Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menghadapi Mertua/Orang Tua dalam Mengasuh Bayi A La Rey

Konten [Tampil]
Menghadapi Mertua/Orang Tua dalam Mengasuh Bayi A La Rey

Parenting By Rey - Kalau ngomongin tentang pengalaman dengan mertua atau mungkin orang tua sendiri, dalam mengasuh bayi, itu luar biasa ceritanya.

Saya rasa, setiap kali ada topik ini, bisa dikatakan mostly ibu-ibu akan semangat numpang cerita kekesalan mereka terhadap mertua maupun orang tua dalam mengasuh bayi

Wajar sih ya, sudah pasti cara mengasuh atau mengurus bayi antara mertua/orang tua dengan kita, terlebih sebagai ibu baru, sangatlah berbeda.

Mereka, mengurus bayinya ketika zaman HP masih sebuah barang yang super mewah kali ya, internet masih sulit.

Tentu saja akan sangat berbeda dengan cara kita mengurus bayi, yang udah dipengaruhi dunia modern, dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan, dan menggeser cara mengasuh bayi versi old, jadi semakin jauh ke dalam jurang.


Pengalaman Mengasuh Bayi Bersama Mertua


Ketika pertama kali punya bayi, semua serba mendadak.
Si kakak lahir prematur di usia 36 week.
Dan wajib sesar saat itu juga.

Karuan saja saya nangis ketakutan.
Syukurlah, pak suami segera mengabari keluarga, dan tak lama kemudian bapak dan ibu mertua datang ke rumah sakit.

Ibu mertua menemani saya sepanjang malam, meski akhirnya nggak bisa tidur karena saya menangis mulu kesakitan ketika efek bius setelah sesar menghilang.

Rasanya? kayak patah kebelah deh perut saya (lebay, hahaha).
Untungnya ada ibu mertua yang setia menemani, sampai keesokan harinya mama datang menemani dan merawat saya.

Ketika pulang dari rumah sakit, mama yang menguasai si kakak bayi.
Beruntungnya saya, mama adalah seorang perawat, yang karena bertugas di puskesmas tempat terpencil, jadi mama merangkap bidan selama puluhan tahun.

Jadi, mama amat sangat mengikuti perkembangan cara mengasuh bayi.
Dan hal itu membuat saya nggak punya banyak drama membiarkan mama mengurus si kakak bayi.
Meskipun tetap saja, seorang nenek nggak tega melihat cucunya kelaparan.

Jadi, ketika saya mencoba menyusui, dan ternyata...ASTAGAAAAA... SULIT BANGET TERNYATA NYUSUI ITU! hahaha.
Padahal liat di TV-TV atau liat mama dulu, kok ya gampang banget.

Alhasil mama memberikan susu formula saja ke si kakak bayi, dan jadilah si kakak, si anak sapi eh salah, si tukang minum susu sapi, hahaha.

Selain itu, yang sedikit ngeselin dari mama adalah, beliau menguasai si kakak bayi dong.
Ya ampuuunnn, saya nggak bisa sama sekali menikmati punya bayi dong.
24 jam diambil mama.

Yang mandiin, yang gantiin baju, yang bikinin susu, ngasih susu.
Bahkan tidur pun, si kakak bayi sama mama.

Sisi positifnya, saya sama sekali nggak mengalami baby blues, ya gimana mau baby blues, habis lahiran saya bersantai aja selama 24 jam, berasa ada nanny, hahaha.

Saya bahkan sama sekali nggak pernah merasakan yang namanya begadang karena si bayi nangis dan bangun tengah malam, karena mama semua yang urus.

Lalu mertua gimana?
Ibu tetap nemanin pulang dari rumah sakit.
Dan berbeda dengan mama, dan ibu mertua nggak kayak mama mengikuti perkembangan zaman, jadilah ibu mertua sempat mengatur hal-hal yang bikin saya pengen geli tertawa.

Mulai dari ketika saya pulang dari rumah sakit disuruh bawah peniti atau gunting disaku.
Lalu sampai rumah disuruh taruh, sapu lidi, cermin, gunting dan apa ya dulu, di kasur dekat bayi.

