Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ceritaku Jatuh Bangun Karena Mental Illness, Ingin Akhiri Hidup!

Konten [Tampil]

mental illness

Cerita tentang pengalaman jatuh bangun melawan mental illness, sampai ingin mengakhiri hidup rasanya. Bikin saya peduli dengan kesehatan mental.

Pas banget, kemarin malam, tidak sengaja saya membuka twitter. Niatnya sih buat share artikel blog di akun pribadi, dengan cara nebeng kata yang sedang trending.

Mata saya lalu terpatri pada kata trending 'innalillahi', penasaran dong. Karena setahu saya, seharian saya tidak membaca notifikasi berita ada publik figur yang meninggal.

Setelah saya klik kata trending-nya, barulah saya ngeh, kalau ternyata kata tersebut trending oleh berita seseorang yang bunuh diri di Surabaya.

Darah saya sedikit berdesir, malas rasanya membaca hal-hal yang bikin perasaan saya belum nyaman mendengarnya. 

Karena been there!.

Iya, saya juga pernah bosan hidup, tapi ternyata kuota usia saya di dunia belum berakhir, Jadi ya, Alhamdulillah saya masih di sini, menuliskan cerita ini.

Meskipun kurang nyaman, tapi seperti biasa. Ada hal-hal lain yang sedikit menarik saya untuk tetap membaca banyak tweet di kata tersebut.

Salah satunya, tweet nyinyir dari banyak orang, yang seolah menganggap peristiwa tersebut hanyalah guyonan semata. Seolah yang bunuh diri itu hanya caper alias cari perhatian. 

Pengen kasih opini juga sebenarnya, tapi you know lah, twitter itu penuh dengan orang-orang yang sukanya ngebacot kek burung (makanya lambang Twitter itu burung endut ya, hahaha). Which is, mau kita berkicau senyaring apapun, yang ada mereka balas dengan kicauan yang juga lebih nyaring lagi.

Cari masalah aja itu mah!. Mending saya nulis di blog, lebih puas, karena boleh cerita sepanjang novel, hahaha.


Orang Yang Mengakhiri Hidup itu Tidak Sesederhana Pikiran Kita!

Untuk orang-orang yang berpikir, bahwa orang mengakhiri hidup itu hanya cari perhatian, coba pikir dan renungkan hal ini.

Mati.

fakta mental illness

Itu pasti sakit loh!. Dan kayaknya nggak ada yang mau bahkan siap untuk itu. Even yang merasa amalannya di dunia sudah banyak. 

Sakit karena terluka aja, semua orang nggak mau, makanya selalu berhati-hati dalam menjaga dirinya. Lalu, pikiran dari mana yang mengatakan, orang bunuh diri itu karena cari perhatian?

Sebagian tweet nyinyiran kemarin mengatakan,

"Mau bunuh diri kok pakai bikin pengumuman? mau mati ya mati aja, nggak usah bikin panik orang lain!"

Nah itu dia kuncinya! plus jawabannya!.

Tahukah kita, orang yang mau bunuh diri dan bikin pengumuman itu, bukan cari perhatian, tapi cari bantuan.

Orang yang berpikir mati, karena merasa udah nggak ada lagi jalan yang bisa ditempuh di dunia ini. Masalahnya, berpindah dunia itu nggak mudah. 

Karenanya, beberapa orang yang memutuskan menyerah dengan hidupnya. Masih berharap ada jalan lain, ketika sudah di depan pintu untuk menyerah.

Masa sih Rey? Iya lah, setidaknya itu yang saya rasakan dulu.


Perempuan dengan Inner Child yang Terluka

Bagaimana saya bisa memahami perasaan orang yang ingin mengakhiri hidupnya? karena saya juga pernah melakukan hal itu.

inner child

Ceritanya panjang dan complicated, saya coba ringkas sedikit di tulisan kali ini. Meski mungkin beberapa teman yang sering membaca blog saya, sudah pernah baca sebagian cerita saya di tulisan terdahulu.


Masa kecil penuh pengabaian dan luka

Saya (dulunya) adalah anak kedua dari 3 bersaudara, kakak saya perempuan hanya berjarak setahun dengan saya. Adik saya laki-laki, kesayangan dan anak yang paling dinanti oleh mama. 

Terlahir dari keluarga yang ekonominya minim, jadi anak tengah dan jadi anak perempuan di tahun 80an pula. Jangan tanyakan gimana beratnya.

Dengan ekonomi minim, jika mama punya uang lebih, sudah pasti adik dulu yang diutamakan. Kalau ada lebihnya, baru deh giliran kakak yang diperhatikan.

Si Rey? dapat 'ampas'nya aja dah, hahaha.

Bukan hanya ekonomi, perhatian juga demikian. Bapak sebenarnya sosok yang peduli anak, tapi beliau galak dan temperamen. Sering banget marahin dan bentak mama. Lalu mama jadinya sering menjelekan bapak di hadapan kami, anaknya. Fix, sejak kecil semua kebaikan bapak tak pernah terlihat, hanya mama yang bagai ibu peri.

