Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tidak Memilih Cerai, Bukan Berarti Bertahan Dalam Derita

Konten [Tampil]
tak cerai tetap bahagia

Parenting By Rey - Bahas cerai lagi, hahaha.
Karena memang ada yang nanya ke saya, apakah saya jadi cerai?

Saya jadi pengen ngakak, antara geli ataupun sedih.
Karena, saya telah berusaha membaca ulang beberapa tulisan saya, tapi saya nggak menemukan satupun tulisan bahwa saya akan segera cerai.

Btw, kayaknya bahasan ini memang sedikit sensitif, jadi saya akan mulai dengan sebuah disclaimer penting buat para temans yang ingin membaca tulisan ini.
"Bahwasanya tulisan ini hanya bertujuan sharing, merekam cerita untuk pelajaran diri sendiri. Dan saya tidak bertanggung jawab dengan efek samping mental yang makin down atau terganggu dengan tulisan saya, karenanya diharapkan kebijakannya sendiri, sebelum membaca tulisan ini!"


Tentang Tidak atau Belum Memilih Cerai


Di post saya terdahulu, udah saya jelasin, jawaban dari beberapa orang yang bertanya, mengapa saya nggak cerai aja?

Ya karena masih berjodoh, dan juga saya belum mampu membiayai sekolah anak seorang diri.
Setidaknya untuk saat ini.

Nantinya, kalau udah mampu biayain anak sekolah, apakah akan cerai?
Ya tergantung jodohnya dong ya, manalah saya bisa melawan takdir Tuhan?
Kalau ditakdirkan masih berjodoh, mau saya jungkir balik juga nggak bakal bisa bercerai.

Sementara, sebaliknya.
Mau saya mati-matian mempertahankan, tapi Tuhan bilang, udah sampai akhir jodoh kami, ya pasti deh bubar jalan..

Dan yang paling penting, adalah, karena saya sadar saya nggak sendiri sekarang, udah ada 2 orang anak manusia yang punya hak hidup dengan keluarga utuh dan bahagia.

So, itulah sepertinya goal saya, hingga saat ini tidak memilih bercerai, karena saya ingin anak-anak punya kesempatan hidup dengan lebih baik, berbahagia dengan mami dan papinya, bukan harus bahagia sendiri-sendiri.

Karena kebetulan anak-anak, terutama si Adik, dekat dengan saya, maupun papinya.
Bahkan si Kakak, yang sering banget kena marah papinya, masih juga mencintai papinya dan selalu kangen akan kepulangan papinya dari tempat kerjanya.

Namun, saya yakin bakalan ada pertanyaan, atau mungkin pernyataan.
Bagaimana anak-anak bisa bahagia, kalau ibunya sendiri sering depresi, nggak bahagia, selalu diabaikan?

Oh, tentang hal itu?
Sesungguhnya bukan berarti saya memilih bertahan, lalu saya akan menderita selamanya.


Tidak Memilih Cerai, Bukan Berarti Bertahan Dalam Derita


Iya, apapun pilihan saya, sebenarnya tidaklah terlalu mempengaruhi penderitaan ataupun kebahagiaan saya, karena saya tahu, kalau semua derita dan bahagia itu, bukan orang yang ciptakan.
Tapi kita sendiri yang harus mengusahakan.

Jadi sebenarnya, mau saya tetap menikah kek, mau cerai kek, kagak bisalah kedamaian dan bahagia itu akan saya reguk, kalau memang saya sendiri masih belum bisa menerima apa-apa yang tidak sesuai dengan keinginan saya.

Terlebih, di kasus saya, meski pasangan selalu lari tanpa kabar setiap kali kami punya masalah, tapi dia sama sekali nggak berani mengucapkan kata cerai.
Lama-lama saya pikir, paksu lari sebenarnya bukan karena benci, tapi takut melakukan hal yang akan dia sesali.

Bahkan, ketika terakhir kali kami berantem, saya berteriak menantang dia, untuk menceraikan saya.
Tapi yang ada, dia malah kabur secepat mungkin, hahaha.

