Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sebagai Single Fighter Mom dan Demi Anak, Saya Pro 'Patriarkis'

Konten [Tampil]
Sebagai Single Fighter Mom dan Demi Anak, Saya Pro 'Patriarkis'

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah tulisan di media sosial, yang bunyinya kurang lebih kayak gini,
"Wanita mah, kalau soal uang, tiba-tiba semua berubah jadi pro patriarkis!"

Si Mami Rey, yang notabene seorang ibu yang berada di kondisi single fighter mom, mengurus dan mengasuh kedua anak lelaki saya seorang diri, tanpa bantuan siapapun dan kapanpun.

Praktis memberikan komentar di tulisan tersebut, kurang lebihnya seperti ini,
"Bukan wanita sih, tapi hampir semua ibu tanpa support sistem!"


Masa Kecil Penuh Perjuangan Hak Para Wanita / Anti Patriarkis


Hidup ini lucu ya, anggap aja gitu, jadikan dark joke aja, biar kita menertawakan hal-hal miris biar nggak stres sendiri, hahaha.

Tahu nggak sih, masa kecil saya dulu, dipenuhi dengan perjuangan membela hak para teman cewek.
Saya yang super cengeng, waktu itu beruntung punya bapak yang galak, tapi selalu marah jika anak-anaknya diganggu orang lain.

Sebagai Single Fighter Mom dan Demi Anak, Saya Pro 'Patriarkis'

Kegalakan bapak saya, terkenal di daerah kami.
Dan itu yang jadi senjata saya dalam membela teman-teman cewek, dari keusilan atau ketidak adilan teman cowok.

Sejak SD, hingga SMP.
Jika ada teman cewek yang menangis dikasarin teman cowok yang nakal, abis deh saya balasin dengan kata-kata yang sangat 'nyelekit', hahaha.

Teman-teman cowok tersebut, nggak berani 'menyentuh' saya, karena semua takut sama bapak yang galak.
Palingan saya terkenal dengan banyak urusan aja, termasuk yang bukan urusannya, diurusin, demikian kata teman-teman cowok yang kesal.

Saya tumbuh besar di wilayah kabupaten Buton, di mana budaya patriarkisnya masih sangat kental, setidaknya dulunya ketika saya kecil.

Para lelaki, semacam diagungkan oleh para orang tua, bahkan ada anggapan kalau lelaki haram hukumnya masuk dapur, apalagi cuci piring.

Bapak saya, sangat menganut budaya tersebut, dan sering banget bikin saya kesal teramat sangat, ketika ada mama, dan beliau selalu menyuruh mama melayaninya dengan luar biasa.

Bapak sama sekali nggak mau makan kalau belum disiapkan, bahkan gelas yang ada di meja makan, yang bisa diraih tangannya dengan sedikit berdiripun, tak mau diraih oleh Bapak, malah nyuruh mama deketin gelas tersebut.

Geram banget rasanya!

Karena itulah, saya sering berdoa, agar ketika dewasa bisa pergi dari tempat itu, saya sungguh nggak tahan hidup dalam budaya patriarkis seperti itu.

Bahkan, saya nggak berani menerima cinta dari laki-laki asli Buton, saking saya udah parno dan trauma sendiri dengan budaya patriarkis.

Sebenarnya, rasa benci saya akan budaya tersebut, bahkan udah menjadi semacam sebuah pobhia saking takutnya, bukanlah tanpa alasan.

Alasan utamanya adalah, saya melihat sebuah ketidak adilan di rumah kami.
Mama, bekerja sebagai PNS, dan gajinya digunakan buat biaya hidup serta sekolah kami.

Sementara Bapak, memang tetap bekerja sih, serabutan macem-macem.
Kalau ada hasil duitnya, sering juga dikasih ke mama.

Masalahnya, mama mengeluh, bapak kasih duit ke mama, abis kasih ya diminta lagi.
Bahkan lebih parahnya, ngasihnya 1, mintanya sampai 2 hingga lebih.

