Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

1001 Masalah Mertua Menantu, Batasan Mahram yang Penting

Konten [Tampil]

1001-masalah-mertua-menantu

1001 masalah mertua menantu seolah tak pernah habis, bukan hanya masalah mertua wanita dengan menantu wanita. Ternyata masalah batasan mahram itu penting buat mertua lelaki dan menantu perempuan.

Dan memang benar sih, sebanyaknya manfaat tinggal di rumah mertua, mending tinggal terpisah deh. Apalagi kalau memang istri tinggal di rumah mertuanya, tapi suaminya malah kerja di luar kota, dan berbulan-bulan baru bisa kembali.

Baca juga :  Memilih Mertua yang Baik, Bukan Hanya Suami yang Baik


Cerita Terpaksa Tinggal Di Rumah Mertua Dengan Niat Baik dan Persiapan Mental yang Kuat

FYI, saya udah sekitar kurang lebih 3 bulanan tinggal di rumah mertua. Alasannya, bermula dari si Kakak yang berencana masuk sekolah negeri di Surabaya.

Karena kami masih ber KTP dengan alamat mertua, jadinya si Kakak kena zonasi di alamat tersebut. Sayangnya ternyata bukan rezeki si Kakak sekolah negeri, dia nggak lolos masuk negeri karena jarak zonasinya mencapai 1 KM.

Sayangnya, ketika persiapan itu, kami udah berencana menitipkan si Kakak di rumah eyangnya. Ketika eyang putri jatuh sakit pertama kalinya, saya agak mikir lagi tentang niat menitipkan si Kakak, masalahnya siapa yang bakalan urus si Kakak?

Namun, di perjalanan waktu, ternyata ada Mbak-Mbak yang bertugas mengurus eyang putri yang sakit tak berdaya di tempat tidurnya hingga berbulan-bulan itu.

Dan muncullah ide untuk menitipkan si Kakak kepada si Mbak tersebut, setidaknya si Mbak itu bisa membantu bangunkan si Kakak ketika subuh, dan menyiapkan sarapannya.

Belum juga maksud tersebut tercapai, si eyang putri akhirnya meninggal dunia. Dan setelahnya membuyarkan semua rencana kami.

Yang awalnya si Kakak seharusnya setelah ada keputusan nggak bisa masuk negeri, dia kembali lagi ke sekolah swasta di Sidoarjo. Kami bahkan sudah daftar dan si Kakak udah lulus test masuk di SMP Muhammadiyah 2 Taman, Sidoarjo.

Masalahnya adalah, setelah kepergian eyang putri, eyang kakung anak-anak sendiri, dan anak-anaknya sampai stres mengatur waktu untuk datang menemaninya di rumah.

Di sisi lain, kami udah terlanjur ngomong kalau si Kakak mau tinggal di situ. Tapi nggak memungkinkan kan, jika nggak ada yang membantu mengurus si Kakak. Dia belum benar-benar bisa mandiri untuk melakukan semua sendirian.

Dalam kegalauan, akhirnya saya diskusi dengan papinya, apa sebaiknya saya juga ikut pindah ke sana?. Jadi adik juga pindah sekolah, dan anak-anak nggak bingung lagi karena ada saya yang urusin.

Ketambahan, para Mbak-Mbak ipar yang stres mengatur jadwal menemani bapaknya, jadi sedikit lega, karena ada kami yang menemani eyangnya di sana. Bukan hanya menemani, saya juga harus mengurus si eyangnya anak-anak, karena meski ada ART di sana, namun jam kerjanya cuman 3-4 jam, mulai pukul 7 lebih, hingga pukul 11an siang.

Otomatis dia cuman bisa menyiapkan makan siang si eyang, mencuci pakaian, menyapu, mengepel dan lainnya.

Ya masalah sarapan si eyang dan makan malamnya, ya mau nggak mau, harus saya yang urusin.

FYI, si eyang kakung ini sebenarnya agak ribet pola pikirnya, tapi karena saya memang sudah menyiapkan mental yang kuat. Sudah sadar juga konsekwensi tinggal di situ.

Di mana, bahkan anak-anaknya sendiri, tak satupun yang tahan berlama-lama mengurus bapaknya itu. Pola pikirnya yang ribet, yang seolah menganut paham,

"Kalau bisa dibikin ribet, kenapa harus yang mudah?"

Hahaha.

Tidak jarang ada anak-anaknya yang migren ketika harus menemani si eyang, dan diajak ngobrol sesuatu yang bikin sakit kepala, saking ribetnya.

Ketika kakak-kakak ipar mendengar niat saya tinggal di sana, mereka ber uwow! Mungkin dalam hati mengira-ngira, sampai berapa lama saya sanggup tinggal bersama mahluk super ribet kayak bapaknya itu.

Tapi mereka lupa, saya sudah mempersiapkan mental dengan baik, dan lagi pula, keribetan si bapaknya masih sedikit masuk akal sih bagi otak 'agak ribet' saya.

Singkat cerita, akhirnya kamipun pindah ke situ, anak-anak akhirnya mendaftar di sekolah yang dipilih oleh si eyangnya tersebut.

Meskipun jujur, saya nggak sreg dengan sekolah tersebut. Saya maunya si Kakak sekolah di SMP Muhammadiyah. Tapi si eyang yang ribet itu memang musuhan banget sama Muhammadiyah, jadinya disuruh ke sekolah yang the real NU banget nget!.