Tapi, mama bukanlah sosok ibu yang gercep, manalah bisa memperhatikan semua anak-anaknya. Sementara si Rey ini, giliran paling akhir, harus antri lama di belakang adik lalu kakak.

Dalam segala hal, baik kebutuhan maupun perhatian.

Kebayang dong bagaimana si Rey kecil yang dulunya sering merasa sedih karena terabaikan.

Keadaan diperparah dengan kedua orang tua yang sering 'ribut'. Mana kalau sedang 'ribut' kami anaknya yang jadi sasaran. Bapak tipe orang emosian, tapi beliau nggak berani mukul atau menyakiti fisik mama. 

Dan sebagai gantinya, kalau bukan rusakin rumah dan barang. Kamilah yang diancam mau dibunuh. 

Masa kecil saya, penuh dengan terabaikan, sering terbangun tengah malam lalu ketakutan, karena bapak yang sedang marah, membawa parang yang tajam di dekatnya, lalu mengancam akan membunuh kami.

Ketambahan lagi, bapak selalu terobsesi punya anak pintar. Jadi kami anak-anaknya wajib juara 1 di sekolah. Kalau juara 2, siap-siap aja betis biru kena pukulan sapu, huhuhu.

Bukan hanya obsesi punya anak pintar, bapak juga berobsesi punya anak sempurna, tidak salah jalan. Jadi waktu kecil, saya dikurung dalam rumah, boro-boro keluar bermain dengan teman. Keluar pagar aja kalau bukan sekolah, siap-siapa deh betis kena pukul.

Mama di mana?

I told you, mama saya tuh agak kurang bisa mengekspresikan kasih sayangnya dalam bentuk tindakan ke anak. Jadi, kalau bapak membentak, memukul, bahkan kakak perempuan saya pernah diikat di pohon. Mama dong diam saja.

Sudah kebayang gimana mental saya?

Yup, si Rey dengan inner child yang terluka, karena diabaikan, karena dipaksa jadi sempurna, kena pukulan, kena bentakan, kena ancaman (ancamnya pakai parang, yang sukses bikin saya selalu ngeri liat barang tajam sampai sekarang, juga sukses bikin saya sangat takut darah sampai sekarang).

Saya tumbuh jadi remaja yang minder, introvert, super sensitif (sangat bereaksi hebat jika dikasari orang lain). Mungkin efek sering dibentak tersebut.

Lalu, dalam setiap doa saya mengucap, semoga nanti ketika dewasa, saya bisa pergi jauh dari mereka yang mengabaikan saya.

Dan ternyata doa saya dikabulkan, here i am, selama 23 tahun terpisah ribuan KM dari keluarga. 


Menemukan pasangan, sosok pengobat lara

Sungguh ya, tumbuh dalam pengasuhan yang toksik itu berat banget. Jangankan saya yang jadi urutan ketiga dalam keluarga. Kakak saya aja yang sebenarnya di mata saya masih mending. Karena dia lebih disayang mama, tetap terlihat bermasalah dalam mentalnya.

inner child terluka

Dan begitulah, jalan hidup membawa saya bertemu sosok pelengkap yang saya butuhkan sejak kecil. Saya tidak pernah berani memulai hubungan dengan lelaki manapun, karena sadar mental saya terganggu.

Mental saya kurang normal, nggak kayak teman lainnya.

Bereaksi berlebihan atas hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Tidak bisa sedikitpun menerima kritik apalagi dimarahin.

Karenanya, saya membentengi diri agar tidak pernah berhadapan dengan hal itu. Dengan cara sangat berhati-hati memilih lelaki untuk sebuah hubungan. Dan berlaku sangat sempurna, agar tidak ada celah buat orang lain marah kepada saya.

Mudah Rey? Kagak! Jatuh bangun banget saya menjalani hidup seperti itu. Sampai akhirnya saya bertemu dengan si Kakak pacar, sosok yang pendiam, yang saya salah pahami. Kirain diam itu sabar, ternyata cuman diam aja, hahaha.

Pernah baca cerita tentang monyet yang menggenggam kacang? eh astagaaaa, mengapa pula saya pakai perumpamaan monyet ya? saya kan cantik, wakakakaka.

Tapi sudahlah, saya belum nemu cerita yang lain. Di mana ketika monyet menemukan kacang, dia tak mau melepaskannya. Sehingga celaka lah dia ketika orang datang menangkapnya. Dia kesulitan melepaskan tangannya yang mengepal mengenggam kacang itu. 

Begitulah saya ketika pacaran dulu, dan baru sekarang saya sadari (lama amat Rey! lemot mikirnya, hahaha). Karena si pacar emang diam, mengikuti semua mau saya, jadinya saya pikir dialah sosok yang melengkapi apa yang kurang selama ini.

Sehingga, kalau dipikir-pikir, sebenarnya dari dulu juga hubungan kami toksik, bukan si kakak pacar yang toksik buat saya, tapi kami berdua saling toksik, wakakakak.

Dan masalah besarnya adalah, saya paksa Tuhan untuk menjodohkan si kakak pacar dengan saya. Di mana selama 7 tahun pacaran, nggak pernah putus saya berdoa, biar berjodoh (bucin banget si Rey, saking inner child-nya menemukan hal yang kurang selama ini).