Maksudnya, dengan kondisi seperti itu, boleh kali sesekali Bapak mandiri, kalau mau makan dan mama sibuk, mbok ya ambil sendiri.
Toh juga sama-sama kerja cari uang kan, bahkan uang mama yang katanya lebih bisa diandalkan.

Meskipun belakangan saya sadar, kalau bapak semenyebalkan itu, karena beliau stres, sejak kepindahan kami ke Buton, rasanya semua rezeki keluarga, berpindah dititipin melalui mama.

Berbeda dengan ketika kami masih tinggal di Minahasa, di mana semua rezeki keluarga dari Bapak, berbagai hal bapak lakukan untuk mencari uang dan itu berhasil.

Kehidupan kami lumayan membaik di Minahasa.
Bapak sering membelikan kami mainan dan baju baru, bukan cuman buat kami, saya dan kakak.
Tapi juga buat mama.

Mamam juga punya banyak koleksi emas ketika di Minahasa, yang kesemuanya adalah dibelikan oleh Bapak.
Setelah pindah ke Buton, Bapak sudah nggak bisa lagi seperti itu, jadinya dia stres sendiri, tapi tetep minta dilayani bak raja, dan bikin saya kesal melihatnya.

Dan hal itulah yang bikin saya ingin memerangi patriarkis.
Menurut saya, pria dan wanita, seharusnya punya kedudukan dan kesempatan yang sama, terlebih jika sama-sama menghasilkan uang.

Jadi nggak ada tuh yang namanya, istri udah capek bekerja seharian di luar, pulang kerja harus menyingsingkan lengan baju untuk mengerjakan kerjaan rumah termasuk mengurus anak, sementara suaminya ongkang-ongkang kaki.


Cerita Hidup Mengubah Anti Menjadi Pro Patriarkis


Seperti yang ditulis di atas, bahwa hidup ini memang adalah komedi, di mana dulunya saya sangat anti patriarkis, dalam hal ini untuk kesetaraan gender ya, baik lelaki dan perempuan itu ya sama.
Kalau sama-sama mencari uang, ya udah sama-sama juga mengerjakan pekerjaan rumah.

Beda lagi kalau suami aja yang cari uang, dan semua bisa dipenuhi dengan baik, masalah pekerjaan rumah tangga, hanyalah sebuah bantuan dari suami, setidaknya itu pola pikir saya ya.
Itupun bisa saya simpulkan demikian, setelah menikah dan punya anak satu orang.

Sebagai Single Fighter Mom dan Demi Anak, Saya Pro 'Patriarkis'

Dan semacam semesta mendengar doa-doa saya, yang benci lelaki patriarkis, yang pengennya punya pasangan hidup yang mau melangkah beriringan.
Dan Allah kasih saya jodoh, lelaki yang suka banget kerjain pekerjaan rumah, ya meskipun nggak bisa 'sesempurna' saya mengerjakan pekerjaan rumah ya.

Tapi, yang namanya blio masak ketika saya lagi nggak bisa masak, blio cuci piring, cuci baju, nyetrika, urus anak, nyapu dan ngepel.
Adalah sesuatu yang nggak perlu saya suruh apalagi ngamuk dulu baru dikerjakan.

Tapi ternyata, seiring waktu, lelaki normal, tetaplah kembali ke jati dirinya sebagai lelaki ketika diciptakan, atau fitrah lelaki.

Di mana, lelaki itu adalah pemimpin, egonya besar, dan haga diri bagi mereka adalah bisa menafkahi anak istrinya.

Awalnya, suami sangat setuju kami berjalan berdampingan, sama-sama kerja mencari uang, meskipun dia bersikeras kerja di luar kota dan saya di dalam kota.

Awalnya sih saya protes kecil, saya minta beliau kerja dalam kota saja, apalagi saya sudah hamil, dan bentar lagi melahirkan.
Bagaimana bisa kami bekerja sama dengan 'adil', kalau dia kerjanya di luar kota, nggak bisa selalu ada di rumah setiap saat.