Baca juga :  Tips dan Trik Agar Lolos Jalur Zonasi PPDB SMP Surabaya

  

Berhasil Menjalani Ribuan Tantangan Dari Mertua Ribet, Muncul Masalah Sensitif Lainnya

Hari berganti minggu, minggu bahkan berganti bulan, sejauh itu saya harus berbangga diri, karena berhasil melewati semua tantangan mertua ribet itu.

Meskipun, sejujurnya sejak awal saya datang untuk menemani si eyang bersama anak-anak, ada kejadian yang bikin saya merasa agak risih, tapi awalnya masih menganggap itu perasaan saya saja.

Selain itu, berbagai masalah lainnya, yang kadang bikin hati 'mencelos', masih bisa saya lewati dengan legowo. Berbekalkan pola pikir yang udah saya bentuk awalnya, bahwa saya menyadari si eyang ini emang ribet bin ngeselin. Jadi saya mencoba memahami setiap kali tingkah dan pola pikirnya bikin di dalam hati pengen gigit piring.

Ditambah dukungan papinya anak-anak yang mulai terlihat manis banget. Selalu mendengarkan semua keluh kesah saya, selalu mengalah, selalu mengvalidasi semua perasaan saya.

Duh, i told you, sebenarnya nggak banyak yang saya butuhkan dan minta, cukup itu saja. Toh saya menyadari sepenuhnya kemampuan papinya anak-anak, jadinya tak mungkinlah memberatkan dengan hal-hal lain.    

Sampai suatu ketika, ada sebuah peristiwa yang saya sadari dan bikin saya jadi luar biasa trauma. Sayang itu terlalu sensitif untuk saya tuliskan di sini, karena menyangkut nama baik keluarga mereka. 

Yang jelas, hal tersebut bikin saya trauma, ketakutan dan meruntuhkan semua pola pikir benteng untuk mengerti keribetan si mertua. Ditambah, tak ada yang bisa dilakukan papinya anak-anak, bahkan terkesan seolah nggak percaya. Makin terpuruklah saya, dan hasilnya saya jadi sensitif banget menghadapi si eyang yang biangnya ribet itu.

Yang bisa saya tuliskan di sini, hanyalah mulai tersadarlah saya, betapa status saya hanyalah menantu di rumah itu, dan saya dengan mertua lelaki itu bukanlah mahram.

Lalu, dengan adanya (hanya) saya berada di rumah itu bersama anak-anak dan mertua laki, seharusnya bukanlah hal yang pantas, karena saya bukan mahramnya.

Terlebih lagi, saya di situ hanya bersama anak-anak, papinya anak-anak kerja di luar kota, dan butuh waktu berbulan-bulan baru bisa cuti pulang.

Seharusnya, saya tidak boleh tinggal di situ.

Baca juga : Menantu Mertua Tak Akur, Siapa yang Salah?


Kesimpulan dan Penutup

Ternyata, masalah mertua menantu itu banyak banget, bukan semata masalah baper dari ibu mertua dan menantu perempuannya. 

Tapi, masalah batasan mahram antara menantu perempuan dengan bapak mertua itu penting untuk diketahui dan sadari. 

Tidak seharusnya menantu perempuan tinggal hanya bersama ayah mertuanya dalam satu rumah, meski bersama anak-anaknya. Apalagi kalau suaminya tidak ada di rumah itu, karena bekerja di luar kota.

Baca juga : Tinggal di Rumah Mertua, Perhatikan Beberapa Hal Penting Ini


Surabaya, 18 Agustus 2023

Sumber: pengalaman pribadi

Gambar: Canva edit by Rey

Demikian artikel tentang 1001 masalah mertua menantu, khususnya masalah batasan mahram yang penting untuk diketahui dan dipahami.

4 comments for "1001 Masalah Mertua Menantu, Batasan Mahram yang Penting"

  1. Mertua itu mahram, mbak Rey.

    ReplyDelete
  2. Eh iya ya, haram hukumnya menikahi istri anak ya.
    Salah tulisan jadinya, wkwkwkw.
    Sebenarnya maksudnya, agak gimanaaa gitu, kalau menantu perempuan, tinggal bersama mertua lelaki, sementara suaminya nggak ada di rumah tersebut.

    Karena meski mahram karena pernikahan, tetaplah dia bukan anak kandungnya, Malah bisa menimbulkan fitnah.

    ReplyDelete
  3. hai mba Rey, karena aku berasal dari Surabaya dan Berktpkan SDA jadinya sedikit banyak saat baca postingan dari awal sampai akhir jadi tau logatnya gimana. Hehe.
    Anyway, Niat mba Rey baik banget, ingin menemani mertua laki-laki yang sekarang seorang diri karena ditinggal istrinya. Di samping karena anak mba Rey juga sekolah di Surabaya ya.

    Tapi ada baiknya, mba Rey diskusi lagi dengan suami, bagaimana baiknya untuk tempat tinggal. Pun jikaa bukan msalah fitnah yang akan timbul tapi kenyamanan mba Rey juga perlu di prioritaskan. Berbakti dengan keluarga suami diperbolehkan, namun tentunya dengan banyak pertimbangan dan keputusan yang tepat. Semangat ya mba Rey!

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe, logatnya emang gimana nih? :D

      Iya sih, pada akhirnya saya menyadari, seharusnya nggak perlu terlalu segitunya berbakti.

      Apalagi kalau memang berbaktinya sama keluarga yang nggak punya rasa peka :D

      Masalah kenyamanan saya, sebenarnya udah dipersiapkan kondisi hati, udah siap kalau memang nantinya nggak akan nyaman. Manalah bisa nyaman tinggal di rumah mertua.

      Tapi, jujur saya nggak mempersiapkan mental, kalau akhirnya sampai mengalami pelecehan :(

      Delete