Mengalami Mental Illness Hingga Berkali Mencoba Mengakhiri Hidup

Derita hidup jadi anak 90an ya, jadinya telat banget memahami tentang kesehatan mental, sehingga saya nggak sadar kalau ternyata si Rey ini mengalami mental illness.

Mulai dari gangguan kecemasan, sedikit OCD meski nggak benar-benar OCD kali ya, hanya pengaruh bapak yang menciptakan saya harus sempurna sejak kecil.

Saya baru menyadari, setelah memahami tentang kesehatan mental, betapa kasiannya dulu si Kakak Pacar yang kebingungan menghadapi saya.

Mood swing parah, terobsesi hal yang sempurna, nggak bisa dimarahi, bahkan si kakak pacar berwajah lelahpun. Saya pasti ngambek, astaga, hahaha.

Pokoknya, si Kakak pacar harus sempurna, tidak boleh gondrong dan merokok (padahal pas jadian dia super gondrong dan perokok, hahaha), harus perjuangkan saya di depan keluarganya, harus selalu ada buat saya.

Ya ampuunn, semua hal yang tidak pernah saya dapatkan sejak kecil, tumpah semua ke si Kakak Pacar.

8 tahun kami pacaran, sampai akhirnya menikah, nggak heran di tahun ke-5 menikah, si Kakak pacar eh suami, akhirnya menyerah.

Itulah pertama kalinya si Kakak suami menyakiti hati saya. Dan efeknya luar biasa, sudahlah wanita itu pengingat sejati ya, ketambahan si Rey ini memang ada masalah dengan mentalnya. 

 

Baby Blues hingga Postpartum Depression

Kami bisa melewati ujian pernikahan di tahun ke-5, meski meninggalkan bekas luka di hati. Sampai akhirnya anak kedua lahir, kebutuhan bertambah. Sementara ekonomi keluarga tidak kunjung membaik.

baby blues

Mama tidak bisa datang ke persalinan saya yang kedua, mertua juga sudah sakit-sakitan. Jadilah saya dengan penuh yakin memilih menghadapi persalinan secara mandiri, bertiga saja sama suami dan si Kakak anak pertama saya.

Sebenarnya persalinannya lancar Alhamdulillah, karena sejak hamil 3 bulan sudah saya persiapkan semuanya, hahaha.

Dengan sadar memilih sesar, udah pengalaman kan sakitnya kek gimana, karena si Kakak lahir secara sesar juga.

Jadi, drama ketakutan dan kesakitan melahirkan itu, udah saya siapkan dengan baik. Dan Alhamdulillah lancar bahkan luar biasa.

Saya bisa bangun, mandi sendiri, menyusui dan mengganti popok bayi, setelah 36 jam pasca sesar. Luar biasa dah, pokoknya.

Cuman 2 malam di RS, kami lalu pulang, sampai rumah saya nyuci, mandiin bayi. Padahal luka sesar saya masih basah, hahaha.

Semua lancar dalam pikiran saya, tapi ternyata itu juga nggak baik sodara. Semua tidak lancar, saya takut, sedih, sakit dan lainnya. Apalagi saya harus nyusuin dan itu pengalaman pertama menyusui ekslusif, karena si Kakak dulu pakai sufor.

Tapi, semua perasaan itu saya abaikan. Hasilnya, di hari ke-4 atau ke-5 ya pasca si Adik lahir, saya terbangun tengah malam, kesakitan menyusui. Kesal karena si Adik pup melulu dengan kotoran yang berbusa. Tapi tidak ada yang menemani saya, si suami malah tidur, ngorok pula.

Tiba-tiba saya merasa benci banget sama si bayi, pas juga dia menangis mulu. Saking kesalnya, saya buang dong bayi merah itu, untungnya saya buangnya di kasur, huhuhu.

Rasanya kesal sekali, lelah banget siang harus ngurusin si Adik dan si Kakak, malam begadang nyusuin dan sakit banget ya Allah nyusuin itu karena puting PD lecet parah.

Karenanya, setiap kali si bayi nangis, saya merasa dia tuh menakutkan dan menyebalkan. Dan ketika mulutnya terbuka mencari ASI, saya merasa mulutnya itu kayak monster.

Sayangnya saya belum paham tentang baby blues, jadi saya cuman nangis saja, dan suami juga hanya kebingungan.  

Karena nggak ada penyelesaian dari baby blues tersebut, malah saya terpaksa terus mengasuh si bayi. Ye kan, nggak enaknya menyusui gitu, nggak bisa mendelegasikan urus bayi.

Mau beli pompa, duh mana duitnya, hahaha.

Pompa ASI itu bukan semata pompa ASI kan, butuh kantong ASI, freezer dan lain sebagainya. Ya kali harus mengeluarkan duit untuk itu. Sementara niat awal saya maksa harus bisa nyusuin, demi meringankan beban suami beli susu formula, hahaha.

