Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Anak Pertama Disebut Anak yang Dipaksa Tangguh Oleh Kondisi, Benarkah?

Konten [Tampil]
Anak Pertama Disebut

Anak pertama disebut sebagai anak yang seringnya ditangguhkan oleh kondisi, atau kebanyakan anak pertama tumbuh menjadi anak yang tangguh, karena kondisi dan keadaan keluarganya.

Benarkah hal itu? 
Di Parenting By Rey kali ini, saya akan membagikan opini saya tentang pendapat tersebut, berdasarkan pengalaman saya menjadi anak kedua dan melihat kakak saya sebagai anak pertama, serta melihat perkembangan anak pertama saya, Kakak Darrell.

Karena kenyataannya, pendapat kebanyakan orang, khususnya para (they called) pakar parenting itu, tidak melulu terjadi seperti itu.


Anak Pertama Disebut Anak yang Ditangguhkan Oleh Kondisi


Saya sering membaca beberapa tulisan tentang anak pertama, di mana kebanyakan orang menyarankan agar parents, khususnya ibu sebaiknya banyak-banyak minta maaf kepada anak pertama, yang seringnya ditangguhkan dengan menjadi 'dewasa' sebelum waktunya, terutama karena statusnya sebagai 'kakak'.

Anak Pertama Disebut

Anak pertama, seringnya dipaksa untuk menjadi lebih cepat dewasa, dengan berbagai tanggung jawab atau 'kewajiban' yang diwajibkan kepadanya, meskipun sebenarnya secara usia, si anak pertama belum wajib diberikan kewajiban tersebut.

Misal, kakak harus menjadi kakak yang baik untuk adiknya.
Kakak harus menjadi contoh yang baik untuk adiknya.
Kakak harus membantu parents menjaga adik.
Kakak harus mandiri.
Kakak harus dan harus lainnya.

Semua itu, hanya berlaku, atau tepatnya lebih sering hanya berlaku kepada kakak si anak pertama saja.
Dan hal itu, dinilai sebagai hal yang nggak adil buat si anak pertama.

Ketika adiknya bisa menikmati masa kanak-kanaknya dengan puas, anak pertama harus puas menikmati masa kanak-kanaknya secara terbatas. 
Karena lagi-lagi, anak pertama sebagai kakak, wajib mengalah dan bertanggung jawab akan adiknya.

Karenanya, anak pertama disebut tumbuh menjadi anak yang tangguh karena terpaksa keadaan atau kondisi, tak heran jika anak pertama seringnya lebih keras kepala, selalu ingin menjadi pemimpin, karena terbiasa dipaksa memimpin dan bertanggung jawab akan adiknya.

Dan karena itulah, pantaslah buat parents, khususnya ibu, untuk lebih memperhatikan perasaan dan kebutuhan psikis anak pertama, agar dia tidak merasa statusnya sebagai anak pertama merupakan sebuah 'kutukan' buatnya.


Fakta Anak Pertama Dalam Opini dan Pengalaman Saya


Mungkin saya kurang pandai mengerti perasaan anak pertama, karena saya adalah anak kedua, anak bungsu selama 6 tahun, lalu statusnya 'dicuri' oleh adik saya yang lahir ketika saya berusia 6 tahun.

Anak Pertama Disebut

Setelah adik lahir, saya merasa menjadi anak ke-terakhir, khususnya dalam hal perhatian dan pemenuhan kebutuhan diri.

Karena itulah, saya masih kesulitan untuk memahami sepenuhnya, kalau anak pertama disebut anak yang tangguh oleh kondisi.

Kenyataannya, di posisi saya menilai kakak saya serta anak pertama saya, si Kakak Darrell, tidak bisa sepenuhnya disebut anak pertama yang ditangguhkan oleh kondisi.

Karena hal-hal berikut:


Kakak saya sebagai anak pertama dalam pandangan saya


Kakak saya, Jouke, lahir berselang 19 bulan lebih dulu dari saya.
Di mana, saya lahir ke dunia, ketika kakak hampir 2 tahun.

Masa kecil kami, tak banyak lagi yang bisa teringat dalam pikiran, tapi seingat saya, orang tua, khususnya Bapak, sangat adil memperlakukan kami, terutama dalam memenuhi kebutuhan kami.

Misal, ketika bapak membelikan baju, Bapak pasti beli 2 pasang, atau kelipatannya.
Karena saya satu, kakak juga pasti dapat satu pasang.

Bahkan, saking bapak nggak mau kami merasa saling iri, beliau selalu membelikan pakaian atau apapun dengan model yang sama persis, hanya beda warna saja.

