Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perempuan Tetap Merdeka, Meski Menikah dan Punya Anak

Konten [Tampil]
perempuan merdeka

Parenting By Rey - Saya sering banget menasihati si Kakak, tentang bagaimana sebaiknya bersikap, sebagai laki-laki di zaman sekarang.

Karena, semakin bertambah zaman, semakin banyak perempuan yang memberdayai dirinya dengan segala kebebasan dan kemerdekaan, hingga bisa jadi menimbulkan konflik dengan harga diri lelaki.

Oh bukan.
Mungkin ada yang berpikir, saya menganggap, kalau wanita yang berdaya, itu salah, karena akan melukai harga diri lelaki, dan sebaiknya wanita memang diam aja?

BIG NO!

Maksud saya, sebagaimananya open minded dan bla bla bla yang zaman sekarang semakin menguasai banyak orang, namun satu hal yang pasti, janganlah lupa dengan kontrol diri serta mental, agar tidak kebablasan, lalu semua open minded itu menyerang diri sendiri.

Gimana?
Makin bingung ya?
Sama, saya juga bingung menjelaskannya, hahaha.

Ya udah, mari kita ngobrol aja deh kalau gitu, hahaha.

Jadi, karena viral tentang childfree mencuat (lagi), karena dipicu statement Gita Savitri, saya jadi penasaran dengan statement tersebut, dan berakhir dengan sibuk menonton beberapa video di channel Gita tersebut.

Well, seperti biasa, kebanyakan videonya sih memang bercerita tentang pemberdayaan wanita, mengungkap sisi feminis, which is hal tersebut adalah Rey banget, tapi di masa lalu sih, hahaha.


Impian Kesetaraan Gender yang Bikin Wanita jadi Keras Terhadap Dirinya


Tumbuh dari keluarga yang mana nggak seperti citra keluarga 'normal' di zaman dulu, which is kebanyakan tuh orang di masa lalu, punya citra keluarga yang ayah bekerja cari uang, ibu di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta anak-anak bahagia karenanya.

perempuan merdeka setelah menikah dan punya anak

Saya enggak dong, mama saya harus bekerja mencari uang, meski bapak saya juga bukan seorang pemalas sebenarnya, beliau justru akan uring-uringan kalau nggak ada kerjaan, dan diam di rumah aja.

Tapi memang, mungkin Allah menitipkan rezeki keluarga kami di tangan mama, jadinya mama lebih sering menghasilkan uang buat keluarga, ketimbang bapak.

Namun, bukannya merasa bangga, saya justru merasa semua itu nggak adil.
Mama saya udah lelah cari uang dengan ngantor, tapi ketika pulang, mama harus sedemikian berbaktinya kepada bapak, yang maksudnya bukan salah berbaktinya sih ya, tapi salah ke-lebay-annya.

Bapak saya memang asli Buton, lahir dan besar di Buton, di mana di sana tuh yang namanya lelaki dipuja-puja itu adalah hal yang biasa.

Laki-laki haram hukumnya masuk dapur, bahkan sekadar ke pasar membeli lauk atau apa gitu.
Oh ya, yang lebih sadis lagi tuh ya, dalam pandangan saya ke-lebay-an bapak adalah, selalu mengharapkan mama melayaninya dengan lebay.

Even gelas minum yang berada di sudut meja yang nggak sampai oleh tangannya ketika duduk, bapak memilih nyuruh mama ambilin gelas tersebut, ketimbang angkat pantatnya sebentar dari kursi agar bisa meraih gelas tersebut.

Sungguh lebay, menurut saya.

Hal itu bikin saya merekam semuanya, dan bikin otak saya jadi berpikir, bahwa dengan apa yang mama lakukan, Di mana mama yang seharusnya sebagai istri, dan wajib melayani bapak, sementara'tugas' bapak mencari uang pun tergantikan oleh mama, terus manfaat bapak itu apa?

I mean, pantaskah seorang suami meminta atau bahkan memaksa dilayani bak raja, tapi tanggung jawabnya diabaikan begitu saja?
 
