Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menantu Perempuan dalam Keluarga Suami, Seringnya Jadi Alasan untuk Disalahkan

Konten [Tampil]
Menantu Perempuan dalam Keluarga Suami

Pernah menjadi seorang menantu perempuan dalam keluarga suami, yang tentunya punya mertua dan ipar, khususnya ipar perempuan, membuat saya selalu was-was, dan bakal saya ceritakan di Parenting By Rey kali ini.

Gimana enggak ya, sering banget kita saksikan, baik di dunia nyata, di teman-teman maupun saudara, hingga dunia maya, yang sering viral di mana-mana, apalagi kalau bukan masalah mertua menantu, atau menantu dan ipar-ipar, khususnya ipar perempuan.

Nah saya, pernah punya ipar perempuan 4 orang dong, nggak kurang banyak gimana cobak? hahaha.
Khawatir? tentu saja! Ya kali si Rey yang over thinking-nya kadang parah ini, nggak merasa khawatir?

Selain over thinking, saya juga (khususnya dulu) adalah sosok wanita yang sangat sensitif, mudah banget tersinggung.
Oh ya, ketambahan beberapa kali dapat ungkapan insecure nan khawatir dari mama.

Di mana dulunya mama sering banget mengingatkan saya, untuk benar-benar teliti dalam menjalin hubungan apalagi yang serius dengan lelaki, bukan hanya melihat sosok lelakinya aja, tapi juga keluarganya.

Bukan untuk menyuruh saya cari keluarga yang kaya dan super baik sih, mama (dan juga bapak) cuman berharap saya mendapatkan keluarga suami yang mau menerima saya, yang memang bukanlah orang kaya akan harta.


Hubungan Mertua Menantu serta Menantu dan Ipar Perempuan


Kenyataannya, sampai 8 tahun menjalin hubungan pacaran, Alhamdulillah saya hanya sekali mendapatkan konflik secara langsung dengan mertua dan ipar.
Ketika itu, terjadi saat kami hendak menikah.

Tips untuk menantu perempuan

Saya kesal banget, karena dipanggil ke rumah si pacar, lalu sesampainya di sana, saya semacam dicecar beberapa pertanyaan yang bikin saya baper.

Yang ngasih pertanyaan itu, calon bapak mertua sih.
Dan percayalah, itu bukan sepenuhnya salah si calon bapak mertua, melainkan kesalahan si pacar dan juga saya sendiri.

Si calon bapak mertua sih cuman ngajukan pertanyaan biasa, namun terdengar tidak biasa di telingan wanita sensitif dan mengutamakan 'keadilan' dulunya.
"Gimana Rey? kamu siap nggak menikah dengan Si Anu? bisa nggak kamu membahagiakan Si Anu?"
Pertanyaan tersebut terdengar uwow dong di telinga saya, gimana enggak?
Dalam pikiran saya, ini nggak kebalik kah?
Bukannya seharusnya ayah saya yang menanyakan hal itu kepada si Pacar?

Dalam pikiran saya dulu, seharusnya kan laki-laki yang ditanya, mampu nggak membahagiakan istrinya?

Saya kesal dong, terlebih sebenarnya kami udah punya semacam perjanjian tidak tertulis dengan si pacar, di mana karena jarak dan sifat si pacar yang kurang punya inisiatif kenal keluarga saya, terutama orang tua saya.

Saya akhirnya menerima sikapnya tersebut, tapi....
Konsekwensinya, kami hanya akan berjuang di keluarga masing-masing.

Saya memperjuangkan si pacar agar orang tua saya mau menerima dan memaklumi, si pacar yang dulunya nggak punya pekerjaan tetap apalagi modal yang mapan.

Dan si pacar harus memperjuangkan saya di keluarganya, baik mungkin ada satu atau lebih hal yang keluarganya kurang atau nggak suka dari saya.

Kenyataannya saya juga harus berjuang di keluarganya (iya, dalam pikiran si Rey super sensitif dulu kayak gitu).
Intinya, gara-gara itu, saya berselisih karena calon bapak mertua dan salah satu kakak ipar cewek juga ikutan bikin saya tersinggung ketika itu.

Kedua kali konflik, ketika setelah 5 tahun pernikahan, kami punya masalah besar tentang ketidak jujuran masalah uang dari suami.
Masalah itu, semakin besar karena bukannya fokus menyelesaikan masalah, malah suami menambah masalah dengan sibuk menjalin hubungan dengan wanita lain.

Masalah itu melibatkan mertua lagi, dan itu kali kedua saya kecewa dan bahkan sakit hati kepada kedua mertua, di mana mereka seolah menganggap sikap anaknya itu adalah hal yang biasa.

