Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menikah Adalah Ibadah, Bukan Semata Untuk Mencari Kebahagiaan

Konten [Tampil]
Menikah adalah

Parenting By Rey - Kalau sudah nggak ada kebahagiaan yang dirasakan dalam sebuah pernikahan, mengapa nggak cerai saja sih? Rezeki itu ada di mana saja, jangan pernah takut bercerai hanya karena takut nggak bisa makan.

Sering ya dengar kalimat demikian, seolah lupa bahwa menikah adalah sebuah ibadah, yang tentu saja bukan semata untuk mencari kebahagiaan.

Dan lagi pula, kata siapa hidup hanya butuh makan doang?
Nggak butuh ayah, ibu atau keluarga lengkap, yang berjuang untuk hidup lebih baik lagi?
Setidaknya kalau kita bisa melihat dari POV (point of view) anak-anak sih ya.

Dan oh ya, lagi-lagi sebelumnya saya mau notice lagi tentang disclaimer blog ini, sebenarnya ada sih di menu header dan footer blog, tapi biasanya jarang yang ngeh
bahwa semua yang saya tulis di blog ini, berdasarkan pengalaman dan opini pribadi, tentu saja tidak mutlak benar dan harus diikuti semua orang.
Karena setiap orang tuh kondisinya beda-beda, dan apa yang saya tulis di sini tuh berdasarkan kondisi saya.

Mungkin karena saya memang dididik untuk selalu wajib berjuang demi sebuah tujuan awal, jadinya sulit untuk mengubah karakter yang telah tertanam sejak kecil itu.

So, ketika saya berada di masalah pelik sebuah pernikahan, alih-alih mau keluar begitu saja dan meninggalkan sebuah masalah, yang ada saya justru semakin tertantang untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dan itulah yang terjadi, ketika saya nyaris menyerah dengan masalah rumah tangga, dan nyaris semua orang menyarankan agar bercerai, tapi saya justru masih mau bertahan.
Cinta buta Rey?
Nggak juga sih ya.
Apalagi kalau bukan alasan klasik soal anak.

Seandainya, nggak ada anak, saya pasti akan dengan segera melenggang keluar, karena memang nggak ada alasan kan ya buat bertahan, kecuali memang hati berkata untuk bertahan.

Iya, si Rey memang selalu hidup mengikuti kata hati, tapi bukan berarti dia buta hati.
Dia juga terlatih mengkombinasikan antara hati dan logika.

Itulah mengapa, saya pernah 2 kali sedemikian jatuh cintanya kepada lelaki, semua orang bilang saya cinta buta, udah kayak nggak ada lelaki lain aja di dunia ini.
Padahal ya, saya cuman mempersilahkan hati saya menikmati rasanya jatuh cinta, kalau mau diterusin dan menikah, ohhh maap maap ajah, untuk itu saya lebih mengedepankan logika ketimbang perasaan, setidaknya mix antara keduanya sama besar.

Mungkin itu kali ya alasannya, mengapa saya nggak mengikuti semua nasihat kebanyakan orang-orang terdekat bahkan terjauh saya, hahaha.


Mengatur Pola Pikir tentang Menikah adalah Ibadah


Di lain semua karakter saya, yang seringnya semacam bermain-main dengan semua rasa depresi, karena seolah mengabaikan alarm depresi dengan tetap berjuang meski terasa berat.

nikah adalah

Saya juga punya sebuah solusi yang terpikirkan dari semua masalah saya, apalagi kalau bukan cara paling mudah, yaitu... mengatur pola pikir

Iya, alih-alih sibuk berjuang ini itu, agar suami bisa lebih paham, yang nyatanya bukannya paham, malah semakin gila, hahaha.

Ya lebih mudah memang mengubah diri sendiri, dengan cara mengatur pola pikir sendiri.
Salah satunya dengan meyakini, bahwa memang menikah itu ibadah, karenanya ibadah itu ya hasilnya kebanyakan ada di kehidupan mendatang, meskipun di dunia juga pasti ada, tapi yang lebih manisnya ya di kehidupan kita yang kekal nanti.

Kenyataannya, menikah memang adalah ibadah, sebagaimana dalam Islam diajarkan bagaimana istri wajib taat kepada suami, dan itu saja dulu yang diikuti, tanpa embel-embel.
Selama suami nggak melakukan hal yang melanggar agama, ya udah belajar untuk patuh aja dulu.

Dalam kehidupan pernikahan saya, patuh pada suami sebenarnya mudah, Alhamdulillah paksu bukan tipe lelaki otoriter (ya kali saya mau menikah ama lelaki otoriter), dia cuman pengen saya percaya kalau dia bisa jadi kepala keluarga yang baik.

Saya rasa, setiap pernikahan juga punya masalah masing-masing, yang kalau dilihat di mata awam memang sepele, sayangnya kalau dialami langsung, dampaknya nggak sesepele yang diliat orang.

Karena itulah dibutuhkan kerja keras untuk mengubah diri sendiri, ketimbang mengubah suami kan, itu suliiittt banget.
Dan percaya atau enggak, mengubah diri sendiri itu, sama aja kok mengubah suami.
Karena ketika kita sudah berubah menjadi seperti yang diinginkan suami, maka hati suami akan lebih mencair, dan ketika hatinya mencair, akan lebih mudah dimasukin ketimbang saat hatinya membatu.