Sampai-sampai saya bilang, 
"Ngaku saja, kalau kamu nggak bisa hidup tanpa saya kan? makanya kamu nggak berani mengucapkan kata cerai atau talak!"
Si paksu jawab apa?
Nggak jawab sih, cuman kabuuurrrr hahahaha.

I told you, i have sooo complicated marriage, kadang eh bahkan sering saya merasa pernikahan ini adalah toxic banget buat saya.

Tapi, sesungguhnya, paksu sama sekali nggak berani mengucap kata cerai, apalagi memukul saya, eh kecuali pernah nampar saya sewaktu saya hamil dulu (diingat teroooss, hahaha), itupun katanya nggak sengaja.

Etapi, pasangan nggak berani mengucap cerai, tapi selalu kabur, nggak kasih kabar, nggak kasih duit, apa itu masih bisa dibilang hubungan yang nggak toxic?

Off course toxic banget!

Karena, seharusnya, mau masalah sebesar apapun, yang namanya komunikasi itu penting.
Lari sejam dua jam dari rumah untuk menenangkan diri, itu nggak masalah.

Tapi, kalau udah berhari-hari, bahkan berminggu-minggu nggak ada kabar, itu kan udah nggak normal sama sekali?
Terlebih, kami ini punya 2 anak.
Iya DUA ANAK!
Dan kondisi saya nggak bekerja, mau dapat di mana cobak saya duit buat biaya hidup?

Terutama ketika saya sakit bulan lalu.
Itu tuh sakit banget, saya nggak bisa bergerak sama sekali, dan anak-anak belum sepenuhnya mandiri.
Sementara paksu?
Bahkan izin sebentar mengajak saya ke dokter saja, dia nggak bisa atau nggak mau.

Semua perlakuannya tersebut, membuat hati ini sesak.

Sampai seorang sahabat baik saya yang memang telah mengenal kami sejak kami belum menikah, bertutur,
"Mbak Rey, memangnya ketika sakit kemaren, Mbak Rey beneran nggak makan?, nggak minum obat? nggak punya uang sepeserpun, karena suami nggak ngasih duit?"
Nyesss.... 
Hati rasanya mencelos.

Astagfirullahal adzim!

Betapa butanya saya karena kemarahan di hati, sehingga saya tidak fokus pada masalahnya, tapi pada orangnya.
Sementara, bagaimana bisa saya harus membenci orangnya?
Sedangkan dia juga pernah baik banget sama saya.
Diapun adalah papi yang baik dan dicintai anak-anaknya?

Karena saat saya sakit kemaren, tidak mendapatkan sedikit usapan tangan suami yang mungkin bisa meredakan penyakit saya.
Tapi, saya mendapatkan buanyaaaakkk banget elusan tangan sahabat-sahabat.

Justru, ketika saya sakit, rezeki saya buanyaaakkk banget, Subhanallah....
Mengalir dari segala penjuru.
masuk rekening, ke kulkas, ke dompet, ke makanan setiap hari.

Lalu, sebenarnya, saya marah karena nggak ada duit maupun bantuan yang meringankan.
Atau saya marah karena suami nggak mau mengorbankan kerjaannya demi menemani saya?

Ya, sahabat saya menyadarkan saya, bahwa jika saya harus bisa memilah-milah apa masalah saya, agar bisa menentukan keputusan diri yang terbaik, terlebih keadaan saya sekarang bukan lagi seperti keadaan 10 tahun lalu, ketika masih belum punya anak.

Sekarang mah, apa-apa mikirnya kudu panjang, karena sebagaimana teorinya ibu bahagia akan membuat anak bahagia juga, bagaimanapun kondisinya, entah bercerai ataupun tidak.
Namun saya rasa, ketika salah mengartikan masalah, dan menilai bahwa pernikahannya yang salah, namun ternyata bukan, tapi tetap memutuskan bercerai, maka kebahagiaan impian, akan tetap menjadi impian semata.

Lalu gimana dong? Masa iya bertahan sambil sakit hati melulu?