Baby blues kan terjadinya cuman sampai seminggu seharusnya ya, tapi karena nggak pernah terselesaikan, jadinya kebawa terus, sampai bisa dikatakan postpartum depression

Bukan hanya benci sama si bayi, saya juga kalap sama si Kakak. Emosian minta ampun, sampai berkali-kali menjambak rambut si Kakak, ya Allah.

Sama anak emosian, baik pada si bayi maupun si Kakak. Sama suami lebih-lebih lagi. Udah deh, saya berasa kek orang gila beneran. Susah mengontrol emosi, hal sekecil apapun, bisa bikin saya meradang dan menjerit. Bahkan memukul anak-anak, meski saya setengah mati mengontrolnya.


Ketika pasangan menyerah dan berubah

Si suami bukanlah malaikat, apalagi sebenarnya dia bukanlah orang yang sabar, dia cuman ngempet kalau kata orang Jawa.

Dengan kondisi saya yang kayak orang gila karena kena PPD tapi nggak nyadar itu, pada akhirnya bikin suami jadi muak.

Dari yang kalau saya ngamuk dia diam saja, mulai deh dia berani melawan. Saya histeris, eh kena tampar dan diingat bener kayak melekat pakai lem alteco di otak, hahaha.

Lalu, mulailah dia sering kabur setiap kali kami bermasalah, takut dia ikutan gila juga kali yak, wakakakak.

Ketambahan ekonomi kami memang makin terganggu, pekerjaan si suami juga makin nggak karuan. Ketambahan deh yang stres. Bukan cuman si Rey, tapi juga si suaminya, hahaha.


Mencoba mengakhiri hidup

Bagaimana sih rasanya, membawa mental illness sejak kecil, inner child yang terluka, makin terluka ketika suami yang tadinya jadi sosok pelengkap. Eh sekarang berubah.

ingin bunuh diri

Sosok inner child dalam diri saya semakin terluka rasanya. Ketambahan dengan kondisi PPD yang bikin kedua anak-anak bagai hidup di neraka. 

Lantaran maminya kayak setan, suka ngamuk sampai histeris, suka jambak si Kakak. Sering mengabaikan si Adik nangis, sampai seluruh tubuhnya nyaris membiru karena nangis histeris nggak saya hiraukan.

Dan dengan kondisi itu, saya cuman bertiga sama anak-anak di rumah loh. Pak suami pergi entah ke mana, setiap kali saya marah, dia kabur nggak ada kabarnya sama sekali.

Nggak ada tetangga, karena emang kami tinggal di tempat yang sepi.

Tapi, Tuhan memang luar biasa ya, begitu sempurna mengatur skenario hidup saya. Di mana sosok sempurna yang diciptakan bapak sejak kecil, bikin saya masih bisa berpikir jernih.

Meski kondisi saya saat itu, udah kayak ikan yang megap-megap kekurangan oksigen. Tapi masih bisa tersadar kalau anak-anak butuh saya yang waras.

Jadi, saya berkali berhasil melawan perasaan yang aneh-aneh. Yang pengen rasanya bikin anak-anak terdiam selamanya.

Karena saya juga pengen mati saja, tapi masih mikir. Lah anak-anak kan sama saya, mana si Kakak belum mandiri, nggak ada tetangga, si Adik bayi pulak.

Kalau saya mati, sampai kapan orang sadar kalau anak-anak hidup bersama mayat di rumah. Udah deh, pikiran selalu makin nggak karuan.

Meski demikian, sering juga saya nggak kuat melawan perasaan yang super nggak nyaman itu. Dada rasanya sakit. Sekuat apapun saya memukul dada, menjerit, tapi rasa sakit itu nggak bisa hilang.

Sampai akhirnya saya minum obat dengan dosis double-double dong.

Ternyata, kebiasaan minum obat dosis double gitu, bikin saya semacam menemukan cara untuk mengakhiri hidup.

Saya kan takut benda tajam, saya takut darah, saya takut sakit.

Jadi, saya harus menemukan cara lain untuk mengakhiri hidup. Dan begitulah, ketika lebaran tahun 2019 atau 2020 ya? (saya lupa dong), saya udah nggak bisa menahan semua rasa sakit yang ada.

Dan begitulah, ketika suami yang berminggu-minggu nggak pernah pulang, tiba-tiba pulang dan mengajak paksa anak-anak harus ke rumah ortunya. Saya udah nggak sanggup lagi berpikir. 

Saya harus ikut anak-anak, tapi sebelum pergi, tangan saya merogoh segenggam obat parasetamol dan antibiotik (saya sering stock obat tersebut di rumah).  

Langsung deh segenggam itu masuk mulut, langsung dikunyah.

Luar biasa banget ya si Rey, itu pahit banget dong, tapi udah nggak kerasa sama sekali, hahaha.

Lalu? ya begitulah, ternyata kuota usia saya masih belum habis. Boro-boro keracunan obat, yang ada saya mabuk obat, hahaha.

Saya ngantuk dong, nggak bisa buka mata sampai 2 harian, hahaha. Meskipun demikian, di hari kedua lambung saya bereaksi kayaknya, sakitnya minta ampun. Tapi saya ngantuk.

