada anak, hidup saya tuh terasa bagai di awan-awan.

Hm.... benarkah?

Mari kita mundurkan waktu belasan tahun lalu.
Masa-masa ketika saya belum punya anak, bahkan belum menikah.

Benarkah saya bahagia?
Benarkah saya bisa bebas berbagi?

Pret lah, hahaha.

Kenyataannya, saya pernah nggak dapat kerjaan dan merasakan menganggur dan miskin banget selama setahun karena nggak punya uang, benar-benar nggak punya uang, karena saya nggak punya kerjaan, dan ortu saya tega banget nggak mau support sedikitpun uang buat biaya hidup saya, untung aja saya jijay disentuh orang, kalau enggak keknya saya udah jual badan deh, astagfirullah.

Saya juga struggle bertahun-tahun dengan pekerjaan yang sampai lembur setiap hari, tapi gajinya sangat kecil (beneran kecil loh, sampai saya iri banget sama teman-teman yang bisa kerja dengan gaji di atas saya, padahal mereka lebih banyak gabutnya, sementara saya, duh you know lah gimana saya dalam bekerja apapun, selalu totalitas penuh.

Dalam  ke struggle an seperti itu, boro-boro bisa berbagi di panti asuhan, gaji saya nyaris nggak cukup buat kehidupan sendiri.
Bayar kos aja udah hampir separuh gaji, biaya makan, bahkan mau beli baju aja saya nggak sanggup.

Itu dalam konteks saya kerja yang benar-benar serius ya, bisa dilihat kinerja saya ketika membangun blog, totalitas.
Ya karena itu udah kebiasaan yang nggak bisa saya hilangkan.

Dalam bekerja, apapun itu, meski kerjaan yang saya nggak suka, kayak dulu berbisnis Oriflame, saya selalu totalitas, boleh deh tanya semua upline saya.
Saya kerja mati-matian, saking seriusnya, dalam hal ilmu bisnis dan produk Oriflame, bahkan saya jauh lebih mengerti ketimbang upline.

Tapi apakah saya sukses? mentok di manajer 15 dong.
Luar biasa ya rezeki saya itu, hahaha.

Lalu, yuk balik lagi pada pola pikir, andai nggak usah urus anak, pasti kehidupan saya jauh lebih mudah, cari uang yang banyak buat berbagi di panti asuhan.
Atau punya anak asuh aja deh, anaknya diasuh orang lain, saya kebagian beliin keperluan sekolah dan bayar sekolahnya aja.

Jadi saya nggak perlu diribetin masalah drama anak, pokoknya bayarin aja dah.
Menarik bukan?

Kalau iya menarik, mengapa nggak saya lakukan sejak belum punya anak dulu ya?
Sejak masih punya banyak waktu atau waktu saya ya untuk diri saya sendiri, nggak perlu berbagi dengan anak-anak.

Jawabannya adalah, karena kamu sotoy banget Rey!
Ngatur Tuhan!
Padahal, siapa sih kamu itu Rey!
hahaha.  


Akhirnya Memahami yang Namanya Konteks Rezeki 


Dari semua renungan saya, mengulik masa lalu, perjalanan hidup, menilai kehidupan sekarang.
Secara perlahan, saya mulai memahami konteks rezeki yang ada.

Banyak Anak Banyak Rezeki or Banyak Berbagi Banyak Rezeki

Etapi ini dalam pola pikir saya ya, berdasarkan pengalaman hidup sendiri.
Menurut saya, setiap manusia itu, udah dikasih kehidupan yang pas sesuai kemampuannya masing-masing.

Dan setiap manusia itu punya rezekinya, yang dijamin Allah.
Saya nggak perlu melampirkan ayat-ayat Alquran untuk itu, sila browsing sendiri.

Dan kehidupan saya sekarang, punya anak dua, cari uang dari rumah saja, adalah merupakan kondisi yang terbaik yang Allah kasih.

Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya ada begitu banyak rezeki yang saya terima setelah punya anak, berbanding belum punya anak.

Bisa dilihat, dulu saya kerja belum punya anak, boro-boro kenal skincare, beli lipen aja nunggu sampai benar-benar habis.

Sekarang? biar kata kalau dipikir-pikir saya ini kere, tapi lipen saya bejibun, skincare juga banyak.
Rasa-rasanya, nggak ada yang kurang di diri saya, selain pola pikir saya yang over thinking dan merasa kurang mulu (kagak bersyukur si Lu, Rey!).