Mama cuman senyum-senyum aja melihatnya.
Dan saya?
Ya udah lah ya, karena memang nggak merugikan saya atau si bayi, saya ikuti aja perintah ibu.

Meskipun ketika ibu pulang, buru-buru deh disingkirkan, yang benar aja naruh sapu lidi dekat bayi, entar matanya kecolok gimana? hahaha.

Saya tidak punya banyak drama ketika si kakak bayi masih new born, karena ibu jarang datang, dan mama juga mengasuh si kakak bayi dengan baik.
Saya malah sibuk istrahat mulu, nggak ribet sama bayi.

Sampai akhirnya, setelah si kakak bayi berusia hampir 3 bulan, itu berarti masa cuti saya hampir selesai. Kami lalu mencari orang yang bisa jagain si kakak bayi.
Nemu dong, tapi...
Saya kok parno setengah mati ninggalin bayi 3 bulan sama orang asing, dan nggak ada pengawasan orang lain.

Akhirnya, kami putuskan pulang ke rumah mertua, tinggal di sana, dan membiarkan si kakak bayi dijaga ibu mertua, tentunya dengan mencarikan ibu seorang asisten rumah tangga, agar ibu nggak pontang panting mengurus bayi dan rumah.

Lalu, apakah ada drama antara saya dan mertua dalam mengasuh si kakak bayi?
Alhamdulillah enggak sih, bisa dibilang sangat minim banget terhadap drama.
Atau bahkan no drama sama sekali.

Kok bisa ya?


Menghadapi Mertua/Orang Tua dalam Mengasuh Bayi A La Rey


Mungkin banyak yang takjub dengan kenyataan saya justru nggak pernah terlibat drama dengan mertua dalam hal mengasuh anak.
Mengingat sifat dan karakter saya tuh aslinya juga sensitif banget.

Menghadapi Mertua/Orang Tua dalam Mengasuh Bayi A La Rey

Tapi Alhamdulillah, saya termasuk golongan orang yang beruntung nggak merasakan drama dengan mertua, mungkin kareba beberapa hal yang saya lakukan, dalam menghadapi orang tua, terlebih mertua dalam mengasuh anak, yaitu:


1. Sadar Diri Bahwa Saya Dibantu


Iya, sadar diri!
Mungkin itu yang saya tanamkan ke diri sendiri, ke pikiran saya, ketika saya harus bersama orang tua, terlebih ibu mertua mengasuh anak.

Iya kan, syukur-syukur ada yang bantu, beda lagi kalau saya punya pembantu, nggak butuh deh mertua kalau cuman cerewet maksain pengasuhan kuno dan mitos.

Nah, bahkan bukan di rumah mertua aja, saya sadar diri, kalau mertua membantu saya itu sama aja sangat meringankan beban saya.
Apalagi kalau di rumah mertua.

Udahlah dikasih numpang, diringankan beban mengasuh anak pula.
Bisa-bisanya saya mau sok ngelarang ini itu, mengajari ibu mertua ini itu, terutama jika memang apa yang dilakukan ibu mertua, tidak membahayakan anak maupun diri sendiri.

So, alih-alih kesal dan menggunjingkan ibu, ya mending bersyukur, masih ada yang bantuin. 
Karena mengasuh bayi new born, selepas sesar pula, sendirian.
Itu sungguh bikin baby blues hingga post partum depression


2. Berkomunikasi dengan suami, dan mertua adalah urusan suami


Nah, cara kedua mengapa saya nggak sampai mengalami drama sama mertua dalam mengasuh bayi adalah, karena sebelum ibu mertua datang, saya udah mengkomunikasikan kepada suami, agar suami yang memberitahukan ibunya bahwa kami punya aturan sendiri terhadap sang bayi.

Seperti: tidak memberinya makan apapun sebelum waktunya, tidak membawa bayi keluyuran di luar terlalu lama, harus benar-benar peduli dengan kebersihan, dan tidak memberikan obat apapun ketika sakit, kecuali atas sepengetahuan kami.

