Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sebagai Ibu, Saya Tolak Normalisasi Anak Merahasiakan Agamanya

Konten [Tampil]
bangga akan agamanya

Sebagai ibu, saya menolak menormalilasi mengajarkan anak merahasiakan agamanya, khususnya seorang muslim. Karena banyak manfaat bikin anak bangga beragama Islam.

Byw, saya baru saja nggak sengaja buka Twitter lalu scroll dan membaca sebuah tweet yang menge-share sebuah tangkapan layar artikel yang menuliskan bahwa Farel Prayoga si penyanyi di Upacara 17 Agustus lalu, yang viral dengan lagunya 'Ojo Dibandingke' menolak memberitahukan agamanya, dengan alasan privacy.

Well itu sih hak Farel ya, dia nggak mau ngasih tahu agamanya, juga nggak merugikan orang lain, palingan yang dirugikan ya dirinya sendiri.

Namun saya jadi tertegun setelah membaca tentang ajakan menormalisasi hal tersebut, semacam normalisasi agar anak-anak merahasiakan agamanya.

Uwow, kalau ini sih saya nggak setuju.

Btw, sebelumnya mau jelasin dulu.
Tulisan ini banyak membahas masalah muslim, karena saya kan muslim, hehehe.
Dan ini opini saya ya, tidak mutlak jadi kebenaran, tapi bisa direnungkan untuk diambil hikmahnya, jika ada.


Bangga Beragama Islam Sejak Kakek Nenek Buyut yang Akan saya Ajarkan ke Anak-Anak


Saya pernah menuliskan di blog reyneraea.com, tapi lupa artikel yang mana, hahaha.
Tentang alasan saya mengenakan jilbab, pertama kali di tahun 2005 silam.

Iya, saya sudah mengenakan jilbab sejak hampir 20 tahun lalu, sejak masa di mana teman-teman doyan jilbaban, lalu kemudian dilepas lagi.

Dan i am so proud to myself, karena meski jilbab salah satu penyebab sulitnya mendapat pekerjaan karena berjilbab. Saya nggak dapat kerja selama 1 tahun sejak wisuda, tapi bertahan nggak mau terima kerjaan, kalau syaratnya lepas jilbab.

Well, meskipun semua itu mungkin dulunya saya lakukan, bukan karena alim banget, tapi saya memang nggak suka diatur untuk hal-hal yang nggak masuk akal.

Apa hubungannya cobak? jilbab ama kinerja saya?
Orang saya kerjanya di bagian teknik, yang mana modal utamanya ya otak dan semangat kerja.

Namun, bukan itu yang ingin saya ceritakan, tapi tentang alasan mengapa saya memutuskan memakai hijab di tahun tersebut.

Ada banyak alasan sih sebenarnya. Misal karena saya malu, ketika mudik lebaran di rumah ortu, saya sendiri yang nggak jilbaban, kakak saya, dan adik sepupu saya semua berjilbab.

Teman-teman kuliah juga mulai banyak yang berjilbab, kalau nggak salah, di tahun 2004-2005 itu  masa-masanya orang banyak yang berjilbab sih ya. Namun kembali banyak yang lepas jilbab di tahun 2006-2007.

Alasan lainnya adalah, biar simple perawatannya.
Rambut saya tuh tipe yang ikal, yang kalau nggak dirawat dengan baik, jadinya megar kek rambut om Leo, wakakakaka.

Sampai-sampai saya berpikir mau ikutan teman-teman yang memilih rebonding hingga smoothing rambut, tapi saat itu Kakak Pacar melarang, katanya nggak cocok nanti rambutnya kek tikus kecebur got, wakakakak.

Namun dibalik berbagai alasan tersebut, alasan yang paling mendasari saya memakai jilbab adalah, saya sungguh bosan dipertanyakan identitas agama saya sebagai seorang muslim.

Saya punya dosen beragama Kristen kalau nggak salah, yang mana setiap kali abis ngajar selalu bertanya,
"Rey, kamu gerejanya di mana?"
Ish....ish....ishh....

Kagak pake nanya dulu, agamanya apa?
Langsung ajak ke gereja aja.

Kalau natal, lebih parah lagi, banyak banget teman kuliah yang memang jarang ngobrol, malah ngajak ke gereja, atau nanya gerejanya di mana?

Dan lucunya, ketika saya jawabnya, nggak ke gereja, tapi ke masjid, eh rata-rata pikir saya bercanda dong.

Gara-gara itu, saya jadi khawatir, ini kalau saya masuk ke warung makan non halal, nggak bakal ada yang mau negur dong ya, saking mereka pikir saya non muslim.