Yup, begitulah awal mula pola pikir saya terbentuk, bahwa wanita itu wajib memperjuangkan kesetaraan gender, karena sebenarnya banyak perempuan yang bisa mengambil tugas lelaki, namun tidak semua lelaki tau diri, hahaha.

Dari situ juga, saya tumbuh jadi perempuan yang menjunjung tinggi feminisme, menganut impian kesetaraan gender adalah, it's a must.
Dan itu terbawa hingga saya mengenal cinta seorang lelaki, saya maunya perempuan yang mandiri itu punya 'privilege' lebih di mata lelaki.

Dan ternyata itu terbawa sampai saya menikah.
Saya nggak menuntut gimana-gimana sih ya, cuman pengennya, apa yang saya lakukan, HARUSNYA bisa dilakukan oleh suami juga.

Demikian otak saya berpikir mengartikan kesetaraan gender itu, hahaha.

Semua sih berjalan lancar, karena saya beruntung mendapatkan lelaki yang memang setia dan mencintai saya juga.

Sampai akhirnya saya menikah, dan punya anak.
Barulah saya mengerti, bahwa sebenarnya kesetaraan gender, yang dalam pikiran saya adalah harus benar-benar rata dan adil, tidak bisa selamanya seperti itu.

Bahwasanya, apa yang sudah ditetapkan Tuhan, seperti yang diajarkan dalam Al Quran itu, udah begitulah senormal-normalnya manusia diciptakan.

Di mana, lelaki dan perempuan itu, tidak akan pernah bisa disamakan gendernya, karena baik lelaki dan perempuan diciptakan dengan semua kekurangan dan kelebihannya.

Maka dari itulah, mengapa Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, karena untuk saling melengkapi kekurangan yang ada.

Atau dengan kata lain, kelebihan di satu pihak, sebenarnya bukanlah untuk jadi sebuah hal yang mengintimidasi lawan jenis, tapi digunakan untuk melengkapi apa yang kurang di lawan jenis.

Misal, perempuan yang sudah menikah dan punya anak, tidak akan mungkin bisa punya kesempatan bekerja di sebuah perusahaan, sama dengan lelaki.

Itu bukan karena adanya penekanan patriarki, tapi memang perempuan punya keterbatasan yang tidak dimiliki oleh lelaki, seperti...
Perempuan harus hamil, melahirkan, menyusui, diberi sifat keibuan yang jauh lebih peka ketimbang lelaki.

Karenanya, jika menyamakan lelaki dengan semua perempuan, itu akan berisiko menghambat perusahaan, karena sulit bagi perempuan untuk bisa fokus, kecuali memang perempuan yang khusus, belum menikah, atau juga memang punya disiplin waktu dan sikap yang tinggi, tapi jarang banget nget nget deh bisa nemu perempuan, yang berstatus ibu, seperti itu.

So, iyes
Saya sudah sampai di masa ketika menyadari bahwa kesetaraan gender itu, tidak semata harus sama semuanya, antara laki dan perempuan.
Karena nggak pernah akan sama.
  
Saya nonton satu video Gitav yang menyinggung tentang perempuan tak boleh menua dan tak cantik lagi, di mana Gita mengangkat issue kalau perempuan tuh sejak dulu semacam mengalami sebuah ketidak adilan, di mana usia produktifnya amat sangat terbatas, sehingga  tak jarang kita liat dalam sebuah film, seorang pemeran utama lelaki, dipasangkan dengan pemeran utama wanita yang beda usia puluhan tahun.

Misal, pemeran utama laki usian 50 tahun, eh dipasangkan ama pemeran utama usia 20an, sementara aktris wanita beda usia 5-6 tahun, diberi pemeran sebagai ibu.

Kalau saya mah nggak lihat itu ya, karena semua itu kan demi marketing sebuah film, ye kali orang bikin film hanya untuk idealismenya sendiri, tanpa memikirkan pasar dari film tersebut.