Dan setelah mengkomunikasikan hal itu kepada suami, dan Alhamdulillah suami ikut saja semua kemauan saya, karena dia percaya saya mengasuh bayi dengan cara modern dan bertanggung jawab.
Suami lalu menjabarkan hal-hal itu kepada ibunya, dengan cara mereka yang tentunya sama sekali nggak bikin ibunya merasa tersinggung.

Ye kan, beda lagi kalau saya yang ngomong langsung ke ibu mertua, mana saya tahu gimana cara bicara terbaik agar ibu bisa mendengarkan maksud saya dengan positif tanpa baper?
Kalau anaknya kan memang udah kenal ibunya sejak lahir.


3. Tidak membebani mertua terlalu berat


Nggak cuman banyak aturan pribadi kami terhadap bayi kami, tapi kami balik lagi ke point 1, yaitu tahu diri.
Makanya, meski kami bisa menitipkan si bayi ke ibu mertua, bukan berarti saya bebas dan bersenang-senang di kantor.

Tidak!
Saya berangkat kerja setiap hari setelah semuanya tersedia, dan ibu mertua benar-benar hanya jagain, gendongin, gantiin popok kalau kotor, dan nyuapin di siang hari.

Segala perlengkapannya sudah siapkan sejak dini hari.
Jadi saya bangun pukul 3 atau 4 subuh, lalu masakin MPASI buat sarapan dan makan siang si bayi (ketika sudah makan), setelah itu, saya suapin si bayi sarapan ketika masih subuh.

Lalu, setelahnya saya mandiin, gantiin baju, siapin popoknya di tempat yang mudah dijangkau oleh ibu.
Siapin takaran susunya, air termospun udah siap serta air buat bikin susu di tempat yang mudah dijangkau oleh ibu.

Semua botol dan perlengkapan makan si bayi udah saya siapkan.
Setelah mengurus si bayi, baru deh saya mandi, sarapan dan berangkat kantor.

Jadi, ketika saya berangkat itu, si bayi udah sarapan dan kenyang, udah mandi dan wangi, udah siap dan rapi semua persiapannya.
Saya juga membelikan stroller yang nyaman, jadi si bayi nggak perlu digendong mulu, biarpun gara-gara itu kepalanya jadi peyang, hahahaha.    
 
Saya juga menolak lembur setiap hari di kantor, biar kata atasan jadi kesal, hahaha.
Karena saya nggak mau ibu kecapekan menjaga si bayi.

Jadi, pukul 5 sore maksimal, saya udah di rumah, langsung mandiin si bayi lagi, lalu bersiap nyuapin makan malam.
Pakaian si bayipun saya cuci dan setrika sendiri, biar kata ada pembokat yang saya juga bayarin.

Jadi ibu sama sekali nggak merasa terbebani banget dengan adanya si bayi, dan karena itu juga saya dan pak suami tetap punya hak lebih besar terhadap si bayi ketimbang ibu mertua.
Jadi, ibu nggak berani macam-macam melanggar ketentuan yang udah kami sampaikan. 


4. Bertanggung jawab penuh terhadap bayi


Kalau si bayi sakit atau ada masalah serius, saya nggak pernah mengeluh dan memberikan tanggung jawab ke mertua.
Tentu saja saya rela nggak masuk kerja, ketika anak sakit, (lucky me, ketika kerja selalu sepenuh hati, jadi saat izin, atasan kehabisan alasan buat nggak bolehin, hahaha).

Ke dokter, ke rumah sakit, sebisa mungkin kami bayar sendiri, sama sekali nggak membebani mertua, pokoknya kedudukan mertua itu hanyalah membantu, jadi tanggung jawab besar ya tetap di kami, saya dan suami.

Mungkin karena hal itu, mertua sama sekali nggak berani mendikte atau memaksa kami harus begini begitu terhadap si bayi.


5. Memberikan kelonggaran kepada mertua


Meski Alhamdulillah, mertua sangat terbuka untuk menghargai saya dan suami dalam mengasuh anak, bukan berarti ibu selalu nurut apa kata kami.