Alhamdulillah, Allah kasih saya sakit dan kondisi ngenes karena dicuekin suami (meski bukan disengaja, katanya), tapi menggantinya dengan berbagai hal baik yang saya terima dari para sahabat.
Bukan hanya bantuan materil, tapi juga dukungan mental serta solusi nyata buat masalah saya.

Salah satunya, ada yang menyadarkan, bahwa bersyukur adalah jalan ninja menjadi bahagia.
Benar, mengapa harus memelihara rasa nyesek karena sakit seorang diri, tak ada suami, maupun keluarga yang bisa menjenguk atau setidaknya membantu.

Tapi, ternyata saya tetap hidup, dengan rezeki yang berlimpah.

Lalu sahabat lainnya, mengajari saya bagaimana memilah masalah, yaitu:


1. Menulis, apa sih mau saya? apa yang saya marahkan? apa yang saya takutkan?


Agak lama saya merenung, iya ya? apa sih yang saya marahkan?
Apa yang membuat saya sedemikian kecewanya?
Apa yang saya takutkan?

Ternyata, sepertinya memang saya marah, karena suami tidak bisa menjadi seperti yang saya inginkan, tapi itupun bukan semata karena kesengajaannya.

Lalu, penolakannya membuat saya kecewa.

Lalu apa yang saya takutkan?
Yang paling nyata adalah, ketika saya nggak bisa menyekolahkan anak-anak seorang diri.

Dari semua itu, saya mulai memilah-milah masalah saya, mengelompokan dalam sebab akibat, lalu terbentuklah masalah dan solusi yang harus saya lakukan.

Dan suprisingly, berpisah, sama sekali tak ada dalam solusi tersebut, hahaha.


2. Fokus ke solusi dari masalah yang ada


Setelah saya tahu masalahnya, saya akhirnya bisa lebih fokus menyelesaikan masalahnya.
Ada masalah keuangan, saya dibantu seorang sahabat untuk menuliskan semua masalah pengeluaran saya, berbanding dengan pemasukan.

Dari situ, saya jadi punya goal nyata mengenai angka uang yang harus saya usahakan, beserta deadline-nya. Dan subhanallah, sahabat saya tersebut, bukan hanya membantu saya dengan menjadi konsultan keuangan saya secara gratis, tapi juga bantuin mencukupi post-post yang memang wajib segera ditutupi.

See, apa nggak malu saya, kepada sang Maha Kuasa, yang sebenarnya lebih banyak ngasih solusinya, ketimbang masalahnya.
Ampuni hamba-Mu ini ya Allah, hiks. 

memilih tidak cerai

Masalah lain adalah, tentang mental saya yang memang terlihat dan terasa ada yang salah.
Kembali lagi saya diajarin, untuk mencari solusi tentang masalah mental saya.

Udah tahu saya punya masalah mental, maka solusinya adalah? berobat dong!
Karenanya, saya langsung menghubungi teman facebook saya, yang bernama Mba Ribka Imari, dia adalah seorang penyintas bipolar dan berhasil mengasuh inner child-nya dengan baik, lalu kemudian membuka kesempatan pada ibu-ibu lainnya yang ingin menyembuhkan inner child-nya. 


Dan memang, semua serba berurutan, Alhamdulillah semacam habis badai terbit pelangi, di mana setelah saya nangis sendiri karena merasa nggak punya siapa-siapa.
Lalu ternyata, setelah itu segala kebaikan menghampiri saya, TANPA PERLU SAYA CERAI DARI SUAMI DULU, hahaha.

Jadi begitulah.
Sesungguhnya, memilih tidak bercerai, bukan berarti saya akan bertahan dalam derita sepanjang hidup saya.

Oh tentu saja tydac kawan! 
Karena tahu nggak sih?
Saya itu tipe orang yang bosanan.

Untuk hal yang baik aja saya bosan, misal paksu rajin bantuin di dapur, tapi malah berantakin dapur.
Itu bikin saya bosan loh.
Apalagi saya menderita bersusah hati melulu?

Tidak akan mungkin terjadi pada saya deh.

