Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pasangan Berubah Setelah Menikah atau Ekspektasi Ketinggian?

Konten [Tampil]
pasangan-berubah-setelah-menikah

Pasangan berubah setelah menikah, merupakan salah satu masalah yang pernah saya hadapi, dan saya pikir banyak orang mengalaminya.

Terutama dari pihak istri atau wanita ya, banyak yang merasa setelah menikah, suami yang dulunya terlihat selalu luar biasa di mata kita.

Memperlakukan pasangannya dengan baik, treatment like a quen mah, kalau kata anak-anak muda zaman now.

Bukan hanya itu, dulunya pasangan adalah sosok yang menyenangkan, bisa menjadi teman, pasangan, kakak, ayah dan segalanya.

Tak heran, si wanitanya mau diajak menikah, bahkan berharap dan meminta dinikahin. Karena di dalam pikiran dan hati si wanita, pasangannya merupakan lelaki yang memenuhi banyak kriteria yang dia butuhkan untuk menjadi seorang suami.

Hmm...

I know that feeling, karena been there juga dulunya.

Dulunya, saya sadar sih kalau saya nggak cantik-cantik amat, bahkan sangat kurang. Namun saya juga punya beberapa lelaki yang menyukai dan mengejar cinta saya, dulunya.  

Namun, meski ada beberapa lelaki yang mengejar, toh akhirnya saya memilih si kakak pacar untuk jadi suami, eh berharap diperistri sih, hahaha.

Alasannya, ya karena menurut saya, dia yang memiliki begitu banyak kriteria, seperti yang saya butuhkan.

Baca juga : 9 Langkah Memperbaiki Rumah Tangga


Ketika Syarat Kriteria Pasangan untuk Menikah Jadi Semakin Panjang 

Zaman now ini, kalau liat di medsos itu, banyak banget beredar tentang konten, kriteria siap nikah itu gimana?.

pasangan-berubah-setelah-menikah

List kriteria yang diinginkan dan dibutuhkan dari pasangan juga banyak beredar. Bahkan beberapa waktu lalu, saya ternganga membaca postingan salah satu wanita yang lumayan terkenal dan semakin viral karena dia menikah beda agama. Dan menikahnya pun di dua tempat ibadah.

Baik Islam, maupun Kristen (atau Katolik ya?), pokoknya di gereja lah.

Di saat orang-orang nyinyir tentang keputusan si wanita menikah beda agama di 2 tempat ibadah yang berbeda. Saya malah takjub dengan list kriteria si wanita, dalam memilih pasangan hidup.

Nggak tanggung-tanggung, ada 100 point di dalamnya.

Baca juga : Haruskah Bertahan Dengan Suami yang Kasar dan Bagaimana Menyikapinya?

Niat abis sih ya, dalam padangan saya, si wanita itu emang well planning banget kali ya. Meskipun setelah takjub saya selesai, saya sedikit tersenyum-senyum aja membaca list tersebut.

Dan mulai memikirkan, bagaimana saya juga dulu sedemikian hati-hatinya memilih pasangan hidup.

Tumbuh besar dalam hubungan naik turun mama dan bapak, di mana mereka sering cekcok. Eh bapak sih yang sering ngamuk, mama cuman diam saja (diam tapi nyebelin, hahaha). 

Mama yang tidak segan menjelekan bapak di hadapan kami, sehingga sukses melekatkan ingatan bahwa bapak adalah sosok yang tidak pantas dijadikan seorang panutan.

Tentu saja hal itu, bikin saya sedemikian hati-hatinya memilih pasangan. Dan itu juga alasannya, saya lebih suka menolak lelaki yang dari awal terlihat tidak sesuai dengan kebutuhan saya.

Serta berjuang untuk lelaki yang sesuai dengan kebutuhan diri.

Dan begitulah, saya merasa beruntung menemukan lelaki yang bisa memenuhi kebutuhan diri. Lelaki yang sabar, lelaki yang mau berbagi tugas rumah, lelaki yang selalu mengutamakan saya.

Lelaki yang nggak pernah menuntut saya harus begini dan begitu, termasuk menuntut saya harus melakukan sesuatu untuk keluarganya.

Dan yang paling penting, kami sekufu. Dengan latar belakang ekonomi yang bisa dibilang sama. Ini penting, karena saya nggak mentolerir ada lelaki atau keluarganya yang berani meremehkan saya maupun keluarga.


Pasangan Berubah Setelah Menikah atau Ekspektasi Ketinggian?

Dengan berbekalkan kriteria dalam pengetahuan saya di usia menikah dulu, di tahun menikah dulu. Maka menikahlah saya dengan lelaki pilihan sendiri.

pasangan-berubah-setelah-menikah


Masa-masa awal menikah, meski sedikit berat, tapi terlewatkan. Sampai akhirnya di 5 tahunan pertama pernikahan, terlihat banget kalau si lelaki pilihan tersebut, mulai berubah.

