Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyikapi Ekspektasi/Harapan Orang Terhadap Anak

Konten [Tampil]
harapan untuk anak

Parenting By Rey - Setiap orang tua pasti punya ekpektasi atau harapan terhadap anak-anaknya, meski bentuk dan besar ekspektasi itu berbeda-beda.

Namun, gimana kalau justru orang lain atau keluarga lain yang punya ekspektasi atau harapan yang besar sampai terkesan berlebihan terhadap anak? Yang ada bukan cuman anak yang stres, orang tuanya juga.

Mungkin itu kali ya yang saya rasakan selama hampir 5 tahun ini, terhitung sejak pertama kali menyekolahkan si kakak di sekolah Islam yang memang terbilang mahal untuk kami, juga untuk banyak orang yang awam terhadap pentingnya agama.

Tak luput juga dengan keluarga dekat kami, baik mertua maupun orang tua.
Kalau dari mertua sih, itu urusan pak suami ya, nah kalau dari orang tua dan keluarga saya? 
Sumpah, ini harus saya hadapi dan kadang bikin baper banget.


Ekpektasi / Harapan Orang Tua Terhadap Anak


Pernah berada di masa ketika saya harus berjuang keras tanpa ada alasan, untuk mencapai ekspektasi atau harapan orang tua yang begitu tinggi, membuat saya jadi selalu mengingatkan diri sendiri, bahwa nggak enak tauk berada di posisi anak yang dikasih beban dari ekpektasi tinggi itu.

Hal ini membuat saya, bersikap lebih santai terhadap prestasi si kakak di sekolah.
Nggak dapat juara, ya nggak masalah.
Nilai nggak sempurna, ya nggak masalah.

Pokoknya, selama si kakak tetap naik kelas karena atuh mah, memang biaya sekolahnya itu berat buat kami, huhuhu, dan selama ustadz/ustadzahnya nggak banyak protes, saya sih woles aja.

Ini nggak terjadi begitu saja sih, di awal-awal memang saya juga pengen agar kakak punya prestasi, memaksa dia belajar dengan benar-benar.
Waktu kelas 1 sih, dan worth it banget.

Nilainya lumayan lah, sama sekali nggak ada nilai pelajaran yang diulang, terlebih memang nilai terkecil buat diulang di sekolahnya itu cukup mencengangkan.
Kalau dulu saya SD nilai paling rendah itu di atas 50, lah sekarang kalau nggak salah 75 deh, untuk sekolah si kakak.

Ngehek nggak tuh?

Tapi ketika kelas 1, si kakak Alhamdulillah bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik.
Karenaaaa....

Ya saya belum punya 2 anak, yang diurus ya si kakak doang, hahaha.
Si kakak juga dulu masih aktif ikut kumon, dan terbiasa mengerjakan PR setiap hari, jadinya yang namanya belajar itu, bukan hal yang beban banget buat dia, saking udah terbiasa ngerjain PR kumon.

Lah, semenjak adiknya lahir, dan pas juga setahun kemudian papinya mengalami gonjang ganjing pekerjaan dan berpengaruh dengan ekonomi keluarga, mau nggak mau saya bukan hanya nambah kudu urusin si adik, tapi juga harus cari duit dari rumah.

Ampun deh, karuan aja saya hampir gila dengan semua ekspektasi prestasi si kakak itu, yang ada saya selalu memarahi dia, untuk bisa mandiri, karena jujur saya nggak sanggup lagi bisa mendampingi, seperti ketika adiknya belum lahir.

harapan orang tua untuk anak

Itu belum seberapa.
Sejak awal, memang banyak keluarga besar, maupun teman-teman dekat maupun luas, yang kurang setuju kami menyekolahkan si kakak di sekolah yang SPPnya ngalahin SPP saya waktu kuliah dulu, hahaha.

Bahkan hampir sebagian besar orang berpikir, bahwa semua itu adalah paksaan saya, yang maunya selalu hidup wah.
Oh ya, di mata keluarga saya, memang saya tuh kayak anak yang maunya hidup mewah, hahaha.