Saya masih ingat, Bapak selalu memilihkan warna biru untuk saya, sementara Kakak selalu mendapatkan warna merah.

Keadaan berubah setelah kami pindah ke Buton, dan mama melahirkan adik yang berjarak 6 tahun dari saya.

Sejak kepindahan tersebut, rezeki keluarga berpindah ke mama.
Bapak jadi kesulitan mendapatkan pemasukan seperti di Minahasa.

Untuk memenuhi kebutuhan kami, untung mama bisa lulus PNS dan menjadi seorang perawat di sebuah Puskesmas daerah terpencil.

Sejak saat itulah, kondisi menempatkan saya sebagai anak paling akhir mendapatkan perhatian.
Mama yang notabene memegang semua penghasilannya sendiri, meskipun digunakan juga untuk kebutuhan keluarga, lebih mendahulukan kebutuhan bahkan keinginan adik saya yang memang seorang lelaki.

Mama yang begitu mencintai anak lelaki, anak bungsu pula.
Anak yang lahir dan membawa mama menjadi PNS, praktis seluruh kasih sayang dan perhatiannya terpusat ke adik saya.

Selain Adik saya, perhatian kedua tercurah ke Kakak saya.
Karena ( dalam ingatan saya) di lingkungan tempat tinggal kami, yang namanya anak pertama tuh, semacam lambang kesuksesan keluarga, jadi anak pertama selalu diperhatikan terlebih dahulu.

Jadilah, setelah adik saya, giliran kakak yang diperhatikan, didahulukan.
Setelah itu (jika masih ada sisa), barulah saya yang mendapatkan perhatian meski itu butuh banget.

Bahkan, ketika kelas 6 SD, kakak saya pindah sekolah mengikuti tante saya yang memintanya tinggal di rumahnya untuk menemani anak-anaknya (sepupu kami).

Tinggallah saya bersama adik di rumah.
Meski demikian, perhatian maupun kebutuhan saya tetap jadi yang paling terakhir.

Kakak yang sejak kelas 6 tinggal bersama tante, masih punya kehidupan yang lebih baik (di mata saya).
Kebutuhannya diperhatikan, baik oleh tante, maupun mama.
Sementara saya, bahkan untuk kebutuhan urgent saja, masih harus bersabar dan menunggu.

Meskipun demikian, kakak tetap tumbuh jadi pribadi yang merasa dirinya kekurangan kasih sayang orang tua.
Mungkin karena dia tinggal berjauhan dengan mama bapak kali ya, meskipun sebenarnya kalau tinggal bareng mama dan bapakpun, belum tentu bisa mendapatkan perhatian.

Orang saya aja yang tinggal berdua dengan Adik di rumah, selalu jadi pihak terakhir yang mendapatkan perhatian.

Kakak saya selalu merasa sedih dengan hidupnya, masa kecilnya yang terampas (menurutnya).
Menjadikannya sosok yang selalu ingin jadi pemimpin, selalu ingin mau mengatur segala sesuatunya, dan menuntut saya harus menurut dengannya.

Bukan hanya itu, kakak yang hidup berjauhan dengan orang tua sejak usia 11 tahun, membuatnya tumbuh jadi anak yang selalu haus kasih sayang.

Bahkan, saya rela pergi jauh dari orang tua, demi menghindari rasa kecewa rebutan perhatian ortu di masa dewasa, tetap saja si Kakak saya merasa nggak pernah bisa dahaganya terpuaskan.

Padahal, kalau dirunut-runut ke masa silam, (dalam pikiran saya) orang yang dipaksa jadi tangguh oleh keadaan itu ya, saya.
Yang tinggal bersama orang tua, tapi seolah tak telihat.

Justru kakak, yang meski jauh dari orang tua, tapi tetap mendapatkan semua kebutuhannya meski tidak berlebihan.

Saya? yang bahkan pakaian dalampun, bahkan ketika masa menstruasi pertama saya tiba, mama seolah nggak melihat kalau saya ada.

Jadi, kakak sebagai anak pertama di keluarga kami, bukanlah anak yang paling dijadikan tangguh oleh keadaan.
Anak kedua, saya juga merasakan, bahkan lebih.


Kakak Darrell sebagai anak pertama dalam pandangan saya 


Kakak Darrell menjadi anak tunggal (sementara) selama hampir 7 tahun.
Dan hampir seperti anak tunggal lainnya, dia diperlakukan dengan amat sangat istimewa.

Segala hal sudah dia rasakan dan dapatkan sejak kecil.
Mainan beragam, baik yang murah sampai yang mahal.

Pengalaman bersenang-senang yang dia inginkan, hampir semua permainan di mall sudah pernah dia jajal, sebokek apapun kami.