Kadang juga ada hal-hal yang diinginkan mertua, yang terpaksa kami kabulkan selama itu nggak merugikan anak dan kami secara langsung.

Misal, ibu menginginkan dibuatin bubur merah putih pas weton atau apa ya, saya nggak ngeh sama sekali deh, hahaha.
Meski saya dan suami sama sekali nggak percaya hal-hal demikian, tapi kami menghormati ibu, dan membiarkan ibu melakukan apa yang dia inginkan.

Atau misal ibu ingin sekali mengajak si bayi naik odong-odong, which is saya aslinya nggak suka, karena saya termasuk ibu yang parno dengan berkumpulnya anak-anak yang kebanyakan lagi batpil.
Namun agar ibu senang, sesekali saya mengalah, dan Alhamdulillah ibu senang karena itu.


Demikianlah 5 hal yang saya lakukan, sebagai cara saya menghadapi mertua atau orang tua dalam mengasuh bayi.
Karena itu, Alhamdulillah saya termasuk wanita yang beruntung, nggak pernah kesal sama ibu mertua, karena mengasuh anak dengan cara kuno penuh mitos.

Muhammad Darrell khairullah

Saya sering melihat curhatan banyak ibu tentang drama mereka rebutan mengasuh bayi menurut masing-masing.
Kadang sedih sih, ada yang udah 'numpang' tinggal di rumah mertua, kalau udah kerja, benar-benar lepasin tanggung jawab anak ke mertua.

Giliran mertuanya memutuskan sesuatu dengan metode pengasuhan jadul, eh marah lalu rumpiin mertua ke mana-mana.

Ya kalau nggak mau anak sembarang diasuh neneknya, tunjukinlah, bahwa kita adalah ibu yang bertanggung jawab terhadap bayi kita, jadi meski dijaga ibu mertua, tapi kita tetap yang lebih berkuasa atas bayi kita.
How about you, Parents?

Demikianlah, semoga ada manfaatnya.

Sidoarjo, 7 Juli 2021 


Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey dan dokumen pribadi

4 comments for "Menghadapi Mertua/Orang Tua dalam Mengasuh Bayi A La Rey"

  1. Aku yang selama lahiran anak pertam dan kedua di rumah mamaku sendiri aja, sering gak cocoknya Rey.

    Memang bener kalo ada yang punya konsep, kalo uda menikah apalagi punya anak, baiknya *omah-omah* sendiri, karena value tiap keluarga pasti beda, meski itu orangtua kita sendiri.

    Sempet ngerasain 3-4 bulanan tinggal bareng mertua, ini aja anak-anak uda gede, dan wadawwwww wadidaw, wkwkwkk. Makanya suka kagum aku kalo yang pada bisa akur dan lengket sama mertua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, kalau saya mungkin masih kebungkus sungkan Mba, tapi tetep dikomunikasikan ke paksu tentang batasan yang ga bisa saya tolerir, jadinya suami yang ngomongin ke ibu mertua, karena memang dia yang lebih ngerti ibunya kan ketimbang saya, hihihi.

      Biarpun anak-anak udah gede, masih kadang drama ya, biasanya dari pola asuh yang beda, kalau sama mama saya sih, Alhamdulillah ga terlalu masalah, ibu mertua yang kadang ga sesuai dengan gaya asuh saya, tapi seringnya saya kasih juga sedikit kelonggaran :D

      Delete
  2. Gimana kalo si mertua atau ipar malah bilang ke si bayi "neneknya ambil tante ya" apa itu termasuk merusak kesehatan mental si bayi sejak dini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kembali lagi Mba, kalau merasa takut bayinya punya masalah mental dengan hal demikian, maka jauhkan bayi dari neneknya.
      Pastikan kita bisa mengurus anak sendiri, which is itu berat banget, apalagi kalau kita kerja.
      Kalau kita bertanggung jawab sepenuhnya ke anak, tidak pernah membebani neneknya bayi atau tantenya. insya Allah mereka juga nggak berani macam-macam.

      Kalaupun tetap macam-macam, dan memang merugikan banget, ya harus tegas. Tapi harus bertanggung jawab

      Delete