Iya, soalnya mereka selalu kesal dengan semua barang-barang branded yang saya punyai, yang saya maksa beli meski nggak punya uang, hutangpun saya lakonin.
TAPI BOONG! wakakakaka.

Tauk deh, kenapa keluarga saya tuh men cap saya dengan seseorang yang maunya hidup mewah, lah kehidupan saya sekarang, bahkan jauh dari kata pas.
Selain anak-anak, kayaknya nggak ada deh harta saya, hahaha.

Menikah dengan lelaki biasa, mau aja diajak hidup penuh perjuangan, menolak jadi PNS kalau nyogok, entah dari mananya saya maunya hidup mewah itu ya? wakakakakak.

Tapi begitulah, hampir semua keluarga menganggap, keputusan kami menyekolahkan si kakak di sekolah swasta itu adalah cuman ngikutin kemauan hidup mewah si Rey aja.

Tapi, terlepas dari semua hujatan keluarga dan banyak orang itu, saya bersyukur, karena untuk keputusan satu ini, saya sepakat dengan kebulatan tekad yang sama dengan pak suami.

Ini terbukti hingga si Kakak kelas 5, begitu sulit jungkir balik membiayai si Kakak, sampai sering dapat opsi dari keluarga agar si kakak dipindahkan ke sekolah negeri saja, tapi pak suami sendiri yang begitu kuat tekadnya, terus berjuang bagaimanapun, insha Allah si kakak akan lulus dari SDIT tersebut.

Karena besarnya tekanan keluarga tersebut, saya sering kali harus berkoar-koar mengatakan, bahwa ada dong hasil lebih jika kita menyekolahkan anak di sekolah yang lebih mahal, nggak mungkin banget sebuah harga, nggak ada 'isi'nya kan, dan 'isi' yang kami kejar itu adalah, pengenalan agama Islam buat bekal hidup anak.

Ngapain nggak ngajarin sendiri anaknya?
Woiii, sejak kapan si Rey jadi jauh lebih hebat ilmu agamanya dari ustadz dan ustadzah yang sekolah untuk itu dan bersertifikasi pula, hah?

Sebel deh, hahahaha.

Namun, ibarat terkena sesuatu yang mental balik, semua koar-koar saya itu, semacam jadi sebuah ekspektasi luar biasa dari keluarga, terutama keluarga saya.

Dalam bayangan mereka, si kakak yang sekolah mahal di sekolah Islam, tentu saja tumbuh jadi anak malaikat, hahahaha.
Bertutur kata yang manis, bersikap yang lembut, hidupnya hanya untuk agamanya, means sholat, dzikir dll itu adalah udah jadi sebuah hal yang kayak nafas buat si kakak, alias hal yang sangat dia butuhkan.
Pokoknya titisan Nabi Muhammad banget deh, wakakakakaka.

Ye kan, manalah ada manusia yang sempurna di dunia ini?
Jangankan anak-anak, bahkan ustadz yang udah dewasa aja, banyak yang aneh.
Apalagi anak-anak dalam masa pertumbuhan?

Bahkan anak pesantren aja, banyak yang error, apalagi anak yang cuman sekolah SDIT aja?

Jujur, ekspektasi keluarga ini justru pertama saya terapkan ke si kakak, saya selalu mengingatkan, kalau dia itu beruntung, di sekolahkan di sekolah yang lebih mengenalkan dia ke Tuhannya, di mana kunci hidup di dunia ini kan akan baik-baik saja, kalau kita 'cari muka' terus sama empu-Nya dunia dan diri kita, ya nggak?

Hal ini, sejujurnya saya maksudkan untuk membungkam mulut-mulut 'manis' beracun dari keluarga, yang ngomongnya sih biasa, tapi nyelekit banget di hati saya yang memang juga punya luka batin semasa kecil.

Bahkan sekadar bicara,
"Mahalnya sekolahnya ya, ngapain nggak di SDN aja? gratis?"
Duh itu tuh udah benar-benar merobek hati, rasanya.