Jadinya tersiksa banget, semacam tidur, tapi merasakan sakit. Setelah baikan, saya buang semua obat di rumah, semacam trauma sama obat, hahaha.

Jadi sampai sekarang, saya jarang minum obat selain vitamin, kalau migren kambuh, saya obat pakai tidur dan makan yang banyak aja, masih trauma minum obat.

Sungguh hidup saya ini kayak penuh komedi yak, dark comedy! Mau mati. Mati enggak, trauma iya, hahaha.


Diserang berbagai penyakit fisik tanpa sebab 

Sejak kejadian percobaan mengakhiri hidup yang ternyata susah amat itu. Saya akhirnya sadar, kalau mengakhiri hidup itu susah, dan bukan jalan terbaik.

Saya pakai cara lain, yaitu bekerja sampai mau mampus dah kalau kata anak-anak zaman now, hahaha. Pas juga pandemi kan, si Kakak sekolah di rumah.

sakit fisik tanpa sebab

Dan saya pakai waktu semalaman suntuk untuk menulis dan menulis dan menulis, siang urus anak dan bikin konten, malam menulis.

Sedikit work sih untuk kewarasan, saya jadi lebih tenang, tapi ternyata nggak baik juga.

Karena saya semacam menutup luka, tanpa menyembuhkannya terlebih dahulu. Hasilnya jadi infeksi di dalam kan. Dan munculnya malah menyerang fisik saya.

Udah deh, beragam penyakit aneh tanpa sebab melanda tubuh saya. Mulai dari migren parah, lalu kena saraf kejepit yang sukses bikin saya nggak bisa bergerak sama sekali.

Anehnya, saya nggak pernah jatuh, dan mungkin karena nggak pernah jatuh, tau nggak gimana caranya bisa sembuh?

Karena saya latih dengan gerakan shalat. Luar biasa kan?

Sembuh dari penyakit aneh tanpa sebab itu, meski masih sering kambuh sih ya. Muncul lagi penyakit aneh lainnya.

Mulai dari saya nggak dapat menstruasi sampai 3 bulan, lalu kemudian menstruasi, tapi nggak berhenti sama sekali. Sampai pucat pasi saya takut kehilangan darah dan tewas.

Aneh kan si Rey ini, katanya mau mati, tapi sekarang takut mati, hahahaha.

Enggak ding, saya mikirin anak-anak soalnya, lah kami cuman bertiga loh, si papinya anak-anak nggak jelas ke mana. Dan nggak ada tetangga, plus lagi pandemi pulak.


Ceritaku Jatuh Bangun Berdamai Dari Mental Illness

Tapi begitulah hidup, Tuhan tidak akan begitu saja mengizinkan kita hidup di dunia dan menderita. Tuhan sudah izinkan kita ada di dunia, membawa ujian, lengkap dengan kunci jawabannya.

Jadi, sebenarnya semua masalah yang kita hadapi itu, sudah ada penyelesaiannya. Sama seperti Dia menciptakan dan mengizinkan saya hidup di dunia. Dengan skenario yang dulunya di mata saya, cuman menyedihkan aja yang teringat di masa kecil saya.

berdamai dengan mental illness

Ternyata tidak dong.

Sudah dikasih masa kecil yang 'keras', karena ternyata hidup saya di depan, guncangannya jauh lebih keras. Coba aja kalau bapak saya nggak maksa saya jadi wanita hebat. Manalah kuat saya bisa berjuang menghadapi semuanya.

Karena didikan keras itu, saya juga bisa berusaha lebih keras untuk keluar dari lingkaran perasaan yang sungguh menyakitkan tapi nggak tahu gimana cara mengobatinya.

Bersyukur saya dikenalkan dengan dunia blogger. Dari dunia blogger, saya akhirnya tahu tentang kesehatan mental. Dan menyadari kalau saya sedang mengalaminya.

Dan mulailah saya berani mencari cara untuk bisa sembuh, meskipun itu nggak mudah, setidaknya beberapa hal yang saya lakukan. Membantu banget ketika rasa semacam depresi menyerang.

Jadi, ketika saya merasa nggak nyaman, emosian, panik, sampai kadang gemetaran sulit bernafas. Yang saya lakukan adalah:


Berani bersuara di media sosial

Yang berteman dengan saya di facebook, udah 'khatam' deh sama postingan 'berani' saya. Iya, ketika saya merasa tidak terkontrol, saya segera curhat ke facebook.

Beruntung saya biasa menulis, jadi meski lagi nggak stabil, tapi masih bisa merangkai kata, yang akhirnya terbacanya mendayu-dayu, hahaha.

Tapi, jujur ya, dengan menulis itu, saya bisa menangis. Dan menangis itu sangat membantu mengurangi beban di hati.

Kalau nggak nulis, yang terasa cuman lautan emosi, sulit mengontrol diri, sampai saya takut mencelakai anak-anak. Padahal nggak ada orang lain di rumah.

Saya kesulitan bahkan semata mengeluarkan air mata, padahal aslinya, cengeng adalah nama tengah si Rey. Alias saya ini super cengeng luar biasa aslinya, hahaha.

