Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengapa nggak Cerai jika Nggak Bahagia?

Konten [Tampil]
Alasan mengapa nggak cerai aja?

Parenting By Rey - Salah satu resiko berani buka masalah pribadi di ranah umum, adalah menghadapi berbagai macam reaksi netizen.

Lucky me, Alhamdulillah lingkar pertemanan saya tuh mostly baik-baik semua.
Kebanyakan orang-orang yang sudah sering berkecimpung dalam dunia online, jadinya lebih bijak.

Meskipun demikian, ada juga satu dua reaksi yang sedikit berbeda, yang kadang memang sedikit sensitif, khususnya bagi dunia ramah tamah online zaman sekarang.

Akan tetapi, sekali lagi, mungkin karena udah sering berkecimpung di dunia tersebut, rasa baper saya udah semakin terlatih, palingan ya bocor-bocor dikit doang.

Dan salah satu pertanyaan yang beberapa kali saya dapatkan adalah,
"Mbak Rey, mengapa nggak cerai aja sih?"
Wajar sih ya, itu karena cerita yang sering saya bagikan adalah kisah ngenes semua, hahaha.
Mirip-mirip cerita di grup facebook KBM atau sinetron di Indosiar, meski menurut saya sih nggak juga ngenes kek gitu, karena meski saya ngenes dalam hubungan dengan pasangan, tapi saya beruntung banget punya banyak sahabat yang selalu care penuh kepada saya.
"Beware, ini tulisan curhatan, mungkin dikategorikan aib, kalau nggak kuat iman, segera di skip deh :)"


Toxic Marriage


Iya, saya rasa sepertinya memang saya menjalani toxic marriage.
Bukan karena semata pasangan yang toxic, mungkin juga saya adalah toxic bagi pasangan.

Tapi memang, setelah bertahun-tahun sering pisah, karena papinya anak-anak lebih memilih menginap di tempat kerjanya ketimbang pulang berkumpul dengan anak-anaknya, meskipun jarak kerjanya masih manusiawi ditempuh dan nggak semacet Jakarta.

Lama-kelamaan, saya merasa kalau hidup saya tanpa pasangan itu jauh lebih tenang, saya bisa lebih disiplin, bisa lebih dekat ke Allah, mungkin karena hati tenang kali ya.

Dan saya rasa, papinya anak-anak juga demikian, makanya dia betah bahkan di hari liburpun tak jarang dia malas pulang, karena di rumah akan menunggu anak-anak yang rewel, nggak nurut dikasih tahu, dan juga kewajiban sebagai orang tua lainnya.

Sejujurnya, saya udah berada di kondisi, saya nggak peduli dia mau pulang atau enggak.
Hanya saja, satu-satunya masalah saya adalah..
I need a rest!

Iya, yang hidupnya tanpa keluarga seperti saya pasti tahu banget persisnya, bagaimana kehidupan mengasuh 2 orang anak, yang masih kecil, laki, kebanyakan tingkah.
Sementara saya masih harus mencari uang, untuk saya dan anak-anak.

Saya tak perlu menjelaskan panjang lebar gimana jadinya, jawabannya ada pada saya akhirnya ambruk, sakit sampai nggak bisa bergerak sama sekali.
Karena saya lelah lahir batin.

Saya tak pernah tidur cukup, dan sepertinya udah kurang lebih 2 tahunan.
Malam saya begadang, seringnya sampai pagi, paginya si kakak harus sekolah online, dan jika adiknya bangun, saya nggak boleh tidur dulu, agar tidak kacau.

Ah, pokoknya hidup saya lelah banget.
Dan saya merindukan partner buat saling bantu mengasuh anak.
Karena, bukankah mengasuh anak itu bukan semata tugas ibu ya?
Apalagi kalau ibu juga sama-sama harus cari uang untuk kebutuhan rumah.

Di situlah letak toxic-nya.
Sering banget saya kelelahan, dan papinya anak-anak nggak pulang-pulang, nggak kirim uang pula.
Kalau saya protes, dia hanya akan bilang, kan ada bahan di kulkas, saya aja yang malas masak.

Iya, dia masih kadang belanja ke pasar, jika pulang.
Meski seringnya hari 3 atau 4 hari ya udah habis, sisanya terpaksa mengandalkan uang dari hasil kerja saya, karena mengharap dari dia, sama aja dengan membiarkan anak-anak kelaparan dulu, menunggu dia bisa kirimin duit.