Namun, akhirnya masalah bisa terselesaikan, meski jujur agak sulit menghapusnya dari hati, karena ini masalahnya dalem banget dah.

Dan ketika kalinya, terjadi beberapa tahun lalu, tapi nggak konflik secara langsung sih, cuman tersinggung aja karena sang ibu mertua berwajah masam dan tidak menyapa saya ketika berkunjung.

Selain itu, Alhamdulillah hubungan saya baik-baik saja, dalam maksud baik adalah minim konflik secara langsung.
Karena saya juga jarang bertemu mereka sih ya.
Dan Alhamdulillah juga keluarga suami dulu, masih bisa menghargai perasaan orang lain, di mana meski mereka mungkin kurang suka dengan saya, tapi nggak pernah terang-terangan ditunjukan secara langsung, selain 3 kali konflik langsung di depan mata di atas.

Apakah saya beruntung punya keluarga suami yang baik?
Mungkin ya, tapi entah mengapa ya, dalam hati saya sulit mempercayai, kalau saya itu beruntung punya keluarga suami yang tulus.

Entah mengapa di hati saya, selalu berkata kalau sebenarnya saya tidak sebegitu penting buat mereka, dan sedihnya lagi, saya justru dianggap beban bagi suami.


Menantu Perempuan, Selalu Disalahkan Atas Beban dan Ketidaksuksesan Suami


Salah satu yang mengganggu perasaan saya adalah, entah mengapa hati saya selalu merasa kalau keluarga suami itu, baik mertua maupun ipar-ipar, seolah menyalahkan saya atas ketidak suksesan anak/saudaranya.

Menantu perempuan selalu salah

Ini pertama kali saya rasakan ketika belum nikah sebenarnya, meskipun saya nggak terlalu ngeh.
Ketika itu, sang pacar yang sebenarnya kakak kelas saya di kampus, malah belum lulus-lulus.
Justru saya yang lebih dulu lulus dan wisuda, padahal ya saya adik kelasnya 1 angkatan.

Sekilas, saya merasa bapaknya menuduh saya atas keterlambatan anaknya wisuda, padahal ya pada akhirnya si pacar kemudian bisa wisuda, setelah 2 kali sidang skripsi, which is skripsinya pun, saya yang susun dan kerjain, serta saya pula yang ngajarin dia sebelum sidang skripsi.

Setelah menikah, dan 5 tahun berlalu, si suami nggak juga bisa cemerlang dalam karirnya.
Bahkan malah mengalami kemunduran yang paling parah, yaitu terjebat hutang yang buat saya itu gede banget, dan sedihnya saya nggak tahu apa-apa tentang hutang itu.

Udah deh, meski penyampaiannya sedikit baik, tapi jujur saya sedih dan tersinggung, ketika dianggap boros megang duit, suka bersenang-senang aja.
Suka jalan-jalan dan sebagainya.

Padahal ya, meski dulunya saya suka bersenang-senang, jalan-jalan dan sebagainya.
Toh uang yang dipergunakan ya uang yang saya hasilkan, baik ketika saya masih kerja kantoran, sampai akhirnya jadi ibu rumah tangga dan hidup dari uang pesangon serta uang pemberian orang tua dan keluarga saya.

Karena merasa tersinggung, meski sakit hati karena ketika itu, si suami malah asyik curhat-curhat dan sibuk mengejar-ngejar wanita lain untuk bisa ketemuan, tapi saya tetap turun tangan, kembali kerja kantoran untuk membayar hutang-hutang tersebut.

Alhamdulillah, setahun kemudian semua hutang dari berbagai sumber itu lunas, masha Allah.
Meskipun masih ada beberapa hutang di keluarganya, tapi saya udah menyerah dan membiarkan suami sendiri yang menyelesaikannya, toh yang paling gede udah terselesaikan.

Apakah tanggapan mertua dan ipar-ipar akan hal itu?
Oh tentu biasa aja, jangankan muji atau semacamnya, diakui saja enggak, hahaha.

Tapi saya tetap memaksa pikiran saya, kalau hal itu mungkin nggak perlu dan nggak penting juga saya harapkan.

Sampai akhirnya anak kedua lahir, suami mulai bingung mencari kerjaan, karena memang dia nggak pernah bisa mendapatkan kerjaan tetap, alias dia selalu menolak hal-hal yang dimulai dari bawah, selalu pengennya kerja di proyek, padahal ya kerja di proyek itu cuman kontrak proyek, selama proyek berlangsung.