 

Banyak membaca curhatan orang yang relevan

Selain menulis, membaca curhatan orang lain juga sangat bermanfaat buat saya release perasaan menyakitkan di hati. 

Karenanya, kalau lagi malas nulis, saya buka grup Motherhope Indonesia yang isinya kebanyakan para ibu depresi, di sana ibu-ibu itu bisa curhat tanpa dihakimi.

Dan membaca curhatan mereka, seringnya bikin hati saya jadi lebih tenang. Karena jadi sadar bahwa, ini tuh dunia, Rey. Hal yang menyakitkan terjadi itu wajar.

Dan seringnya, saya jadi melempem, setelah membaca cerita orang lain, karena jadi sadar bahwa ternyata yang masalahnya jauh lebih besar itu banyak.

So, semangat deh mencari kesembuhan.

Jadi, mana nih orang-orang yang suka bawel, kalau ada yang curhat di medsos. Percayalah, seringnya yang curhat itu malah menyelamatkan orang lain dari semakin terpuruk pada depresi.


Menerima hujatan sekaligus dukungan

Tapi, memang saya akui sih ya. Sekaligus sarankan, bahwa sebaiknya yang mau pakai cara saya curhat di medsos itu, dipikirkan lagi.

Karena, setelah curhat, beragam tanggapan pembaca akan sangat bisa menyerang kembali mental kita. Saya juga sering dihujat karena suka curhat release beban mental di medsos.

Dikatain caper lah, dikatain suka menyebar aib lah, sampai ada yang pamit mau blokir saya. Jujur ini aneh banget sih, mau blokir ya blokir saja. Kagak ngaruh juga kan saya diblokir atau enggak sama dia, wakakaka.

Bukan hanya dari teman medsos, dari keluarga juga tak luput menghujat.

Dikatain kurang iman lah, dikatain kualat lah, dan segala macam.

Namun, dukungan juga tidak sedikit. Beberapa kali saya jadi merasa sangat tertolong. Karena banyak banget teman yang peduli, lalu bolak balik memberondong ponsel saya untuk memberikan perhatian.

Bukan hanya perhatian saja, tidak sedikit juga yang peduli akan kondisi saya seutuhnya. Kayak pas sakit sendirian, dikirimin makanan, duit dan semacamnya.

Masya Allah, gimana nggak makin semangat untuk bisa sehat mentalnya cobak! I am so lucky!


Menulis di blog untuk release rasa tidak nyaman

Kalau udah curhat di medsos tapi masih mengganjal, biasanya saya release perasaan di blog. Alhamdulillah, Allah benar-benar tunjukan jalan keluar masalah saya itu, kebanyakan berasal dari dunia blogger.

Saya bebas curhat panjang lebar di blog, eh nggak tahunya malah dibaca banyak orang. Dan bikin blog saya ramai, lalu dapat kerjaan dan dapat duit.

Sungguh ya, sekali lagi, Tuhan tak pernah memberikan ujian tanpa kunci jawaban. 


Mengobrol dengan psikolog

Gara-gara dunia blogger, saya jadi ngeh tentang kesehatan mental. Jadi peduli dan berjuang menyembuhkan mental illness yang saya derita.

Sampai dengan berkonsultasi pada ahlinya, meski hanya sebatas psikolog, tidak sampai ke psikiater.

Setidaknya ada sekitar 4-5 kali saya berkonsultasi dengan psikolog. Baik berbayar maupun gratis, serta online maupun offline.

Namun, memang sih saya bertemu psikolog, setelah lama berjuang sendiri dengan cara menulis. Alhasil ketika di psikolog, dari kesemua yang mendengarkan cerita saya.

Nggak ada satupun yang mengatakan kalau kondisi saya mengkhawatirkan. Ya iyalah, pas konseling, ngobrolnya enak, bisa dengan runut menceritakan masalah tanpa diminta. Mana ada orang stres tapi bisa menjelaskan segala sesuatu dengan lugas, wakakakaka.

Ya itu dia, karena sebelumnya saya udah mempelajari kondisi saya secara otodidak. Beberapa kali mengikuti seminar mental health, banyak membaca hal-hal tentang kesehatan mental.

Banyak berlatih menenangkan diri, semua seminar atau pelatihan apapun tentang mental health, terutama yang gratis, hahaha. Pasti saya ikut.

Semua yang mentornya ajarkan, saya praktikan.

Dan bukan cuman itu, saya rajin menulis, dengan jujur mengeluarkan uneg-uneg diri. Setelahnya dibaca kembali, lalu mewek kemudian, lalu plong kemudian, hahaha.

Dan karena semua dilakukan secara konsisten, lama-lama saya mulai bisa sedikit demi sedikit berdamai dengan semua kondisi saya.

Menerima rasa sakit saya, rajin-rajin merangkul inner child agar nggak bikin saya saingan dengan anak sendiri, hahaha.

Sampai akhirnya, Alhamdulillah saya bisa menemukan Tuhan kembali.

Loh? emang selama ini nggak ketemu Tuhan, Rey?

Iya, saya merasa kehilangan Allah ketika sedang berada di masa kelam dahulu. Saya tetap shalat dong, nggak pernah putus malah. Tapi ya gitu, gerakannya doang.