Lah, terus maksudnya saya aja nih yang urus anak, sambil cari uang juga?
Kembali mengulang kisah mama saya dong itu, meskipun sedikit beda kondisinya, tapi sama aja ujungnya.

Terlebih saat itu, posisi saya udah menjadi karyawan tetap dengan hak yang lebih terjamin di sebuah perusahaan, sementara posisinya cuman sebagai karyawan kontrak proyek, di mana kalau proyek selesai, ya selesai juga gajinya.
Nggak ada hak lain, apalagi hak tunjangan keluarga.

Tapi, suami ternyata nggak mau ngalah, dan memang ego lelaki itu demikian, bagi mereka, memimpin dan menafkahi sebagai sesuatu yang utama.

Saya akhirnya ngalah, mengorbankan posisi saya sebagai karyawan tetap dan dengan posisi yang kuat di perusahaan tersebut, dan menjadi ibu rumah tangga, menyerahkan semua tampuk cari uang ke suami.

Alhamdulillahnya sih, janji Allah tentang dipenuhinya rezeki hamba-Nya selalu nyata.
Jadi, meski saya nggak kerja lagi, nggak punya gaji lagi, tapi masih ada pemasukan dari lain-lain.
Kayak dikasih pesangon uang pribadi dari boss yang nominalnya lumayan banget, dikasih mama yang kala itu masih kerja sebagai PNS.

Dan beberapa bulan kemudian, gaji suami naik.

Semua baik-baik saja, sampai akhirnya suami berubah, di mana awalnya saya yang megang keuangan, ternyata suami masih menginginkan egonya sebagai lelaki yang mana dia maunya uang gajinya dia yang kelola.

Belakangan saya baru menyadari, anak lelaki memang mencontoh ayahnya, dan itulah yang dilakukan ayah mertua, dulunya beliau yang mengatur uang, ibu mertua cuman dikasih uang belanja aja.

Masalah besarnya adalah, suami tidak punya kemampuan manajemen keuangan yang baik, dan jujur semua itu sudah saya tahu sejak sebelum menikah dengannya.

Saya tetap mengambil resiko, karena ketika menjadi pacar, dia mengikuti saran saya, bahwa kami berjalan beriringan.

Jadi apa-apa ya bareng, semua masalah ya dihadapi bareng.
Termasuk keuangan.
Meski saya yang pegang uang, tapi saya bikin perencanaan uang keluar masuk, jadi dia tahu persis ke mana uang-uang tersebut pergi.

Sayang seiring waktu dia berubah, tapi kemampuannya tidak berubah, maka di situlah awal mula keruntuhan kedamaian kami.
Awal mula kekacauan keluarga kami.

Suami benar-benar mengacaukan keuangan, dan bikin saya harus kembali bekerja di tahun 2014 silam, demi menstabilkan keuangan.

Alhamdulillah sih dalam setahun semua lebih baik, dan karena nggak tahan lagi si Kakak bolak balik ke dokter anak, akhirnya saya resign lagi.   

Ternyata, setelah itu, kembali lagi keuangan kacau balau, karena dia memaksa meng-handle-nya sendiri. Lebih menyedihkan lagi, karirnya pun tak ada perubahan sama sekali.
Berulang kali saya kasih masukan agar dia bisa mengubah nasib kami, terutama setelah saya melahirkan si Adik, dan usia saya udah semakin tidak produktif buat perusahaan.

Otomatis semua keuangan harus dia tanggung sendiri, sesuai dengan keinginannya yang mau mengelola keuangan sendiri.

Masalahnya adalah, semua hanyalah harapannya semata.
Blio berharap nasibnya berubah, karirnya membaik, tapi yang dilakukannya ya template seperti biasanya.

Tetap bekerja sesuai porsinya, kerjapun sering melawan atasan dengan berbagai alasan.
Dengan hal seperti itu, di tengah persaingan luar biasa saat ini?
Adalah mimpi ekonomi atau karir bisa berubah lebih baik.

Yang ada?
Semakin hari, dia semakin mengejar pekerjaan, dan tahu sendiri kan kalau kerjaan kita kejar karena kitanya yang butuh?
Yup! kita diperas tanpa punya pilihan lain.