That's why, sesulit apapun kondisinya, mencari uang buat saya adalah wajib.
Meski harus mengorbankan waktu istrahat saya, dan ketika saya sakit kena marah lagi, katanya saya nggak mau istrahat.

Siapa coba yang nggak mau tidur ya?
Andai saya bersuamikan lelaki yang punya tanggung jawab penuh.

Masalah-masalah tersebut yang menjadi toxic buat rumah tangga kami.
Papinya anak-anak, bahkan semua keluarganya menganggap, bahwa masalah kami adalah uang.
Padahal ya menurut saya bukan!

Bagaimana bisa masalah kami adalah uang, sementara saya menikah dengan dia dalam keadaan dia berada di minus?
Bukan nol, tapi minus, iya, nggak salah baca.

Bagi saya, tak masalah suami belum bisa mencari uang dengan benar, saya paham kok bagaimana kelebihan dan kekurangannya.
Karenanya, sebelum menikahpun, saya udah tahu konsekwensinya, kalau saya menikah dengannya, saya harus kerja keras, karena tidak bisa berharap sepenuhnya padanya.

Namun, yang saya perjuangkan, mengapa tetap memilih lelaki dengan kemampuan maupun kehidupan yang seperti itu, karena dulu dia benar-benar melengkapi saya, dia selalu bisa menghadirkan rasa cukup di hati saya, dengan semua tindakan dan keputusannya, yang selalu mengutamakan saya.

Iya, masalah terbesar buat saya adalah, saya harus dituntut mencintai semuanya, sementara tangki cinta saya, sangat kosong melompong.
Hasilnya, saya lelah jiwanya, dan itu sangat membebani raga saya dalam membantunya mencari uang.

Padahal, tanpa dibebani jiwa, raga saya udah nggak karuan, you know lah ya, di usia segini, sudah waktunya mencintai istrahat.

Itu mengapa, dia selalu sehat, meskipun dia juga kadang begadang, merokok tanpa henti, dan makan kurang sehat.
Karena dia masih punya waktu istrahat yang benar-benar berkualitas.

Sementara saya?
Ya bayangkan saja sendiri.

Jadinya? hubungan dalam berumah tangga terasa bagaikan racun, di mana seharusnya seorang istri bisa menjadi pelepas lelah seorang suami, yang ada saya (mungkin) terlihat oleh pasangan sebagai sosok yang tidak menyenangkan, selalu mengeluh tentang uang dan pekerjaan rumah yang tak pernah memberikan saya waktu buat istrahat.

Sementara saya, hanya butuh didengarkan, ditenangkan, dan dipeluk.
Ooooo em jiii... saya sangat haus pelukan seseorang, just hug, yang menenangkan.

Semua itu sudah cukup untuk mengisi tangki kosong di hati saya, dan semua tantangan bisa saya lalui dengan baik.

Tapi memang, hal itu memang terlalu sulit dilakukan oleh pasangan yang dulu saya perjuangkan, dengan mengorbankan semuanya.
Termasuk jalan kembali.

Lalu, jadilah terjebak dalam toxic marriage.


Mengapa Nggak Cerai aja sih?


Iya, yang namanya racun, manalah bisa menyehatkan, yang ada bikin sakit mulu.
Sedihnya lagi, saya adalah tipe orang yang sering kesulitan dalam berbagi langsung pada orang lain, even saya kenal.

Namun, memendamnya sendiri, bikin saya juga serasa ingin meledak.
Karenanya, saya lebih memilih untuk menulis.
Meskipun, jadinya kudu punya cadangan mental dalam menghadapi semua reaksi dari pembaca.

Salah satunya, menghadapi pertanyaan.
"Mengapa nggak cerai aja sih, Mbak?"
Jawabannya panjang sih, biasanya saya cuman menjawab seadanya, bahwa nanti pada saatnya.
Tapi seringnya terus dikejar dengan pertanyaan yang sama, dan saya berpikir, daripada capek jawabin satu-satu, mending saya tulis di sini saja.

Terlebih, saya sempat membaca sebuah tulisan, yang memang sih mungkin nggak ditujukan ke saya, itu hanya sebuah tulisan dari orang yang masih memendam kemarahan dalam dirinya, sehingga tanpa dia sadari, tulisannya malah ikut menyakiti hati orang yang membacanya.