Kadang cuman setahun. bahkan ada yang cuman beberapa bulan.
Setelah itu? ya nganggur lagi.

Kebayang nggak sih gimana kacaunya keuangan, karena pemasukan nggak pernah naik, yang ada tersendat mulu.

Keadaan makin parah, ketika suami mulai egois dan memaksa untuk mengatur gajinya sendiri.
Mulai saat itulah, udah nggak pernah lagi ada kedamaian dalam keluarga kami.

Hal itu dipicu, karena suami memang tidak pandai mengatur uang, dan cara mengaturnya itu ekstrim, sampai-sampai mengorbankan kebutuhan pokok kayak makan anak-anak.

Dan sepertinya, mulai saat itulah, tak pernah lagi kami merasakan yang namanya rezeki yang cukup, selalu tersendat, dan membuat saya turun tangan cari uang juga dari rumah dengan ngoyoh.

Dan di tengah keadaan tersebut, saya tetap merasakan kalau sayalah yang disalahkan oleh mertua dan ipar-ipar.
Saya yang maunya hidup mewah, saya yang memaksakan kehendak harus sesuai keinginan saya.

Dan, semua itu awalnya hanya ada di dalam perasaan saya aja, lama-lama akhirnya terlontar juga dari perkataan mereka, meskipun melalui chat.

Iya, kenyataannya apa yang mengusik pikiran saya selama ini, ternyata bukannya tidak beralasan.
Perasaan saya emang nggak salah, kenyataannya hampir semua keluarga suami masih dan terus menyalahkan dan menuduh saya sebagai penyebab kesialan dan ketidak suksesan anak/saudaranya.

Dan saya, tentu saja sakit hati banget, karena apa yang mereka tuduhkan itu sangat berlawanan dengan fakta yang ada.

Kenyatannya, yang namanya berumah tangga kan memang tak akan pernah lepas dari masalah ekonomi, tapi dulunya ketika suami masih mau bekerja sama dengan saya, masih menghargai saya sebagai partner hidup.

Semua masalah keuangan terjadi, karena tidak adanya lagi komunikasi 2 arah tentang keuangan.
Saya udah nggak pernah lagi dilibatkan dalam keuangan, sehingga yang terjadi keuangan makin kacau balau, dan dia semakin pusing sendiri, sementara akhirnya semua tagihan numpuk menjadi satu.

Sayapun menjadi korban nyata dari semua sikap tidak bertanggung jawabnya tersebut, karena makin hari, dia makin tidak mau memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya, masih ada sih peran dia dalam beberapa kebutuhan anak, tapi ya sesukanya, dan seringnya jauh dari kebutuhan anak yang memang dibutuhkan.

Bahkan, dari yang awalnya saya hanya harus membantu pengeluaran makanan dan kebutuhan primer anak kayak baju dan semacamnya, lama-lama merambat ke menanggung sekolah anak, hiks.

Sedihnya lagi, semua itu saya lakukan tanpa bisa meninggalkan anak, bahkan mengurus anak seorang diri, karena dia lebih memilih kerja di luar Jawa, namun hasilnya makin hari makin dikekep sendiri, huhuhu.

Dan kebayang nggak sih, bagaimana sakit hatinya saya, ketika dituduh sebagai beban dan penyebab ketidak suksesan dia?
Sementara saya sejak menikah sudha membiayai diri sendiri, bahkan membantu kewajibannya sebagai kepala rumah tangga?

Saya yang dari harus membiayai semua kebutuhan pribadi sendiri, sampai harus membiayai anak-anak yang seharusnya menjadi kewajibannya, lalu dituduh sebagai beban?
Itu sakit banget tau nggak sih! hiks.


Tips Agar Berkurang Sakit Hati Karena Disalahkan Atas Beban dan Ketidaksuksesan Suami


Dari pengalaman saya tersebut rasa-rasanya sudah cukup untuk memberikan sebuah kesimpulan tips, agar menjadi menantu perempuan yang tidak terlalu sakit hati akan sikap keluarga suami, baik itu mertua maupun ipar-ipar.

Menantu mertua

Yaitu:


1. Jangan pernah menganggap keluarga suami seperti keluarga kandung sendiri


Iya, bener tuh, saya nggak salah tulis, hahaha.
Sama dengan prespektif saya di tulisan terdahulu, bahwa jangan menganggap ibu mertua sebagai ibu kandung kita.