Jadinya, dari yang dia kerja di dekat kami dan masih bisa pulang ke rumah bantuin saya mengurus anak-anak dan rumah karena proyeknya dekat.

Sampai akhirnya proyek selesai, dan dia harus cari proyek lain lagi, dan udah nggak ada posisi untuknya di Jatim, jadilah dia harus ke luar Jawa.

Dan begitulah, kisah long distance marriage kami di mulai.

Masalah besarnya adalah, meski saya nggak tahu pasti berapa gajinya, tapi gajinya bekerja di Jawa dekat kami, dengan gajinya bekerja di luar Jawa, sama aja.
Mirisnya, gajinya ketika anak satu dan masih TK, dengan anak dua, di mana satunya udah SDI yang biayanya fantastis, serta satunya udah masuk TK, itu sama aja.

Kebayang nggak sih inflasi udah berapa?
Ditambah porsi pengeluaran semakin banyak.

Mau nggak mau, saya harus menghasilkan uang juga, kalau nggak pengen anak-anak putus sekolah.
Dan begitulah perjuangan saya mengejar uang, sampai-sampai sehari-hari cuman tidur 2-3 jam saja dimulai.

Dan ternyata, SUSAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH BANGEEEETTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT NGEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!

Saya cuman bertiga sama anak-anak loh, jangankan mau tidur ya, saya sakit pun, sakit saraf kejepit yang bikin saya nggak bisa gerak, dipaksa wajib sembuh meski sama sekali nggak dibawa ke dokter.

Artinya, boro-boro sesekali punya waktu fokus cari uang tanpa diganggu anak, saya sakitpun dan nggak bisa gerak, saya masih harus mengurus anak-anak.

Dengan uang yang sangat terbatas pulak.
BERAAAAATT BANGET NGET!

Saya harus memilih, anak, saya atau uang yang harus diutamakan, karena nggak bisa loh milih ketiganya.

Ujungnya, saya mengorbankan diri sendiri, nggak pernah tidur nyenyak dan cukup, udah hampir 3 tahunan ini kalau nggak salah, saya kurang tidur, terhitung sejak pandemi.

Ketika pandemi lalu, saya mengubah pola hidup, malam jadi siang, dan sebaliknya.
Alias, saya kerja di malam hari sampai siang, dan siangnya tidur, meski cuman 2-3 jam aja.

Setelah anak-anak sekolah offline, terlebih si Adik juga udah masuk sekolah, which is pagi saya anter dan jemput dia.
Makin bingunglah saya mengatur waktu untuk mencari uang.

Sanpai di posisi saat ini, yang mana saya jadi kewalahan dan sering berhayal, alangkah indahnya kalau punya suami yang patriarkis, yang melarang istrinya mencari uang.

Saya udah sampai di posisi, nggak masalah deh saya kerjakan semua kerjaan rumah, toh laki yang ngerjain pekerjaan rumah juga nggak selalu bikin istri jadi ringan kerjaannya, seringnya malah tambah bikin kerjaan saya double.

Bahkan, nggak masalah deh semua tanggung jawab pengasuhan saya yang ambil, ayahnya cukup melakukan beberapa bagian, dan itupun nanti saya aturkan, ayahnya cukup menjalankan saja agar punya bonding dan dijadikan sosok pahlawan buat anak-anaknya.

Yang penting, semua urusan keuangan dipenuhi oleh suami.
Bahkan saya kasih diskon pulak, nggak masalah uang yang dikasih cuman buat anak-anak saja, uang buat kebutuhan saya, nanti deh saya cari sendiri, tentunya tanpa mengabaikan tugas saya sebagai istri yang cuman di rumah saja.

Iyaaa, saya menyadari, selama hidup ini, saya udah terlalu banyak mengalah, tapi saya belajar ikhlas kok, belajar menerima.

Saya bahkan, sudah mulai berdamai dengan pemikiran-pemikiran yang menyiksa, misal saya harus begadang ketika anak-anak rewel dan sakit, sementara dia di sana tidur dengan bahagia, tanpa diganggu anak-anak sama sekali.