Boro-boro khusyuk, orang saya sering lupa rakaat, saking pikiran saya melayang-layang, hahaha.

Nah, sejak konsisten mengenali diri sendiri, dengan cara banyak menulis dan membaca karena saya blogger.

Sedikit demi sedikit saya mulai menemukan cara menenangkan diri, dan yang paling menyenangkan, saya udah bisa nangis ke Allah.

Iya, sekarang, kalau ada hal-hal yang menyesakan, saya gunakan waktu anak-anak tidur untuk shalat, lalu puas menangis dan mengadu sama Allah.

Abis itu, plongnyaaaa masya Allah.


Tentang Mental Illness Dan Cara Mengatasinya

Dari cerita yang saya alami, saya akhirnya menyadari sepenuhnya, betapa mental illness itu nyata, dan itu wajar. 

Yang perlu dilakukan adalah, bagaimana agar bisa sembuh dari mental illness yang kita alami. Tentunya hal ini akan lebih mudah, kalau kita mengenali dulu, apa sih mental illness itu?


Apa itu mental illness, gejala dan cara mengatasinya

mental illness

Mental illness
biasa disebut mental disorder, merupakan gangguan pada kondisi kesehatan mental. Yang meliputi masalah di aspek pemikiran, perilaku, dan emosi

Karenanya, penderitanya dapat mengalami beberapa gejala, yang bisa menghambat kemampuan mereka dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Adapun gejala mental illness yang muncul yaitu: 

  • Muncul perasaan bersalah, sedih, cemas, kosong, pesimis, hingga merasa tidak berharga secara berlebihan.
  • Selalu merasa sedih yang mendalam.
  • Mudah marah atau kesal.
  • Mudah merasa cemas terhadap apapun
  • Sulit berkonsentrasi, berpikir, atau membuat keputusan
  • Berpikir untuk mati atau bunuh diri, atau pernah mencoba melakukan bunuh diri secara terus-menerus.
  • Nafsu makan berubah, demikian juga hasrat seksual, pola tidur, atau berat badan.
  • Selalu merasa lelah atau tidak berenergi.
  • Mengalami keluhan medis yang tidak diketahu penyebab pastinya, seperti sakit perut, nyeri leher, atau sakit punggung.
Lalu bagaimana cara mengatasi mental illness?.
Sedihnya mental illness ini nggak kayak sakit fisik yang diobati pakai pereda sakit, udah sembuh. 

Pada mental illness, hanya bisa diobati dengan cara lebih mindfulness ke diri sendiri. Dibantu dengan beberapa terapi-terapi relaksasi.

Pada kondisi tertentu, penderita mental illness akan mendapatkan obat-obatan, untuk menenangkan, bukan menyembuhkan. 

Karenanya, peduli dan jagalah kesehatan mental kita, karena kalau udah sakit, susah nyembuhinnya.

Apa itu inner child dan cara mengatasinya

Secara konsep, inner child digambarkan dengan sifat dan sikap kekanak-kanakan yang mungkin dimiliki semua orang. Namun, kondisinya berbeda pada setiap individu, tergantung pengalaman ketika masih anak-anak. 

inner child

Inner child
dikatakan sebagai bagian dari diri kita, yang tidak ikut tumbuh dewasa dan tetap menjadi anak-anak. 

Jadi, sisi tersebut akan terus ada dan menetap bahkan bersembunyi di diri kita. Dia akan terus membuat kita mengingat semua kenangan masa kecil. baik buruk, maupun yang indah-indah.

Dan ketika yang diingat adalah yang buruk-buruk, dan membuatnya terluka. Hal itu akan mempengaruhi bagaimana kita melihat dunia ini. Tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan kita, sikap kita, termasuk hubungan kita dengan orang lain.

Adapun gejalanya, sama persis kayak anak kecil, tapi dalam tubuh orang dewasa, misal : sering merasa  ada yang salah dengan diri sendiri. Selalu fokus berusaha menyenangkan semua orang, suka cari perhatian dengan cari masalah. Nggak bisa move on dari orang lain, takut ditinggalkan, merasa harus perfeksionis dan semacamnya.

Bayangin aja ya, kalau baca gejala-gejala inner child itu, persis banget kayak kelakuan saya pertama kali ketemu si Kakak pacar, hahaha.

Untuk mengatasinya, sama seperti kita memperlakukan anak kecil semestinya dengan mindfulness. seperti : memahami lukanya, menyayanginya serta mendengarkan keluhan dan masalahnya.

Mudah ya, tapi praktiknya tidak semudah itu dong, hahaha.


Apa itu baby blues dan postpartum depression serta cara mengatasinya?

Postpartum depression atau PPD adalah depresi yang terjadi selepas melahirkan. Penyebabnya karena ketidakseimbangan zat kimia di otak. Dan hal ini biasanya dialami oleh 10% ibu yang melahirkan.

baby blues dan postpartum depression

PPD berbeda dengan baby blues, di mana baby blues merupakan gejala mood swing ibu setelah melahirkan hingga maksimal 2 minggu setelahnya. 