Karena keluarga suami tentu saja beda dengan keluarga kita, baik kebiasaan, gaya hidup, dan segalanya.
Karenanya, jika kita menganggap seperti keluarga kandung, yang kita berekspektasi lebih, dan menginginkan keluarga suami seperti keluarga kandung, dan memperlakukan kita layaknya saudara atau keluarga kandung.


2. Turunkan ekspektasi, menantu jarang bisa menjadi seperti anak kandung 


Berkaitan dengan poin di atas, di mana kita menganggap keluarga suami sama dengan keluarga kandung, jadinya kita berharap dan berekspektasi bakal diperlakukan sama dengan saudara kandung kita.

Ternyata, sulit sis!

Nyatanya, anak kandung tak akan pernah tergantikan oleh menantu, sebaik apapun menantu, terlebih kalau kebaikan menantu tidak pernah disadari oleh keluarga suami.

Jadi, ketika berseteru dengan suami, kita memilih mengadu atau curhat ke keluarga suami dan berharap akan diperlakukan dengan adil layaknya anak atau saudara kandung?

Tidak sis bestieh!

Kenyataannya, anak atau saudara kandungnya akan selalu terlihat benar di mata keluarga suami, dan kita sebagai pendatang akan selalu salah dan wajib bertanggung jawab atas kesalahan itu, huhuhu.

Meskipun mungkin ada satu dua menantu yang beruntung diperlakukan dengan adil, tapi amat sangat jarang dong.


3. Jaga jarak adalah yang terbaik


Ini mungkin akan sulit jika menantu terpaksa atau dipaksa tinggal di rumah mertua.
Tapi, kalaupun terpaksa tinggal di rumah mertua, cobalah untuk menjaga jarak, tidak terlalu berharap kepada keluarga suami meskipun serumah.

Batasi ikut campur dalam urusan keluarga suami, dan berlakulah sopan selayaknya orang lain yang numpang.
Kalau perlu, jangan keenakan numpang, tapi cobalah untuk memperlakukan diri, layaknya orang ngontrak, yaitu belanja juga untuk kebutuhan makan, dan ikut bayar tagihan utama kayak air maupun listrik.

  

Penutup


Pada dasarnya, keluarga suami memang hampir sama dengan keluarga kandung, namun sebaiknya jangan terlalu berekpektasi lebih akan diperlakukan sama dengan keluarga kandung.

Karena sebaik apapun keluarga suami, mereka juga manusia biasa yang punya pemikiran sendiri, yang punya naluri melindungi keluarga kandung ketimbang siapapun, termasuk menantu atau ipar.

So, belajarlah untuk bisa menempatkan diri dengan baik, dan jika memang suami tidak bisa diharapkan membela kita di depan keluarganya, sebaiknya paksakan diri untuk bisa mandiri finansial.

Karena itu kunci dari semua permasalahan sakit hati dengan suami dan keluarga suami, karena menantu perempuan dalam keluarga suami, seringnya dan selalu jadi alasan untuk disalahkan atas apapun.

Sidoarjo, 19 Agustus 2022


Sumber: pengalaman dan opini pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

2 comments for "Menantu Perempuan dalam Keluarga Suami, Seringnya Jadi Alasan untuk Disalahkan "

  1. Rey, ikut sedih bacanya 😔... Udah lama ngikutin kejadian kamu ini, dan pastinya gemes juga sedih . Tapi aku tau ga baik berkomentar kalo memang ga diminta utk hak2 sensitif. Yg sabar dan tetep kuat yaaa 🤗.. Rey mah dari dulu ulet orangnya, jadi aku yakin bisa sih utk hidup mandiri dan pasti survive.

    Menantu dan mertua memang kisah yg banyak bgt dramanya yaaa.

    Walopun aku mungkin dibilang beruntung dapat mertua yg sangat open minded dan beneer2 baik. Jujurnya, aku lebih Deket dengan mereka drpd ortu sendiri.

    Makanya pas mama papa mertua meninggal, itu pukulan banget buat kami 😔.ga ada lagi temenku kulineran yg paling semangat kayak mama, ga ada temen buat road trip yg seasyik papa. Ah sedih pokoknya... Krn ortuku sendiri ga bisa sedeket itu Ama anak2. Mungkin Krn hubungan kami dr kecil udh kayak sistem militer 🤣🤣. Yg ada takuuut bikin salah😄

    Tetep semangat ya Rey... 💃. Buktikan ke mereka kalo kamu selalu bisa survive.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah kita bisa cari duit sendiri ya, ananda Rey. Coba tatkala suami lagi nganggur, atau berulah. Kita nadah tangan ke mertua. Habislah kita dipersalah dan diremehkannya.

    ReplyDelete