Bukan hanya itu, orang tua Kakak Pacar juga dulu bolak balik bertanya, seolah meyakinkan, apakah saya seorang muslim?

Si ibu nggak tahu aja, saya dan anak-anaknya, mendingan saya dalam fasih membaca Al-Quran dong *uhuk, wakakakakak.

Sampai akhirnya saya memutuskan memakai jilbab, dengan masih teringat pertama kali ngampus sambil jilbaban, hampir semua orang tertawa, karena saya pakai jilbab berasa kek Ninja Hatori, wakakakakak.

Dan setelah itu, ayo tebak, apa yang terjadi?
Saya mendengar rumor di kampus, kalau banyak yang membicarakan saya, kalau saya udah jadi mualaf, lantaran berpacaran dengan orang muslim, ampyun daahhh, hahahaha.

Dan bukan itu saja, sejak berjilbab, ortu pacar malah jadi sering menanyakan hal-hal Kristiani ke saya, misal ketika Natal, ibu pasti akan bertanya, biasanya keluarga saya kalau Natal gini gimana? Masak apa mereka?

Astagaaahh...

Sampai-sampai dulu saya sering bercanda sama kakak, setiap Natal kami pasti saling mengucapkan selama natal, dan saling bertanya masak apa di hari raya Natal? wakakakak.

Betapa, saya krisis identitas sebagai muslim, hanya karena menurut orang di Jawa:
  • Nama saya nggak ada ciri khas Muslim-nya
  • Saya lahir di Minahasa, which is di sana juga mayoritas Kristiani.
  • Bentuk wajah saya, mirip orang NTT yang mana di sana juga mayoritas non muslim, terlebih saya dulu ngekos bareng teman kos asal NTT, yang kata sebagian orang kami mirip, padahal mah cuman gestur tubuhnya aja, kami sama-sama kurus, sama-sama agak jangkung juga.
Dengan pengalaman saya yang berjuang biar di notice orang sebagai muslim, lantaran saya juga mau dong didoain sesama muslim. Saya juga mau dong dilindungi sebagai muslim, maksudnya, misal saya masuk ke resto atau warung makan non muslim. Orang akan segera menegur saya, kalau itu nggak halal, gitu loh.


Alasan Perlunya Saya Mengajarkan Anak Untuk Tidak Merahasiakan Agamanya dan Bangga Akan Identitasnya Sebagai Muslim


Mungkin karena pengalaman saya tersebut ya, jadinya saya berpikir kalau mengajarkan anak untuk bangga dan tidak merahasiakan agamanya itu penting banget.

Ajarkan anak bangga akan Islam

Alasannya?


1. Agar semua orang mengenalinya dan menghargainya sebagai muslim


Saya pikir, semua agama punya batasan tersendiri dalam mentoleransi ajaran agama lain ya, termasuk Islam.

Di Islam, minuman keras itu haram, beberapa makanan yang tidak jelas kehalalannya juga sebaiknya tidak dikonsumsi, apalagi hal-hal yang memang paling keliatan, seperti babi.

Kalau orang-orang mengenalinya sebagai muslim, maka ajakan untuk hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam, insha Allah lebih terbatas.

Misal, ajakan makan masakan non halal, ajakan minum alkohol dan lainnya.
Dan juga nggak bakal ada yang mau ngajak anak ke gereja atau rumah ibadah lainnya, tapi orang pasti akan ngajak ke masjid.

Meskipun mungkin tetap ada ajakan, setidaknya hal itu hanya karena orang iseng aja, bukan karena nggak tahu agamanya Islam.

Saya jadi ingat cerita ketika masih kerja dulu, saya main ke mall sama beberapa teman kerja, salah satu adalah penganut Katolik. Dan dengan pedenya saya minta dia jadi model saya untuk make jilbab, dan dia menolak sambil manyun.

Segera saya minta maaf, karena nggak tahu kalau ternyata dalam agamanya hal itu nggak boleh.
Itu saya yang tahu dia Katolik loh, kalau yang nggak tahu?
Niscaya lebih banyak lagi yang minta dia berjilbab, hehehe.

Ini termasuk jika anak saya menolak memberi selamat Natal atau hari raya agama lain, kepada teman non muslim.
Saya harap teman-temannya mengerti, karena anak saya ya muslim, dan dalam muslim itu dilarang. 


2. Agar banyak sesama muslim yang mendoakannya


Tidak perlu diperdebatkan, tapi dalam Islam memang ada larangan yang mengatur tentang mendoakan non muslim. Itu keyakinan saya, dan nggak perlu didikte ini itu lagi.

Karenanya, saya ingin anak saya banyak didoakan sesama muslim, karena dia dikenali sebagai muslim.
Nggak perlu jauh-jauh, saling mengucap salam "Assalamu'alaikum" saja, tentu saja itu hanya bisa dilakukan kepada sesama muslim kan.