Sedangkan PPD terjadi setelah masa baby blues berlalu. Dengan gejala penderita merasa seperti putus harapan, merasa gagal jadi ibu yang baik, hingga ogah mengurus bayinya.

PPD juga tidak hanya menyerang ibu, tapi juga ayah. Dan besar kemungkinannya, ayah juga mengalami postpartum depression, ketika menyadari ibu mengalaminya.

Kebayang kan pentingnya masyarakat menyadari tentang masalah kesehatan mental, termasuk masalah PPD maupun baby blues ini. Karena kalau sama-sama nggak ngerti, ibu kena PPD, eh ayah ikutan depresi juga.

Biasanya hal ini akan menghancurkan rumah tangga, karena sikap suami tentunya berubah, sementara istri sebenarnya sedang butuh dukungan suami.

Menurut saya postpartum depression ini jauh lebih berbahaya, karena melibatkan anak. Apalagi anaknya masih bayi pula.

Karenanya, seorang ibu yang melahirkan itu, sangat butuh dukungan keluarga. Dan kalaupun sudah terkena PPD, jangan ragu untuk mencari pengobatan. 


Kesehatan Mental itu Penting! 

Wow, cerita saya panjang banget yak, udah berasa baca novel, wakakakak.

Padahal, semua cerita tersebut hanya untuk memberikan testimoni dari cerita pribadi. Tentang betapa pentingnya kesehatan mental itu.

Dan jujur ya, menurut saya, kesehatan mental itu, jauh lebih penting. Alasannya, karena obatnya susah! Dan bikin penderita jadi sangat ketergantungan dengan orang lain.

Kalau orang sakit tipes misalnya, dirawat di rumah sakit 2-3 hari insya Allah sembuh. Dan ketika dirawat, masih bisa ditinggal mengerjakan hal lain.

Nah, kalau orang yang mengalami masalah mental, apalagi kalau terlambat diatasi atau lebih tepatnya tidak disadari bahwa ybs sedang mengalami mental illness. Yang ada cuman disuruh bersyukur, disuruh jangan jauh-jauh dari Tuhan dan semacamnya.

Lama-lama penderita akan semakin depresi, merasa tidak ada yang bisa menolongnya. Dan berujung dengan mengakhiri hidupnya.

Karenanya penting banget untuk semua orang memahami, bahwa kesehatan mental itu penting. Dan mental illness itu nyata, orang yang merasa putus asa hingga ingin mengakhiri hidupnya itu bukan cari perhatian, tapi cari bantuan.

So, pedulilah dengan siapapun yang sikapnya terlihat 'aneh' di mata kita. Mengerti mereka, dengarkan keluhan dan curhatannya. Serta ajak mereka mengunjungi profesional seperti psikolog atau psikiater.

Berhenti memaksa orang yang sedang mengalami mental illness untuk bersyukur. Apalagi terus menghakimi penderita seolah kurang beribadah seperti shalat.

kesehatan mental

Been there tauk!

Saya tetap shalat kok, tapi lupa rakaat mulu, bahkan kadang baca surat Alfatihah double, atau termenung lama saat memikirkan apa ya bacaan niat shalat itu? hahaha.


Kesimpulan dan Penutup

Dulu tuh, saya sering merasa kesal dengan hidup ini, rasanya kok hidup saya susah melulu. Makanya sampai berniat mau 'pulang' aja dengan paksa.

Tapi sekarang, saya bersyukur dikasih takdir hidup seperti ini, dan saya selalu berterima kasih serta menganggap semua adalah takdir baik buat saya.

Karena, jika saya tak pernah merasakan sendiri, mungkin saya juga akan sulit paham tentang kesehatan mental yang penting.

Namun, Temans tidak perlu seperti saya ya, tidak perlu mengalami mental illness juga, untuk sekadar memahami bahwa kesehatan mental itu penting banget.

Sayangi mentalmu, peduli dengan keluarga atau teman atau siapa saja yang menunjukan gejala mental illness

Harapan saya, semoga ke depannya semakin banyak yang mengerti tentang pentingnya kesehatan mental. Dan semakin banyak pula orang-orang terselamatkan dari mental illness yang mungkin merugikan dirinya sendiri.

"Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog #DearSenjaBlogCompetition yang dilenggarakan oleh situs dearsenja.com"

  

Sidoarjo, 16 Februari 2023

Sumber referensi:

  • Pengalaman pribadi
  • https://www.blog.dearsenja.com/mental-health/mental-illness-adalah-gangguan-kesehatan-mental-yuk-kenali-penjelasan-dan-ciri-cirinya/ diakses 16 Februari 2023
  • https://www.alodokter.com/postpartum-depression diakses 16 Februari 2023
  • https://hellosehat.com/mental/inner-child/ diakses 16 Februari 2023
Gambar: Canva edit by Rey

Demikianlah artikel tentang cerita saya jatuh bangun karena mental illness, lalu bangkit setelah mencoba mengakhiri hidup. Semoga menginspirasi dan bermanfaat.

Post a Comment for "Ceritaku Jatuh Bangun Karena Mental Illness, Ingin Akhiri Hidup!"