Sampai akhirnya saya sadari, bahwa semua ekspektasi keluarga yang langsung saya sikapi dengan keras buat anak itu, telah melupakan sesuatu yang pernah saya alami dulu.

Yaitu, begitu nggak enaknya jadi anak yang selalu di-push untuk jadi sempurna, hanya untuk memenuhi ekpektasi orang lain, biar dibilang hebat oleh orang lain.
Terlebih lagi, orang tuanya sendiri, jauh dari kata sempurna.

Hal itu memang dirasakan banget oleh si kakak, dia sering banget melawan kalau disuruh, ketika saya marah, dia melampiaskan kemarahannya juga dengan menulis di kertas.

Deg banget deh, hiks.


Belajar Menyikapi Ekspektasi/Harapan Orang Terhadap Anak


Begitulah, Allah selalu sayang sama saya, eh lengkapnya, Allah tuh nggak bakal nitip milik-Nya ke seorang bernama ibu, lalu dibiarkan begitu saja, selalunya didampingi, lalu diarahkan untuk menjadi ibu yang baik.

Semakin ke sini, saya jadi semakin banyak disadarkan, dengan semua hal-hal di masa lalu saya, tak sia-sia saya mengorek semua masa kecil saya, meski itu mengakibatkan mama jadi makin marah kepada saya, karena memang biasanya kejujuran itu luar biasa menyakitkan, hahaha.

Tapi, di luar menyakitkan itu, kejujuran saya membuat saya jadi bisa mengingat lagi, apa yang saya tekadkan ketika dulu merasakan nggak enaknya di push mulu untuk jadi sempurna, sementara ortunya nggak ada bibit sempurna, hahaha.

Lalu mulai ke sini, saya mulai lebih melonggarkan semua sikap keras saya dalam mendidik anak, terutama si kakak.
Meskipun semuanya nggak bisa di lepas begitu saja ya, ibarat main layangan deh, kadang dilepas, kadang ditarik gitu.

Sekarang, saya tetap mengingatkan untuk sholat tepat waktu, meski caranya yang diubah.
Kalau biasanya dengan teriakan dan omelan panjang, sekarang jadi,
"Kak, udah adzan, kita sholat yuk, sholat tepat waktu itu, bikin Allah mendahulukan doa kita dulu, ketimbang yang sholat belakangan"
Meskipun untuk sholat Dhuha, masih belum sempurna, seringnya sih masih nyuruh doang, karena maknya masih bau bawang wakakakak.

Nilai sekolah?
Mau ngulang kek, enggak kek, pokoknya naik kelas deh, biar nggak bayar SPP double, hahaha.
Saya selalu menekankan, bahwa yang penting usahanya, dan tentu saja tetap memberikan bayangan dan target yang akan dikejar oleh si kakak, misal saya menunjukan sebuah hal yang menarik perhatiannya.
Seperti buku bagus, yang bikin dia kepo.

Seringnya dengan sendirinya dia akan bertanya, apa yang harus dia lakukan, agar mami mau menghadiahkannya buku tersebut, hahaha.
Dengan sumringah maminya bakal jawab, bahwa, karena harga buku itu lumayan mahal buat mami, jadi targetnya sih kakak nggak boleh ngulang nilai ujiannya, hahaha.

Demikian juga dengan hal-hal lainnya, misal mainan, tapi seringnya sih buku ya, atau akses Gramedia Digital yang selalu mami bayarkan.
Ada sebuah harga atau target yang dia harus capai untuk semua itu.
Entah itu nilai pelajaran, sholat khusu' dan tepat waktu tanpa diingatkan, atau bersikap baik kepada mami, papi dan adik.

ekspektasi orang tua untuk anak

Meskipun...
Mungkin dalam teori parenting, hal seperti itu tidak baik, karena seharusnya anak melakukan sesuatu itu tanpa adanya hadiah atau sesuatu dari luar dirinya.