Saya bahkan sama sekali udah nggak mikir kalau dia selingkuh atau semacamnya, terserah.
Saya berdamai dengan semua perjalanan hidup saya, yang semakin membawa saya jauh dari tujuan awal saya.

Saya sangat pro patriarkis.
Berharap punya suami yang menganut patriarkis dengan haga diri yang tinggi.
Jadi malu kalau kewajibannya menafkahi anak-anak (hanya anak-anak loh, saya enggak juga nggak apa-apa).

Bukankah kebanyakan patriarkis itu demikian?
Menjadikan perempuan sebagai pelengkap mereka.

Tapi demi anak-anak saya rela loh, beneran.
Saya pengen fokus mengurus anak-anak, karena mengurus anak itu, nggak bisa disambi-sambi dan diluangkan waktunya.

Anak adalah harapan saya satu-satunya.
Kalau saya gagal menjadi wanita idaman saya ketika kecil, wanita yang memperjuangkan kesetaraan gender, tak masalah.

Kalau saya gagal mendapatkan pasangan hidup sebagai partner yang bisa berdampingan, sahabat terbaik dalam hidup, pun tak masalah.
Saya akan patuh sebagai istri yang kerjaannya dapur, sumur, kasur dan anak.

Tapi, plis ambillah semua tanggung jawab tentang keuangan.
Karena sulit banget tauk, mengatur waktu untuk bisa mengerjakan semuanya seorang diri.

Karena saya masih pengen memperjuangkan harapan terakhir saya, yaitu menciptakan anak-anak yang sholeh, yang berkah.
Dan itu akan sangat sulit kalau saya kerjakan seorang diri, dan masih harus fokus ke mencari uang juga.

Jadi, iyes banget, saya memilih sangat pro patriarkis, biar nggak ribet dengan cari uang. 


Penutup


Dalam hidup, kadang kita memang harus kompromi dengan berbagai kondisi dan keadaan.
Karena, tidak semua keadaan bisa berjalan sesuai harapan kita.

Dan itulah yang saya alami dan lakukan, berbagai hal dari yang awalnya saya pertahankan secara idealis, kenyataannya harus saya relakan satu persatu dengan ikhlas.

Namun, bukan berarti kita harus kehilangan semua impian dan tujuan hidup.
Bagi saya, tujuan hidup saya adalah anak.

Apapun saya lakukan untuk mereka.
Meski kadang disalah artikan sebagai ibu yang berlindung dibalik anak.

Termasuk mengorbankan pola pikir anti patriarkis, dan menerima kelakuan patriarkis, meskipun bersyarat ya.
Karena patriarkis sesungguhnya adalah, lelaki-lelaki yang mengejar fitrahnya sebagai pemimpin dan pelindung, yang menjaga harga dirinya sebagai sosok lelaki yang memimpin dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Tak masalah sih, saya di rumah saja, urus rumah dan anak.
Tapi, berikanlah saya waktu fokus mengasuh anak-anak dengan baik.

Sidoarjo, 30 November 2022


Sumber: pengalaman dan opini pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

3 comments for "Sebagai Single Fighter Mom dan Demi Anak, Saya Pro 'Patriarkis'"

  1. Perjuangan yang luar biasa. Saya kira budaya patriarkis hanya sangat kental di daerah saya Tanah Minang sana. Tapi sebagian lelaki Indonesia itu ya begitu. Cuman kadarnya yang beda-beda daerah satu dengan lainnya. Tak heran kalau orang bule menganggap wanita kita itu menghamba pada suami. Tapi di tempat saya ada juga keluarga yang memberlakukan hukum Islam (tidak banyak). Sebagian besar urusan rumah tangga dikerjakan oleh suami. Terutama urusan mencari nafkah. Selamat malam ananda Rey.

