Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dampak Negatif LDM pada Suami atau Ayah

Konten [Tampil]
Dampak Negatif LDM pada Suami atau Ayah

Sharing By Rey - LDM atau Long Distance Marriage, adalah sebuah hubungan yang tak pernah saya inginkan sebelumnya.

Ya kali, abis menikah, hingga akhirnya punya 2 anak, terus jauh-jauhan.
Apa gunanya dulu, ketika belum nikah, saya nekat bali ke Surabaya demi tetap berdekatan dengan si pacar?

Tapi, begitulah hidup, seringnya kenyataan tak pernah bisa seiring dengan ekspektasi kita.
Setelah nelewati 5 tahun pertama pernikahan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan agar kami tidak mengalami LDM, nyatanya LDM udah jadi sebuah keharusan, terutama ketika si kakak udah harus masuk SD.

Sebelumnya, saya udah pernah bahas tentang plus minus seorang ibu rumah tangga, terlebih berprofesi juga sebagai blogger yang aktif, dalam menjalani LDM.
Maka sekarang, saya ingin membahas dampak negatif bagi suami atau ayah yang menjalani LDM, tentu saja dalam penilaian saya.

Oh ya, sebelumnya saya mau jelaskan juga deh, penyebab saya LDM sama suami, biar mungkin bila ada pertanyaan, kok mau sih Mbak Rey?
Kalau saya ogah ah, ikut ke manapun suami pergi, and etc.  

Penyebab LDM kami tuh karena:
  • Paksu kerjanya nggak menetap, ikut proyek-proyek jalan dan jembatan melulu. Udah gitu durasi waktunya nggak menentu pula. Kadang setahun, kadang lebih, tapi biasanya memang maksimal 2 tahun, kecuali memang kerja di proyek yang menerus, dan multi year.
  • Si kakak Darrell udah masuk SD, dengan kondisi papinya kerja nggak menentu gitu, bagaimana pula caranya dia bisa ikutan? yang ada dia bakal gonta ganti sekolah melulu dong.
  • Kondisi keuangan yang tidak memungkinkan buat ikutan paksu ke mana-mana, terlebih anak udah sekolah, dan udah 2 pula, karena yang namanya pindahan itu, sungguh butuh biaya lumayan banget.

Demikianlah, ketika si kakak mulai masuk SD, saya akhirnya hanya bisa pasrah, ketika harus ditinggal keluar kota.
Pasrah terpaksa menjadi single mom yang benar-benar mandiri, meskipun penuh tantangan yang bikin pengen nangis, salah satunya ketika gas habis, sementara saya nggak berani pasang gas.

Nggak ada tetangga yang bisa dimintain tolong pula, hanya ada satpam, itupun saya nggak nyaman ada lelaki lain masuk rumah di saat paksu nggak ada.

Dan ternyata, hal itu memaksa saya jadi bersahabat dengan gas elpiji, sehingga yang awalnya takut banget masang gas, jadinya udah biasa banget benerin berbagai masalah gas elpiji.

Yup, lama-lama saya jadi bisa beradaptasi tanpa adanya paksu di dekat saya, meskipun ketika lelah mengasuh anak-anak, berharap bisa tidur dengan puas tanpa memikirkan anak mau makan belum ada yang siapin atau semacamnya.

Tapi, over all, saya mencoba berdamai dengan semua kondisi yang harus saya jalani, dan akhirnya jadi terbiasa dan nyaman-nyaman saja.

Namun ternyata, ada dampak negatif, khususnya yang terjadi pada suami, terlebih dengan statusnya sebagai seorang ayah, di antaranya adalah:


1. Suami jadi terbiasa jadi single lagi


Sejujurnya, paksu tak pernah sama sekali mengeluh tentang anak-anak yang sukses merampas waktu tidurnya, sejak pertama kali dia jadi seorang ayah.
Sejak saat itu, sangatlah jarang dia tidur nyenyak tanpa gangguan anak-anak.

Dan terbayang kan, apa yang dia dapatkan kembali ketika akhirnya jauh dari anak-anaknya?
Yup, dia bisa tidur dengan nyaman tanpa terganggu oleh anak-anak.

Bukan hanya itu, dia juga terbiasa tak pernah diganggu anak-anak ketika kerja, tak pernah mendengarkan rengekan anak-anak.

Alhasil, ketika dia bisa pulang ke rumah, jika ada waktu libur, dia cenderung tidak sabaran menghadapi anak-anak.
Bukan hanya menghadapi si kakak yang memang udah tumbuh besar dan telah masuk fase pencarian jati diri dan jadinya sering membantah, si adik yang semaunya sendiripun kena bentak, meski nggak sekeras bentakan kepada si kakak.

Itu sungguh terasa aneh sih, mengingat aslinya dulu papinya sangat sabar, even dia berada di tahap nggak nyaman, ketika ngantuk dan lapar tapi anak-anak rewel, dia masih bisa sabar menghadapi anak-anak.