Namun, yang sering saya liat tuh, iklan biro jodoh, di mana laki-lakinya tuh bisa dibilang kakek-kakek semua, udah ubanan, tapi dapatnya rata-rata perempuan yang cocoknya jadi anaknya, hahaha.
Nah itu kan pilihan lebih pribadi ya, orang perempuan sendiri kok yang seringnya menciptakan hal tersebut, di mana kebanyakan perempuan muda, suka ama lelaki yang lebih tua, dengan harapan lebih mapan finansial maupun mentalnya.

Terus, kenapa menyalahkan industri film dalam memproduksi sebuah film berdasarkan pasar?

Lagian, semua itu normal-normal aja.
Memang Allah menciptakan lelaki dan perempuan itu nggak sama.
Jika lelaki masih bisa dengan mudah punya anak di usia senja, perempuan bahkan amat sangat berisiko, ketika memaksa punya anak di usia 40an.

Ya memang begitulah Allah ciptakan.
Dan saya amat sangat yakin, semua ketentuan Allah itu udah yang paling benar dan baik sejagad raya.   


Perempuan Tetap Merdeka, Meski Menikah dan Punya Anak


Kalau dibaca-baca oleh pemikiran modern, kayaknya melas banget ya pemikiran si Rey ini?
Di saat kemajuan zaman makin tak terkendali, tapi saya malah memelihara pikiran untuk mengkungkung diri sendiri, sebagai perempuan.

merdeka meski jadi ibu dan istri

Oh jangan salah.
Menurut saya, perempuan tetap bisa bebas dan merdeka loh, even mungkin keadaannya udah beda dari sebelumnya. 

Jadi, jangan sampai takut menikah dan punya anak, karena kalau dipikir-pikir, yang mengkungkung perempuan itu sebenarnya anak.

Iya, kalau pasangan mah, aneh-aneh, tinggal ke pengadilan, lalu... YOU AND I ...END!
Nah, kalau anak?
Jangankan udah merasa stres dan depresi dengan kehadirannya yang seperti mengkungkung langkah kaki perempuan?

Mau udah sekarang kesakitanpun, seorang perempuan atau ibu masih harus bangun mengurus anak-anak. Karena nggak pernah ada liburnya, nggak bisa di 'pause', dan nggak bisa dibalikin sementara ke empu-Nya, yaitu Tuhan.

Tapi, bukan berarti Tuhan ngasih anak itu untuk mengkungkung perempuan sebenarnya, karena semua hal yang ada di kehidupan kita itu, ya dikontrol oleh POLA PIKIR.

Jadi, sebenarnya memerdekakan diri sebagai perempuan yang telah menikah dan punya anak itu mudah, cukup gunakan pola pikir.

Jangan pernah memelihara pikiran, bahwa kita sebagai perempuan ya harus on the top and tampil mulu, karena ada waktunya kita untuk mundur dan melangkah ke tahapan kehidupan berikutnya.

Yup, lahir, tumbuh besar, menikmati masa kanak-kanak yang menyenangkan, menikmati masa remaja yang indah, lalu menikmati masa gadis yang semakin indah, lanjut menikmati masa kejayaan menjadi single dan happy, sampai akhirnya menikmati masa jadi istri, ibu, nenek, dan menikmati alam kubur.

Semua itu tahapan kehidupan, yang memang udah ditakdirkan.
Mau nggak mau, rela nggak rela, kita semua harus bisa move on dari semua tahapan itu, ketika memang udah sampai di ujung masa.

Ini tuh udah Allah ajarkan ke kita, sejak kita masih berbentuk janin loh.
Bayangin aja, betapa nyamannya kita di dalam rahim ibu, begitu hangat, begitu menenangkan, nggak ada yang harus kita takutkan, semua kebutuhan kita dipenuhi oleh ibu kita.

Tapi, saat kita masih merasakan kenyamanan itu, lalu tiba waktunya usia 9 bulan, mau nggak mau, sudi nggak sudi, ya memang kita harus move on dari rahim yang super nyaman itu.
Harus mau beradaptasi dengan dunia yang dingin, yang nggak senyaman rahim ibu.