Anak-anak masih bisa sekolah insha Allah, meskipun kadang super takjub banget, karena jujur biaya sekolah si Kakak itu mahal banget buat ukuran saya.
Bahkan saya bisa bayarin sekolah si Adik, padahal saya nggak punya penghasilan gaji tetap kayak orang lain.

Saya masih bisa makan, makan enakpun bisa.
Saya dan anak-anak banyakan sehatnya, Alhamdulillah.

Dan, saya mengakui, kalau kehidupan atau rezeki saya tuh, jauh lebih baik sekarang, setelah punya 2 anak, ketimbang dulu masih single.

Dan karenanya, saya menyimpulkan bahwa...

Konteks rezeki itu gini.

Tiap manusia lahir di dunia ini dengan membawa rezekinya masing-masing, besar kecilnya ya tergantung takdirnya yang telah Allah ciptakan tanpa kurang sedikitpun.

Rezeki anak-anak, dititipkan ke orang tuanya untuk menjemputnya (dijemput ya, bukan dikasih langsung di depan rumah gitu!)
 
Dan orang tua, punya takdir ketika dititipkan rezeki.
Ada yang cuman dititipkan rezeki anak-anaknya, ada juga yang dikasih keistimewaan dititipkan rezeki orang lain dan itu banyak.

Itulah yang membedakan, orang banyak duit dan orang sedikit duitnya.

Balik lagi ke keyakinan diri, saya sangat yakin Allah itu Maha Adil.

Jadi, sebenarnya nggak ada orang yang benar-benar mendapatkan privilege di dunia ini.
Orang terlihat enak naik helikopter?
Ah, tantangannya juga pasti sebesar helikopter itu.

Orang terlihat enak bisa keliling dunia?
Pasti tantangannya juga seluas dunia.

Dan itu, nggak ada kaitannya dengan punya anak atau nggak punya anak.

Yang paling terlihat itu, ketika saya mengeluh di media sosial, kalau saya lelah, saya capek dan burn out
Atau mengeluhkan anak-anak, mengeluhkan uang dan segalanya.

Selalu ada teman-teman yang mengingatkan.
Baik secara langsung, maupun secara curhat juga.
Atau melalui postingan media sosial mereka.

Mbak Rey itu beruntung banget, meski papinya anak-anaknya nggak bisa membiayai semua kebutuhan keluarga, bahkan kebutuhan anak-anakpun dibagi ke saya yang notabene nggak punya waktu sebebas dia mencari uang.

Tapi saya masih bisa perawatan, masih bisa jajan sesuka hati.
Sementara ibu-ibu lainnya, harus menahan sedih dan bingung mengelola keuangan, karena uang yang dikasih suami sama sekali nggak cukup.

Tapi, di sisi lain, teman-teman saya itu jauh lebih tenang, karena tidur mereka cukup, beban hati bisa di refresh dengan nonton drakor, atau semacamnya.
Sementara saya? boro-boro nonton drakor, tidur aja cuman bisa 3-4 jam.

Poinnya apa?
Ya hidup adalah pilihan, tapi jangan khawatir, Allah menciptakan hamba-hambanya dengan ukuran yang adil, insha Allah.
So nikmati saja hidup ini, toh hanyalah sebuah persinggahan.


Jadi, Pilih Banyak Anak banyak Rezeki atau Banyak Berbagi Banyak Rezeki?


Kalau menurut saya, itu beda konteks lah!
Berbagi itu wajib, karena seperti yang saya pahami di atas, kita manusia ini, diberi kesempatan mampir ke dunia, sambil membawa rezeki kita masing-masing yang sama adilnya.

Namun, rezeki kita tempatnya disebar.
Ada yang 'digantung' tinggi, sehingga kita kudu melompat lebih tinggi untuk menjemputnya.
Ada pula yang malah dititipin ke orang lain.

Jadi, itulah konsep berbagi.
Ya karena di rezeki kita itu ada hak orang lain yang dititipkan oleh Allah.

Masalah titip menitip ini, sama dengan rezeki anak.
Bedanya, menjemput rezeki buat anak itu jadi wajib dan merupakan tanggung jawab penuh, kalau kita mau anak ketemu rezekinya dengan baik.