Tulisan tersebut mengatakan, bahwa dia tidak merasa rendah hanya karena dia memilih berpisah dengan lelaki toxic.
Justru yang rendah adalah, wanita-wanita yang masih bertahan dengan berbagai alasan, meski pernikahannya bagai neraka.

Uwowww..
Tapi udahlah, istigfar aja, toh dia nggak nunjuk saya langsung sih.

Namun, saya pengen memberikan alasan, mengapa saya nggak cerai aja, biar teman-teman yang penasaran sedikit terobati rasa penasarannya, hehehe.

Dan tentu saja, ini memang berisi alasan, sila di skip kalau memang menganggap, no excuse.


1. Karena masih berjodoh


Iya kan, manalah mungkin saya masih di sini, kalau memang saya udah nggak berjodoh lagi dengan pasangan saya.
Kalau ini mah, mau kita jungkir balik juga tetap aja nggak bisa berpisah.

Bahkan, jangankan mau cerai, mau pergi aja, seolah semesta menghalangi.
Seperti beberapa kali saya nekat bermaksud mau pulang sejenak ke rumah ortu, dan pengennya sih nggak bawa anak, karena saya nggak punya duit cukup buat ongkos maupun biaya hidup di sana.

Eh yang ada, saya malah kena sakit saraf terjepit, yang jangankan mau pulang, mau bergerak aja sulit.
Padahal, saya udah mendapatkan rezeki sekadar membeli tiket pulang.


2. Karena saya belum mampu membiayai anak-anak seorang diri


Ini alasan utama selain kehendak yang Maha Kuasa.
Karena saya punya anak.

Mainstream, tapi mungkin memang kalau orang yang tidak berada di kondisi seperti saya, nggak bakal mengerti, dan mengatakan, bahwa alasan bertahan demi anak itu bodoh.

Tapi memang, saat ini keadaan saya sungguh tak memungkinkan untuk bisa hidup sendiri menanggung dua anak.

Iya, nasib dah kalau perempuan nggak punya kerjaan tetap, nggak punya investasi atau tabungan cukup buat hidupin sekaligus nyekolahkan anak.

Mungkin banyak yang bilang, anak-anak itu punya rezekinya masing-masing.
Iya bener, tapi rezekinya itu nggak ditaruh di depan gitu, butuh usaha keras buat ngambilin biar nyampe ke anak.

Dan bagaimana saya bisa bekerja keras berusaha mengambil rezeki tersebut, jika anak-anak nempel ke saya ibarat lem alteco, hahaha.

Saya seorang diri, baidewei.
Sementara, kalau udah cerai, otomatis saya harus mandiri semuanya.
Harus usaha tempat tinggal di mana?
Makan sih mungkin masih bisa diusahakan.
Tapi sekolah, dan kebutuhan anak lainnya?

Seharusnya memang jika bercerai, anak masih harus jadi tanggung jawab ayah beserta keluarga ayahnya.
Aturan agama dan hukum memang gitu, tapi kenyataannya, bahkan belum cerai aja, saya harus bersitegang terus, setiap kali menagih tanggung jawabnya.
Gimana kalau nanti udah nggak ada hubungan sama sekali?

Itulah mengapa, saya belum berani mengorbankan anak, alih-alih mendapatkan kebahagiaan saya, yang ada saya nggak tahu apakah saya bisa bahagia, kalau nantinya anak-anak harus kesepian, saya harus kerja, mereka entah dititipin di mana?
Entah tinggal di mana?

Nitipin ke orang tua?
Saya sungguh nggak punya muka, untuk membebani orang tua saya dengan dua orang anak.
Kalau saya sendiri yang pulang sih, it's OK,  

Tapi, dengan membawa dua orang anak, terutama satunya usia sekolah?
*Sigh.

Jadi, begini keadaan saya.

Saya memang masih punya orang tua, Alhamdulillah.
Tapi keduanya udah tua.
Untuk hidup, Alhamdulillah mama saya adalah pensiunan PNS, yang uang pensiunnya biarpun nggak seberapa, namun cukup untuk kehidupan mereka berdua.

Sewaktu menikah dan punya anak, mama saya udah bilang terus terang.
Kalau beliau nggak mau jaga cucu.
Dan ketika saya menikah dengan pilihan sendiri, serta menolak dibantuin jadi PNS di sana, mama saya udah wanti-wanti, kalau setelah menikah saya harus menanggung sendiri konsekwensinya.