Sedih dan kesal bercampur rasanya. Tersirat pertanyaan di kepala saya, 

"Mengapa sih lelaki, nggak mau hidup yang lurus-lurus aja? fokus di komitmen awal, fokus di jalan yang benar?, toh kita juga sama-sama berjuang? mengapa lelaki harus berubah setelah senikah dan punya anak?" 

Lama banget saya terpuruk gegara pasangan berubah, dan sukses membuka semua luka serta mengarahkan diri kepada depresi.

Tapi, begitulah, saya pernah nulis di blog reyneraea tentang bersyukur untuk semua kondisi. Pada kondisi di bawah, kita tuh bisa melihat banyak keajaiban. Dan iyes, keajaiban juga bisa dengan nyata saya rasakan, ketika merasa depresi, lalu Allah pelan-pelan membuka mata hati saya, untuk mencoba memahami, apa sih yang sedang terjadi?

Baca juga : Di Manapun Roda Kehidupan, Selalu Ada Alasan untuk Bersyukur

Melalui banyak hal sih saya dapatkan.

Dari semua tulisan saya di blog yang di kemudian waktu saya baca kembali, dari berbagai berita yang terjadi di media sosial, maupun dunia nyata.

Saya jadi menyadari, ternyata salah satu masalah, eh bahkan masalah besarnya yang terjadi dalam pernikahan adalah dari diri saya sendiri.

Apa itu? ego dalam bentuk ekspektasi saya.

Di mana, emang sih ya, secara teori, wanita itu butuh mengeluarkan 20ribu kata setiap harinya, dan lelaki jauh lebih sedikit dari itu.

Tapi, itu bukan berarti, kebutuhan lelaki akan hidup, lebih sedikit dari wanita. 

Dan itulah masalahnya, wanita dengan kebutuhan mengeluarkan kata-katanya. Nyatanya semua itu digunakan untuk membicarakan dirinya sendiri, kebutuhannya, keluhannya, ekspektasinya tentang pasangannya.

Bahkan dalam artian wanita mau mengerti lelaki. Iya sih mengerti, tapi mengertinya dalam sudut wanita, bukan dalam sudut lelaki.

Saya mulai ingat kembali, ketika dulu mama dan bapak yang selalu berselisih. Suatu ketika mereka berantem yang parah, mama lalu packing bajunya, dan pergi ke rumah kakaknya.

Nggak lama kemudian, bapak menyusul ke sana, dengan wajah melas duduk di sudut lantai rumah kakak iparnya tersebut.

Saya nggak tahu apa yang dibicarakan mereka, sampai akhirnya mereka berbaikan, dan pulang membawa TV serta beberapa perabotan entertainment lainnya. 

Saya yang tumbuh keluhan mama akan uang yang kurang, jadi terheran dan kesal serta menganggap kalau bapak cuman mikirin kesenangannya sendiri.

Butuh waktu lama sampai akhirnya saya menyadari, kalau hidup ini bukan hanya tentang istri, bukan hanya tentang anak. Seorang lelaki khususnya kepala keluarga juga punya impian, punya keinginan.

Itulah juga yang terjadi di pernikahan saya, di mana saya mati-matian rebutan setir rumah tangga dengan suami, karena menganggap jalan yang dia pilih itu salah, hanya akan menyesatkan dan membahayakan masa depan anak-anak.

Nyatanya, meski dengan penuh drama, dengan penuh tantangan. Bahkan berkali-kali rumah tangga terjatuh parah di lubang yang dalam. Ternyata papinya anak-anak membuktikan, bahwa dia bertanggung jawab, meski jalannya dan caranya memang beda banget dengan saya.

What's i'm trying to say adalah, kalau dipikir-pikir beberapa bahkan banyak masalah rumah tangga itu memang bermula dari ego. Tapi bukan ego lelaki semata.

Ego perempuan juga berperan besar dalam menentukan lanjut tidaknya rumah tangga. Jadi, kadang memang bukan pasangan yang berubah, tapi ekspektasi kita sebagai wanita yang ketinggian.

Ekspektasi kita, yang menjadikan kita lupa posisi kita sebagai makmum dari imam kita. Banyak dari wanita yang setuju dengan kata imam atau kepala keluarga adalah lelaki. Tapi hanya sedikit yang bisa benar-benar menempatkan diri sebagai makmum yang baik.

Makmum yang baik itu ya nurut aja, selama imamnya bertanggung jawab, ya udah sih ya. Beda lagi, kalau imamnya ngotot tapi setelah jatuh, malah kabur ya.