Namun, jangan khawatir dengan beban tanggung jawab itu.
Tidak ada tanggung jawab tanpa 'bayaran'.

Kalau kita mau berusaha keras buat berbagi dengan orang lain dengan tanggung jawab sesukanya.
Masa iya, kita diwajibkan usaha lebih keras buat menjemput rezeki anak, bakalan sama 'bayaran' atau 'hadiah'nya dengan yang tanggung jawab atau kewajibannya nggak besar?

Bahkan, parents muslim pasti pernah membaca ayat-ayat Al Quran, yang mengatakan bahwa menafkahi keluarga itu sama dengan bersedekah berkali-kali lipat.

Jadi, bagaimana bisa kita mengatakan, bahwa banyak berbagi itu banyak rezeki, sementara banyak anak cuman tanggung jawab aja yang kita dapatkan?

Apalagi, kalau kita memang beriman kepada Allah ya.
Bagaimana bisa kita mengingkari amanah-Nya, yang dititipkan-Nya pada kita?
Iya nggak?

Jadi, menurut saya, bukan masalah anggapan banyak anak banyak rezeki yang salah.
Orang bisa saja loh pengen punya anak banyak biar banyak rezeki.
Asalkan pastikan jadi lebih rajin dan semangat menjemput rezeki, karena yang mau dijemput ini rezeki banyak orang.


Penutup


Tulisan ini, sesungguhnya bukanlah mencerminkan bahwa saya adalah orang yang selalu bijak.
BIG NO!

Banyak Anak Banyak Rezeki or Banyak Berbagi Banyak Rezeki

Saya bisa sampai di pemikiran ini juga melalui perdebatan fisik dan mental.
Yang mana, pada akhirnya, saya sangat beruntung, karena Allah selalu memberikan jawaban untuk balik lagi kepada-Nya.

Termasuk masalah rezeki.
Mau berapapun anak yang Allah titipkan, insha Allah dititipkannya juga bersama rezeki si anak.
Namun, tentu saja harus diimbangi dengan usaha yang keras agar titipan-Nya itu, kita bersamai dengan amanah.

Termasuk dalam menjemput rezeki.

Jadi, banyak anak banyak rezeki or banyak berbagi banyak rezeki?
Beda konteks, tapi sama aja.

Karena kita berbagi ke orang lain, bisa mendapatkan banyak rezeki lagi, masa iya kita berbagi ke titipan atau amanah Allah, malah dicuekin Allah?

Iya nggak?


Sidoarjo, 14 September 2022

Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva dan dokumen pribadi

1 comment for "Banyak Anak Banyak Rezeki or Banyak Berbagi Banyak Rezeki"

  1. Kalo udh baca tulisan2 mubyg ttg parenting, aku seringnya jadi kayak kesentil 🤣🤣. Ngerasa malu aja, kok ya paling sering ngerasa ga puas Ama anak2. 😣

    Aku memang bukan tipe penyuka anak sih, malah dulu sepakat ga mau punya anak Ama pacar sebelumnya. Krn dia juga ga suka anak2. Tp memang ga jodoh, eh malah ketemu suamik yg suka banget anak2 🤣🤣. Alhasil aku ngalah, saking sayangnya Ama dia, mau juga hamil dan punya anak 2.

    Krn dulu pikiran ku itu masih anggab anak2 mah tanggung jawab yang artinya nambah pengeluaran . Makanya aku ga pernah setuju Ama orang dulu yg bilang banyak anak banyak rezeki 😄

    Tapi setelah ngerasain punya anak, aku sadar sih, ada rezeki2 yg memang Allah kasih setelah kami punya anak. Pas Kaka lahir, suami masih kerja di bank Australia, yg mana limit asuransi utk lahirannya bahkan bisa cover kamar super VIP. Kalo hrs bayar sendiri sih, udh pasti milih kamar biasa 🤣🤣.

    Pas si adek lahir, suami udah pindah ke bank lain, asuransinya ga Segede bank sebelumnya, tapi gaji suami naik. Dipikir2 ya itu rezeki juga. Intinya, selalu ada aja rezeki ga disangka yang Allah kasih tiap kali berhubungan Ama anak2. Pas masuk sekolah, ataupun saat sakit.

    Jadi mungkin aku hrs mengubah mindset kalo rezeki anak memang ada. Tapi kayak katamu, harus dijemput, bukan cuma ngarepin datang sendiri 😄.

    ReplyDelete