Jadi, itulah salah satu implementasi dari menikah adalah ibadah, berbekal perintah kepatuhan kepada suami, membuat kita wajib mengubah diri sendiri, dengan cara yang paling mudah, yaitu mengubah pola pikir, menjadikannya hal yang konsisten, sehingga lama-lama jadi terbiasa, dan suami jadi lebih melunak.

Selain itu, balik lagi dari pengertian ibadah itu sendiri.
Bukankah ibadah itu nggak ada yang ringan?
Jadi saat kita mengubah diri menjadi lebih baik.
Mendorong diri untuk patuh kepada suami, meski hati kita memberontak.

Maka pengertian akan ibadah akan muncul untuk memblokir perasaan memberontak itu.
Maksudnya, hei... ini memang nggak nyaman tapi coba bayangkan.
Ketika kita sedang bahagia nonton drakor, adzan berkumandang, menandakan waktu sholat.

Atau ketika kita sedang sibuk make up an, pas make up on, eh adzan berkumandang, sebel banget kan rasanya karena harus hapus make up buat sholat?
Itulah ibadah, selalu penuh tantangan, karena tujuannya surga.
Kalau tujuannya Tunjungan Plaza mah, tinggal naik Grab aja, kelar *loh, hahaha.


Menikah adalah bukan semata Mencari Kebahagiaan


Bahagia itu kita yang ciptakan, bukan orang lain, bukan pula pasangan atau suami kita.
Kalaupun suami membuat kita bahagia, itu adalah tambahan bahagia, bukan kunci bahagia.

tujuan nikah

Well, sekali lagi ini bukan mutlak benar, tapi tercipta dari pola pikir.
Dan saya memutuskan untuk meyakini pola pikir tersebut, biar awet muda wakakaka.

Enggak ding, i mean hidup ini hanya sementara, kalau kita nggak bisa menikmati setiap detiknya, tiba-tiba aja kita udah di ujung waktu, lalu kita sadari, kalau kita tidak banyak menikmati hidup, saking kita repot amat mencari kebahagiaan dari orang lain. 

Daripada sibuk berharap baru bisa bahagia, kalau suami jadi kayak pangeran romantis berkuda dengan istana megah dan harta segabruk.
Ya mending, atur pola pikir bahwa suami kita ya pangeran kita, hahaha.

Dan memang menikah bukanlah semata mencari kebahagiaan, tapi menyempurnakan kebahagiaan.
Jadi, saat bahagianya terasa belum sempurna, ya nggak bakal mengurangi rasa bahagia yang sudah ada kan.
Dan kita tetap bahagia menjalani hidup, kulit wajahpun jadi awet muda (awet muda terooosss, hahahaha).

Etapi beneran loh, salah satu booster saya dalam membentuk pola pikir, ya karena berpikir dengan mengubah pola pikir jadi lebih sederhana, saya akan merasa lebih tenang, saya tenang, lebih banyak waktu buat pakai skincare segabruk *astagaaa...

Salah ding, kalau kita bahagia, pikiran yang over atau berlebihan tuh nggak bakal mempengaruhi hidup kita.
Bisa tidur nyenyak, dan tidur nyenyak kan membantu menyeimbangkan kesehatan tubuh dan kulit.
Makan juga lebih teratur, dan yang pasti lebih merasa terberkahi setiap harinya.    

Iya, i know, semua itu nggak mudah, sayapun sampai saat ini masih setia rajin ngajak ngobrol diri sendiri, ketika perasaan nggak nyaman menyeruak dan mengurangi rasa tentram dan bahagia saya.
Seketika saya akan cuci piring atau masak, sambil ngobrol sendiri macam orang ada temennya.

Intinya sih semacam mengobrol kepada sosok masa kecil saya, karena kalau dipikir-pikir, apa yang saya permasalahkan sekarang ini, bersumber dari pengalaman masa kecil saya yang selalu dituntut jadi anak sempurna, dalam ketidak sempurnaan kondisi dan orang tua.

Jadi, hal itu membuat saya memberikan tekanan kepada suami, bahwa bisa nggak bisa ya harus bisa.
Suami yang tidak terbiasa dengan pola hidup demikian, tentu saja tertekan.
Dan bahkan suami yang kayak malaikat, jadi setan juga kalau ditekan melulu.

So, begitulah..
Bagi saya sekarang, menikah adalah ibadah.
Wajar kalau ada hal-hal yang terasa memberatkan.
Dan bagi saya menikah adalah bukan semata mencari kebahagiaan.
Karena bahagia itu adalah jalan hidup, bukan tujuan.
Dan bahagia kita yang ciptakan, bukan tanggung jawab pasangan kita.

Etdaahh bijak banget ya si Rey?
Padahal mah sebenarnya masih dalam tahapan memperkuat pola pikir aja sih.
Namun, baru juga memperkuat, hasilnya udah keliatan sih ya.
Alhamdulillah kehidupan saya sekarang, udah jauh lebih baik dari beberapa bulan sebelumnya.

Dan tentu saja, semua itu tidak akan terjadi, jika tanpa campur tangan Allah.

How about you, Parents?
Apakah menikah adalah ibadah dan menikah adalah bukan semata mencari kebahagiaan?

Oh ya, artikel tema marriage ini merupakan pindahan dari blog utama saya di #FridayMarriage Sharing By Rey, untuk cerita saya ketika sedang mengalami masalah rumah tangga, bagaimana saya bertahan dan menyikapinya, rasa depresi dan sebagainya, bisa di lihat di sana ya.
 
Sidoarjo, 15 Oktober 2021


Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey

Post a Comment for "Menikah Adalah Ibadah, Bukan Semata Untuk Mencari Kebahagiaan"