Kalau ada orang maupun pakar parenting yang ngasih tahu saya hal itu, dijamin bakal saya jawab.
WOEEEE, SAYA INI MENGASUH ANAK SENDIRI, BUKAN PRAKTIK TEORI PARENTING.
JADI SAYA NGGAK CUMAN NGURUSIN TEORI DAN PERCOBAAN AJA.
NGURUSIN MAKANNYA JUGA, BAJUNYA, KESEHATANNYA, ININYA, ITUNYA..

Ya kali disamakan dengan para pakar yang kerjaannya ngurus teori mulu.
Kabooorrr, hahahaha.

Untuk semua penurunan standar yang saya berikan kepada anak, hal itu tentunya amat sangat tidak memenuhi ekspektasi keluarga.
Bagaimana bisa anak yang udah kelas 5, tapi masih harus diingatkan sholatnya?
Bagaimana bisa anak yang sekolahnya mihil, tapi hafalan Juznya malah belum ada 1 juz, wakakaka.

Terus, apa gunanya sekolah mihil-mihil?
Ya ada gunanya lah...
Banyak banget malah.

Hanya memang kita nggak bisa menilai dengan angka, karena bahkan bisa bersekolah di sekolah yang selalu mengajarkan akidah aja, itu udah merupakan nilai luar biasa buat si kakak, yang insha Allah akan jadi bekal hidupnya nanti, dan insha Allah sebagai usaha kami sebagai orang tua gagap agama Islam, untuk mengajarkan Tuhannya secara lebih jelas ke anak.

Ya namanya juga ikhtiar ya.
So i called sekolah di sekolah yang SPPnya fantastika itu adalah, sebuah ikhtiar saya dan papinya as a parent, agar si kakak bisa mendapatkan hal yang lebih dari kami, terutama dalam hal agama, karena agama adalah hal paling utama dari hidup ini.
Karena agamalah yang mengenalkan kita kepada sang pencipta kita.

Mengenai ekpektasi keluarga terhadap anak?
Ya biarkanlah mereka dengan ekspektasinya masing-masing.
Kan saya nggak bisa nutup ekspektasinya, dan itu adalah hak tiap orang mau berekspektasi.

Yang bisa saya kontrol adalah...
SIKAP SAYA terhadap ekspektasi banyak orang itu.

Anyway, menuliskan hal ini, bukan berarti saya adalah sosok ibu yang hebat luar biasa, bahkan pemikiran ini baru saja tercetus akhir-akhir ini, dan saya menuliskannya sebagai pengingat untuk diri sendiri, dan mungkin juga bisa bermanfaat bagi yang membacanya.

How about you, Parents?
 
Sidoarjo, 9 September 2021


Sumber: pengalaman dan opini pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

6 comments for "Menyikapi Ekspektasi/Harapan Orang Terhadap Anak"

  1. Kagum sama kak rey yang nyekolahin si kecil di sekolah agama 😇
    Bener itu kata kak rey, sekolah negeri tentu beda sama sekolah agama (dalam hal ajaran agamanya), apalagi sama swasta yang gak ada islam islamnya. Farah ngomong gini berdasarkan pengalaman dan penglihatan Farah, beda banget sekolah negeri dan swasta sama sekolah agama. Di sekolah yang bukan khusus agama, pelajaran agama tu nggak intens, jadi ilmu yg didapat juga umum lah, beda kalau sekolah agama ada diajak solat dhuha di sekolahnya, diajak menghafal, ah banyak deh. Emang beda banget kok kak rey. Farah mendukung kak rey banget sih ini 😄.
    Jangan patah semangat ya kak, Farah doakan semoga sekolah si kakak ini membuahkan manfaat di kemudian harinya atau di masa depannya atau mungkin kelak di perjalanan hidupnya menuju remaja dan dewasa, aamiin 😇

    ReplyDelete
  2. memang kalau kiat mendaapt ekspektasi tinggi itu gak enak, stres, makanya kita jangan terlalu berharap tinggi sama anak

    ReplyDelete