    ReplyDelete
  2. Duuh Rey, ga kebayang kalo aku ngalamin hal yg sama gitu 😣. Wajar kok Rey kalo para ibu itu pro patriarki. Karena pada dasarnya kodrat laki2 memang jadi pemimpin dan pelindung. Bahkan dalam agama kita pun dia pemimpin. Aku dari dulu juga pro patriarki. Tapiiii aku cuma ga mau nikah Ama cowo yg sama suku seperti papa 🤣

    Masa kecil kita ada kemiripan. Setidaknya papa kita sama2 orang yg keras, dan suka dilayani oleh istri. Bangeeeet. Dan Krn dulu mereka dinikahin secara paksa antar keluarga , padahal mama ga mau, jadilah beberapa tahun yg ada, sampai aku SD SMP, sering ngeliat mereka ribut, bahkan sampai papa mukul mama, banting piring, dll. Aku sampe trauma dan jadi benci Ama laki2 Batak 😔. Makanya pas udh bisa jauh dari ortu, aku lgs pilih sekolah yg jauh, dan merantau pun beda pulau sekalian. Krn kesempatanku cari suami non Sumatra dan non batak kecil kalo aku bertahan di Medan.

    Setiap pacaran ga pernah sekalipun aku mau dengan orang Batak saking traumanya. Walo alasanku ke temen2, kalo sesama Batak ntr kami bakal sama2 keras, Krn aku kan Batak 😁. Padahal takut aja si cowo bakal kayak papa. Btw papa itu kdrt ke istri, tapi Ama anak2 dia baiiik., Walopun keras Krn pengen kami disiplin, tapi ga pernah main pukul ke anak.

    Syukurnya di Jawa aku ketemu suami yg orang solo, dan dia pun sangat mengikuti cara pendidikan dari keluarganya, di mana papanya yg cari kerja, dan mamanya yg atur keuangan. So, dia nyerahin semua uangnya ke aku utk dikelola. Intinya, aku memang selalu pro patriarki dari dulu, tapi cuma ga mau kalo laki2 itu menyalah gunakan kuasanya jadi laki2 yg suka mukul. Dan memang, gimana cara pendidikan dan pengasuhan kita dulu, itu menentukan sih kita bakal seperti apa nantinya.

    ReplyDelete
  3. Kalau saya lebih suka memandang keluarga, suami istri itu sebagai sebuah tim. Bukan matriarkat atau patriarkat. Semua keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan bersama dan semuanya tahu resikonya.

    Kami memang memutuskan, karena tidak mau pakai pembantu, si yayang harus di rumah saja. Waktu itu saya tawarkan, kalau dia mau yang bekerja, berarti saya yang di rumah, tetapi karena gaji saya lebih besar, maka diputuskan saya yang harus bekerja.

    Bukan sebuah masalah buat saya untuk di rumah karena saya akan bisa menemukan sesuatu untuk menghasilkan. Karena bagi kami berdua, siapapun yang menghasilkan bukan sebuah masalah karena uang akan dipakai oleh keluarga, demi keluarga.

    Hanya, karena saya yang akhirnya bekerja, maka, saya menerima tanggung jawab untuk menghasilkan uang. Saya tidak punya rekening atas nama saya, yang dipakai atas nama si Yayang.

    Pengelolaannya dilakukan bersama. Saya tahu uang yang dia keluarkan dan dia tahu berapa uang yang saya pegang (biasanya untuk ongkos kerja dan jajan sedikit saja, sisanya entah masuk tabungan atau dipegang dia).

    Soal urusan kerja di rumah pun, saya memutuskan tidak ikut pola umum. Selama saya bisa mengerjakan dan memang ada waktu, ya saya akan lakukan. Kalau dua-duanya kecapean dan tidak bisa mengerjakan, ya tidak dikerjakan.. hahahaha

    Saya menolak untuk ikut salah satu sistem, patriarkat atau matriarkat, karena buat saya keduanya adalah pola kuno dan tidak sesuai dengan keluarga saya. Jadi, saya dan si Yayang membuat cara baru, cara kita sendiri..

    Yang Alhamdulillah, sudah dua puluh tahun lebih berjalan dengan baik...

    ReplyDelete