Iya, kami memang parents yang agak lebay sih, mungkin juga berangkat dari masa kecil kami, sama-sama anak yang di kesekiankan oleh ortu, jadilah ketika punya anak, semua perhatian dan segalanya, kami curahkan sepenuhnya ke anak.

Keadaan berubah setelah si Adik lahir, ketika usia kakak 7 tahun.
Ketika si Adik lahir, pas juga papinya mulai nggak stabil pekerjaannya.

Ditambah, papinya makin egois hanya menuruti kemauannya sendiri, makin kacau balaulah keuangan.
Yang tentunya berdampak kepada anak-anak.

Terlebih si Kakak sudah masuk SD, which is SDnya lumayan banget buat kami, SPPnya, biaya antar jemputnya, kebutuhan lainnya.
Ditambah adik juga butuh banyak hal, meski kebanyakan terpaksa memakai lungsuran dari kakaknya, semacam mainan, khususnya pakaian.

Sedih sih ya, rasanya hal yang saya rasakan terjadi lagi di si Adik.
Dan sekali lagi, saya tidak melihat adanya kenyataan, di mana anak pertama itu, adalah anak yang dipaksa tangguh oleh keadaan.

lah wong, anak kedua, si Adik Dayyan bahkan lebih dipaksa keadaan dengan menerima pakai apapun lungsuran milik kakaknya, jarang banget punya barang baru.

Selalu mengalah dan tak masalah ketika permintaannya belum bisa dikabulkan, lantaran masih mengutamakan sekolah kakaknya.

Dan rasanya, si Adik selalu baik-baik saja, atau mungkin dia belum sepenuhnya merasakan kesenjangan atau perbedaan kali ya?

Jadi, sama seperti kakak saya, si Kakak Darrell pun, menurut saya, bukanlah satu-satunya sosok yang dipaksa tangguh oleh keadaan, bahkan si Kakak jauh lebih beruntung, karena pernah merasakan indahnya menjadi anak yang selalu diperhatikan dan tanpa harus berbagi.

Sementara si Adik, terlahir bahkan harus menerima ketika tak pernah bisa mendapatkan kasih sayang utuh, seperti yang pernah si Kakak rasakan.

Lalu, apakah masih bisa dikatakan, bahwa hanya anak pertama yang dipaksa tangguh oleh keadaan?


Anak Pertama Sama dengan Anak Kedua dan Seterusnya


Saya pikir, tidak selalu anak pertama saja yang dipaksa kondisi dan keadaan untuk lebih tangguh, bahkan harus dewasa sebelum waktunya.
Kenyataannya, anak kedua dan seterusnya pun bisa mengalami hal yang sama.

Anak Pertama Disebut

Semuanya tergantung oleh kondisi, dan kondisi tidak pernah melihat status anak pertama atau kedua atau seterusnya.

Anak pertama yang terlahir dalam keluarga harmonis, yang parents-nya mengerti tentang psikolog anak yang sama pentingnya dengan perkembangan fisik anak, tentu saja tidak akan terpaksa keadaan harus setangguh yang dialami anak pertama yang terlahir pada keluarga yang kurang mengerti tentang hal tersebut, atau terlalu sibuk hingga tak sempat memahami mental anaknya, khususnya anak pertama.

Jadi, tak ada pilihan anak pertama harus lebih tangguh.
Semuanya tergantung kondisi atau keadaan yang ada.


Kesimpulan


Anak pertama disebut anak yang seringnya ditangguhkan oleh keadaan, dipaksa menjadi lebih cepat dewasa oleh keadaan.

Anak Pertama Disebut

Padahal, hal itu tidak sepenuhnya benar, karena kenyataannya semua anak, tak memilih anak pertama atau kedua atau seterusnya, tentu saja akan dipaksa oleh keadaan.

Setiap parents pun, saya yakin tak pernah mau membeda-bedakan anaknya, mau anak pertama, kedua maupun seterusnya.

Inginnya sih, semua anak mendapatkan hal yang terbaik dan sama adilnya.
Sayangnya, semua kembali lagi pada kondisi dan kemampuan orang tua ketika itu.

So, kondisi atau keadaanlah yang menentukan siapa yang harus tangguh duluan.
Bukan semata karena anak pertama, kedua atau seterusnya.

How about you, Parents?


Sidoarjo, 07 September 2022


Sumber : opini dan pengalaman pribadi
Gambar : Dokpri dan canva edit by Rey

Post a Comment for "Anak Pertama Disebut Anak yang Dipaksa Tangguh Oleh Kondisi, Benarkah?"