Demikian juga, ketika kita masih menikmati indahnya jadi bayi, apa-apa tinggal nangis doang, hahaha.
Lalu asyiknya dunia toodler, di mana semua hal baru adalah surga buat kita.
Ketika masa toodler berlalu, mau nggak mau, kita wajib move on

Pindah ke masa berikutnya, mengikuti apa yang seharusnya dilakukan di masa itu.
Sampai Allah bilang, kalau stop.
Waktunya pulang.

Mau nggak mau, suka nggak suka, siap nggak siap, kalau udah waktunya, ya pulang deh ke sisi-Nya, kembali.

Lalu, bagaimana bisa kita merasa menikah dan punya anak itu adalah sesuatu hal yang mengkungkung?
Karena kita nggak bisa lagi sebebas masa single?

Ya memang nggak bisa bebas kayak single lagi, karena saat ini kita udah seharusnya move on dan beradaptasi serta menikmati masa bebas jadi istri dan ibu.

Iya, kita semua, para istri dan ibu masih bisa bebas kok.
Dengan cara menikmati tahapan yang kita jalanin sekarang, yang pastinya beda ama tahapan sebelumnya.

Meskipun beda, tapi semua tahapan ada kok hal-hal menyenangkan, serta kebebasan dan kemerdekaannya.

Misal, kalau sebelumnya kita single, kita nggak bisa merasakan bagaimana indahnya memadu kasih seperti hubungan suami istri dengan halal.
Meski mungkin banyak yang merasakan hal itu tanpa adanya ikatan pernikahan, namun sesuatu yang halal di mata Tuhan itu selalu baik dong, dibanding dengan sesuatu yang dilarang Tuhan.

Lalu, ketika kita single cuman bisa gemes liat anaknya orang.
Setelah jadi ibu, kita bsisa puas-puasin deh gemesin anak sendiri, tanpa perlu takut dimarah ibunya tuh bayi, hahaha.

Lalu, menikmati perjalanan sebagai ibu, itu sungguh menyenangkan loh, kalau kita memang benar-benar menyadari, bahwa masa kita nih sekarang di sini, bukan lagi di sana atau ketika masih single.

Nggak ada bedanya, dengan masa-masa yang kita lalui sejak dalam kandungan, semuanya memang butuh adaptasi, namun kunci kebahagiaannya ya semua terletak dalam hal, BAGAIMANA KITA MENIKMATI MASA-MASA TERSEBUT.

Karena percayalah, tidak semua orang yang masih single akan sebahagia yang kita bayangkan.
Selama orang ketika single, nggak bisa menikmati masa tersebut, malah sibuk mikirin hal lain, misal mikirin jodoh nggak muncul-muncul, yang ada mau ada di masa apapun, kita tetap terpenjara.

Dan bukan anak maupun suami yang memenjarakan kita.
TAPI PIKIRAN KITA SENDIRI.  

Well, memang sih nggak udah memahami pemikiran seperti ini, bahkan saya menulis inipun untuk mengingatkan diri saya, atas perjalanan hidup saya sampai di tahap ini, di mana saya menyadari, memang manusia itu ada masanya, kita hidup di dunia, di mana ini semua sementara.

Mau nggak mau, sudi nggak sudi.
Kita harus move on ke tahapan-tahapan berikutnya.
Lalu adaptasi dan menikmati masa tersebut.

Jadi, kita masih tetap bisa jadi perempuan merdeka, meski ada di tahapan manapun.
Meski ada anak dan suami.
Meski waktunya habis buat urus anak dan suami.

Karena itulah hidup, dan mengurus anak dan suami, adalah suatu tahapan yang kita harus lalui, sesuai dengan kodrat-Nya.

Demikianlah...
Mari kita merdekakan diri kita, sebagai perempuan yang selalu merdeka, di tahap manapun kita berada, termasuk ketika menikah dan punya anak.

How about you, Parents?

Sidoarjo, 27 November 2021

Sumber: pengalaman diri
Gambar: Canva edit by Rey

Post a Comment for "Perempuan Tetap Merdeka, Meski Menikah dan Punya Anak"