Kalau anak saya nggak dikenali sebagai muslim, maka semakin berkuranglah orang yang mendoakannya, dan betapa meruginya dia hanya karena merahasiakan agamanya


3. Agar banyak yang mengingatkannya dalam kebaikan


Kalau orang mengenal anak sebagai muslim, tentu saja akan banyak yang bantu mengingatkan dia dalam kebaikan. Sekaligus mengajarkan anak mencintai shalat dari dukungan banyak orang.

Misal, ketika tiba waktu shalat, anak nggak kunjung shalat, akan ada orang-orang yang mengingatkan,
"Kamu nggak shalat? itu udah adzan!"
Demikian juga dalam hal kewajiban lainnya, seperti puasa, dan lainnya.

Bukan itu saja, jika orang mengenali sebagai muslim, maka akan ada orang yang mengingatkan juga ketika akan berbuat salah, baik yang disengaja maupun tidak.

Misal, yang paling mendasar itu, ketika masuk ke tempat makan yang menunya non halal.
Serius deh, kalau perempuan berjilbab mah gampang, biasanya akan ada yang langsung menegur ketika masuk.

Tapi kalau nggak dikenali sebagai muslim?
Ya udah, orang cuek aja, nggak bakal ada yang mempertanyakan mengapa dia makan makanan non halal, atau mengapa dia minum alkohol yang dilarang agama Islam?


4. Agar anak bangga terlahir sebagai muslim dan mencintai Allah karenanya


Masha Allah, apalah jadinya manusia hidup di dunia ini, kalau agama cuman dijadikan pelengkap saja?
Harus dirahasiakan seolah hal tersebut sesuatu yang tidak bisa dibanggakan?

Sementara status punya pacar dipamerkan ke mana-mana?

Secara hati nurani saja, saya udah menolak.
Karena yang paling penting buat saya adalah, bagaimana mempertanggung jawabkan amanah yang sudah Tuhan titipkan ke saya, agar nantinya dia bisa kembali tanpa banyak 'lecet' dan 'kotor'.

Bagaimana caranya?
Ya dengan agama.

Kalau anak paham agama dengan baik, serta memakai akal sehatnya dalam mengamalkan agama tersebut, insha Allah hidupnya akan baik-baik saja.

Dan saya tidak merasa, anak bisa menganggap agamanya penting, jika hal itu saja tidak boleh diketahui orang lain.

Agama memang urusan Tuhan dengan Mahluk-Nya, tapi jangan lupa.
Agama juga mengatur hubungan manusia dengan manusia, bahkan manusia dengan alam dan semua yang ada di hidup ini.

Lalu, bagaimana bisa kita mengenyampingkan agama, dan menjadikannya sebagai label diri yang harus dirahasiakan?


Penutup


Zaman sekarang memang aneh-aneh ya.
Makin modern, rasanya kok pola pikir kok, makin melampaui batas-batas yang semestinya dilakukan.

Bahkan saking modernnya, terlampau jauh ke depan mikirnya, sampai-sampai terpental jauh ke belakang, kembali ke zaman purba, masa di mana dunia masih sulit menerima agama.

Anak rajin shalat

Masa di mana dunia sangat kacau.
Masa di mana orang-orang harus sembunyi-sembunyi memeluk keyakinannya.

Sekarang, setelah semua diberikan kebebasan, malah minta dikekang aja dengan merahasiakan agama, apalagi sampai dinormalisasi, duh ye.

Apapun itu, semoga kita semua, dan khususnya buat saya pribadi, bisa menjadi ibu yang bijak untuk anak-anak kita.

Karena anakanak sejatinya milik Allah, yang Dia titipkan kepada kita.
Suatu saat nanti, anak-anak akan kembali kepada-Nya, dan ketika itu jika kita tidak pandai menjaga amanah-Nya, maka anak akan kembali dengan berbagai 'kerusakan'.

Dan agama, dihadirkan Allah ke dunia, sebagai petunjuk cara selama hidup di dunia. Dan bisa 'pulang' dengan selamat serta minimal minim 'kerusakan' yang akan membuat jalan pulang jadi nyasar ke tempat yang mungkin tidak sanggup kita hadapi.

Akhir kata, menulis adalah cara saya menasihati dan menegur diri, semoga saya bisa selalu menjadi ibu yang bijak dalam mengasuh dan mendidik anak-anak.

Sidoarjo, 08 Oktober 2022

Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva dan dokumentasi WAG kakak Darrell

1 comment for "Sebagai Ibu, Saya Tolak Normalisasi Anak Merahasiakan Agamanya"