Karena, saya akan melompat agar bebas dari masalah.
Dan saya kembali bahagia, meski tanpa bercerai.

Anak-anakpun lebih gembira, karena mami papinya masih bersama, dan maminya mulai bisa sedikit demi sedikit menjadi mami yang nggak kayak orang gila melulu, hahaha.

Demikianlah, segini aja dulu deh cerita saya, semoga bermanfaat bagi yang masih tahan baca sampai habis.

Intinya, saat kita merasa pernikahan adalah toxic buat kita, jangan buru-buru mengiyakan perasaan itu, tapi cobalah mencari ruang dalam sempitnya hati yang sesak.

Agar bisa berpikir jernih, memilah-milah perasaan dan apa yang kita butuhkan.
Lalu mencari solusi tepatnya.
Jika memang setelah sibuk memilahnya, mencatatnya, ternyata memang sumbernya dari pernikahan yang benaran toxic, bukan semata pola pikir kita yang berlebihan disebabkan oleh berbagai kondisi mental kita.

Maka barulah perpisahan adalah yang terbaik, insha Allah.
So, jangan merasa sedih karena harus bertahan dalam penderitaan.
Tapi, melompatlah..
Jangan mau hidup susah hati mulu, dan satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas susahnya hati kita adalah...

Tett tret tett...
Diri kita sendiri!

Semoga bermanfaat :)

Sidoarjo, 19 Maret 2021


Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

8 comments for "Tidak Memilih Cerai, Bukan Berarti Bertahan Dalam Derita"

  1. Salut Ama kamu Rey. Setidaknya kamu masih bisa berkepala dingin dalam hal ini :). Masih mau memilah masalah2nya, dan mencari solusi. Baguus sih. Jd keputusan yg dibuat, bukan keputusan yg grasak grusuk.

    Aku sendiri ketika cerai pertama kali, terlalu kebawa emosi dan ga mau mikir panjang. Tapi dipikir2 sih, kalo penyebabnya selingkuh, aku memang ga akan kasih toleransi sih. Cerai itu harga mati kalo udh menyangkut ga setia.

    Aku msh mau berfikir dalem2 dulu, kalo memang masalahnya bukan Krn itu. Semoga aja kalian berdua bisa ketemu jalan kluar yg pas utk masing2 yaa. Demi anak2 juga :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Mbaaa :*
      Mungkin karena saya udah punya anak Mba, jadinya mikirnya lebih panjang.
      Itupun memang masalahnya dari pola pikir sih, bukan karena selingkuh atau KDRT main tangan gitu,

      Kalau selingkuh, beda lagi mungkin ceritanya :D

      tengkiu doanya Mbaaa sayang :*

      Delete
  2. Nah, lagi ada konflik kayaknya. Gak apa-apa Mbak Rey. Sabar. Dunia diciptkan Tuhan dengan penuh masalah. Tanpa itu alam gak rame. selamat malam.

    ReplyDelete
  3. Hai mba.. 21 Maret 2021 jam 22.35, aku nemu tulisan mba yg ttg konsultasi ke unair. Dan akhirnya nyampe kesini.
    aku yg malam ini awalnya nyari pengacara pernikahan, krn rasanya mo ngajak cerai aja besok pagi, lalu pindah ke keywod konsultan pernikahan, psikolog pernikahan, nyampe juga kesini mba lol
    Ngelihat ini tulisan 19 maret, dr yg awalnya mba konsul th 2019 (atau 2020 yaa?), ngelihat ini, aku jadi sedikit yakin kalau i'll be okay, krn kondisiku & suami kurang lebih sama. Salam kenal mba rey.. semoga kapan2 kita bs ketemu langsung ya 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo salam kenal Mba Ana, wah terimakasih udah mampir dan membaca tulisan saya, semoga semuanya menjadi lebih baik lagi yaaa :)

      Delete
  4. setuju sama yang dibilang mbak rey, sekarang mikirnya kudu jangka panjang ya
    dan bener juga kata mba Fanny, nggak keburu untuk ambil keputusan apalagi kalau udah berkeluarga

    ReplyDelete