Kenyataannya, dari pengalaman diri, maupun beberapa cerita rumah tangga lain, yang saya saksikan sendiri. Masalahnya ya gitu, karena perbedaan pendapat dan jalan hidup yang dipilih kedua insan suami dan istri.

Meskipun sejak awal menikah sudah disusun list sepanjang kereta api ya, dalam praktiknya, kehidupan rumah tangga itu amat sangat berbeda dengan teori apalagi pendapat orang-orang yang belum pernah menikah.

Ih patriarkis dong ya, masa wanita tidak boleh punya andil dalam rumah tangga? Ya memang sih ya, mau nggak mau harus terlihat patriarkis. Tapi dalam kenyataannya, seperti itulah lelaki diciptakan.

Islam sudah mengatur sedemikian rupa, bagaimana kedudukan pria dan wanita. Semua itu pastinya bukannya tanpa alasan ya. Allah selalu punya alasan yang sempurna, ketika menciptakan sesuatu.

Jadi gimana, istri harus ngalah dong? Harusnya sih gitu, meskipun menurut saya istri sebenarnya nggak selalu mengalah dalam artian yang melas ya. Tapi istri mengalah untuk mempersilahkan lelaki menjalankan perannya seutuhnya.

Sebagai kepala rumah tangga, dia berhak menentukan ke mana arah kapal yang dia kendarai. Dan kita sebagai istri yang dengan sadar memilih imam, ya mau nggak mau ikut aja, kalau kita melawan, rebutan kemudi? yang ada kapalnya hancur dong diterjang ombak.

Tapi tenang saja, Allah Maha Adil, dan tidak pernah menciptakan sesuatu dengan tidak adil. Lelaki memang diciptakan dengan ego yang kuat menjadi pemimpin. Tapi, wanita diciptakan dengan kelebihan bisa membuat lelaki tunduk padanya.

So, itu kali jawabannya.

Baca juga : Pasangan itu Partner, Bukan Proyek

Jangan rebutan kemudi rumah tangga, tapi bikin suami tunduk, dan mau berbagi kemudi sesekali, hahaha.

Btw, ini apa hubungannya dengan pasangan berubah ya?

Mungkin ini penjelasan umumnya, saya kasih list aja biar nggak ngalor ngidul ke mana-mana lagi.

  • Lelaki jarang yang bisa tunduk pada komitmen, termasuk komitmen mengikuti list kesepakatan sebelum pernikahan. Hal ini dikarenakan ketika belum menikah, para lelaki sedang dalam 'mode hunting atau fighting'. Di 'mode' ini, lelaki akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia mau, termasuk wanita idamannya. Termasuk setuju aja atas semua list perjanjian pranikah, yang biasanya memang wanita yang punya andil besar dalam membuatnya.
  • Setelah menikah, 'mode' lelaki berganti, bukan lagi dalam 'mode berjuang' mendapatkan, tapi berjuang untuk mendapatkan kesuksesan. Bagi lelaki, kesuksesan itu adalah harta dan wanita kan. Karenanya lelaki akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya tersebut. Termasuk menyalahi perjanjian atau komitmen yang telah disepakati sebelum menikah.
Jadi begitulah, sesungguhnya terkadang memang bukan pasangan yang berubah setelah menikah, tapi ekspektasi kita sebagai wanita yang ketinggian. Yang sebenarnya meski di pikiran kita itu demi kesuksesan suami dan keluarga, tapi itu untuk kita, seringnya mengabaikan keinginan dan impian suami.


Kesimpulan Dan Penutup 

Jadi begitulah, banyak yang merasa pasangan berubah setelah menikah. Meskipun list komitmen perjanjian maupun kriteria pasangan telah terlihat memenuhi sebelum menikah.

Kenyataannya, setelah menikah banyak pasangan, khususnya suami yang terlihat berubah. Kalau kata papinya anak-anak mah, bukan dia yang berubah, tapi kebutuhan yang mengubahnya untuk bisa lebih realistis.

Kalau kata saya, memang egonya lelaki itu besar, tapi begitulah Tuhan menciptakan mereka. Selama para suami bertanggung jawab sepenuhnya. Ya udah, mending nurut saja, sambil pelan-pelan menaklukan suami, untuk sesekali mau meminjamkan kemudi rumah tangga kepada kita.

Begitulah opini ngalor ngidul ala Mami Rey kali ini, hahaha 

Sidoarjo, 10 Maret 2023

#FridayMarriage

Sumber: Pengalaman dan opini pribadi

Gambar: Canva edit by Rey

Demikian artikel tentang masalah pasangan yang berubah setelah menikah, yang mungkin juga karena ekspektasi kita yang terlalu tinggi, semoga menginspirasi.

Post a Comment for "Pasangan Berubah Setelah Menikah atau Ekspektasi Ketinggian?"