Mungkin karena dulu, rutinitas menghadapi segala macam drama punya anak itu, dia alami setiap hari, jadinya semacam terbiasa.
Sekarang, setiap hari adalah kebebasan untuknya, bebas mau ngapain saja, mau tidur kek, mau merokok kek, semua bebas.

Solusinya? 
Saya akhirnya membolehkan anak-anak meminjam hape saya buat sering menelpon papinya, dan terlihat jelas deh, bagaimana si kakak merindukan papinya, dia begitu antusias bercerita dengan papinya, karena merasa punya teman lelaki buat bertukar pikiran.

Solusi buat saya?
Sejujurnya, hingga saat ini sih nggak ada, hahaha.
Saya memilih membiarkan dia melakukan apapun yang dia inginkan, dan saya akan fokus ke diri sendiri, melakukan segalanya sebaik mungkin.


2. Suami jarang update perkembangan anak secara langsung

   
Dulu, tak ada satupun hal yang luput dari suami, tentang anak-anak maupun tentang semuanya di rumah.
Anak sakit, baru aja kerasa hangat. udah deh saya kasih kabar.
Anak jatuh dan luka, saya kasih kabar, minimal berbagi khawatir kan ye.

Tapi, lama-kelamaan saya jadi merasa sakit hati, ketika semua kabar yang saya berikan, tak ada solusi berarti.
Dulunya, jika saya bilang saya sakit atau anak-anak sakit, dijamin beberapa saat dia udah sampai di rumah saking khawatirnya.

Sekarang berubah.
Jadinya saya meminimaliskan rasa sakit hati dengan mencoba menghadapi semuanya seorang diri dulu.
Anak sakit ya minum obat, bahkan sering banget dia nggak tahu kalau anak-anak sakit, pas dia pulang, anak udah sembuh, dan kadang bahkan saya lupa sampaikan kalau anak sakit, hahaha.

I know memang ini juga dari saya, tapi LDM bener bikin saya kudu memanaj hati demi kewarasan diri, hahaha.   

Dan bukan hanya soal anak sakit, bahkan jika saya dapat sesuatu, rezeki, atau bahkan beli barang, seringnya udah beli baru ngomong, hahahaha.

Ah semoga juga paksu paham, kalau semua itu bukan maksud tidak menghargainya, hanya saja, semua jadi membuat saya terbiasa melakukan sesuai keinginannya.


3. Suami sesukanya, jarak semakin lebar


Yup, dari semua poin di atas, udah tercermin, betapa dampak LDM dari suami yang membuat dia berubah, bikin saya jadi terpaksa beradaptasi, dan jadinya memang terbiasa juga akhirnya.

Masalahnya, jadinya kebablasan, jadi punya jarak, hahaha.
Saya udah malas bercerita tentang apa saja yang saya maupun anak-anak alami, daripada sakit hati dibilang berlebihan kan ye, hahaha.

Dampak Negatif LDM pada Suami atau Ayah

Saya sudah makin nggak ngerti tentang kehidupan suami di luar sana, demikian juga dia nggak tahu apa yang sedang saya lakukan, rencanakan, dapatkan, alami.

Saya semakin tenggelam menulis, menemukan banyak kedamaian dalam kegiatan ngeblog saya.
Dan begitulah, jarak semakin lebar, dari yang awalnya saya nggak nyaman dengan keadaan itu, lama-lama jadi terbiasa.

Dan saya akhirnya juga nyaman menyimpan banyak hal untuk diri saya sendiri, setelah 20 tahun tak pernah ada yang tersembunyi selain dibagikan kepada si paksu yang dulunya masih jadi pacar.


Pada akhirnya, semua berubah.
Karena jarak.

Pak suami yang entah mungkin bahagia menemukan masa single kembali di luar sana.
Dan saya yang semakin terbiasa kembali menjadi saya yang dulu, sebelum punya pacar.

Saya yang punya seribu satu kisah di dalam kepala, dan tak mudah saya bagikan ke orang lain.
Dan saya yang dulunya jadi nggak nyaman jika saya belum berbagi dengan paksu, jadinya terbiasa dan nyaman-nyaman aja.

Ebentar, ini judulnya dampak negatif suami, kenapa kok yang dibahas saya ya? hahahaha.
Sudahlah, pokoknya ya gitu, hahaha.

Ada yang juga LDM?
Keep contact ama orang-orang terkasihmu ya, Temans.
Percayalah, jarak itu diam tapi membahayakan.
Saat kedua belah pihak terbiasa dengan jarak yang diam.
Saat itulah, mungkin hati telah perlahan mati.


Sidoarjo, 8 Januari 2021

#FridayMarriage

Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

Post a Comment for "Dampak Negatif LDM pada Suami atau Ayah"