Saya sendiri yang memilih menikah dengan lelaki yang belum punya kerjaan tetap, pun juga memilih nggak kerja kantoran. meski ortu berharap saya punya kerjaan nggak berharap pada suami.
That's why saya disekolahin susah payah.

Lalu, setelah semua itu, saya sungguh nggak punya muka, mau pulang membawa 2 anak ke orang tua, dan membebani mereka dengan 2 anak.

Tidak!
Cukup sudah saya bikin mereka kecewa.
Nggak akan lagi saya tambahin kekecewaannya dengan beban.

So demikianlah.

Bercerai itu mudah, tapi kalau kondisi memungkinkan, dan yang paling penting adalah, ada support sistem yang mendukung kita dengan benar-benar.
Dalam hal ini adalah keluarga.
Minimal, bisa jagain anak aja, itu udah jauh lebih ringan.

Karenanya, hanya karena ada yang bisa dengan mudah bercerai karena kondisi yang memungkinkan, sangatlah tidak bijak jika membandingkannya dengan kondisi orang lain, terlebih mengatakan orang yang belum bisa cerai itu rendahan.
Hiks.


Bercerai itu Mudah


Terlepas dari ribetnya birokrasi yang ada, sesungguhnya, bercerai itu mudah.
Namun, bukan bercerainya sejatinya yang bikin kita bahagia, namun bagaimana kita bisa melangkah ke depannya.

Alasan mengapa nggak cerai aja?

Jika memang perceraian yang kita pilih karena kita merasa tidak bahagia dengan pasangan, sebijaknya kita menanyakan, apakah memang pasangan penyebabnya?
Atau dari kita sendiri?

Jika memang dari kita sendiri, mau melangkah bersama siapapun, nggak bakal kebahagiaan bisa kita raih.
Yang ada, kita bakal melangkah sambil membawa dendam, dan terus meledak jika melihat sesuatu yang serupa dengan nasib kita, menghakimi orang yang tidak atau belum mau mengambil langkah seperti kita, padahal ya kita nggak tahu persis kondisi dan masalahnya.

Kalau saya?
Saat ini memang hanya bisa berdoa, semoga saya dan anak-anak selalu diberi kesehatan.
Dan dimampukan untuk menjadi kuat dan mandiri.

Sehingga saya bisa hidup dengan tenang bersama anak-anak, tanpa harus sakit hati kepada orang yang tidak perlu lagi saya pikirkan.

Demikianlah.

Sidoarjo, 19 Februari 2021 

23 comments for "Mengapa nggak Cerai jika Nggak Bahagia?"

  1. Semangat Mba Rey. Insyaallah anak-anak dijaga sama Allah. Kudu strong ya mba, tapi Mb Rey memang super strooooong. Sehat2 selalu dan pernikahannya bisa baik kembali mb. Amin

    ReplyDelete
  2. Halo mb Rey...aku cuma bisa mendoakan semoga pernikahan kalian sakinah mawaddah wa rahmah (= tenang, tentram, penuh cinta, harapan, dan kasih sayang)...��...
    Berkabar aja ke Mama-Papa, mohon didoakan. Doa Ibu mustajab, insyaAllah...����

    ReplyDelete
  3. Semangat mba Rey. Ada anak3 yg nanti jadi penyemangat

    ReplyDelete
  4. Semangat mba Rey. Ada anak3 yg nanti jadi penyemangat

    ReplyDelete
  5. Semangat mba Rey. Ada anak3 yg nanti jadi penyemangat

    ReplyDelete
  6. Memang betul ya Mba kalau kita nggak bisa pukul rata keadaan orang lain dengan kegoisan kita. Aku yakin banget kok Mba, kalau Mba sama anak-anak mampu melewati ini semua dengan segala rintangannya. Tetap semangat ya, Mba dan jangan pernah putus harapan. Ada Allah, yang melihat dan menjaga kita. Jaga Allah, nanti Allah jaga kita Mba. Berharap pada manusia bikin lelah hati.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya Allah, makasih banyak Ibuk sayang, betul banget Allah sebaik-baiknya tempat bergantung :)

      Delete
  7. Semangat mba Rey, inspiring banget baca curhatan mba ini 🥺 Semoga Allah lancarkan segala proses dan perjalanan keluarga kecil mba Rey yaaah

    ReplyDelete
  8. Semangat mba Rey, inspiring banget baca curhatan mba ini 🥺 Semoga Allah lancarkan segala proses dan perjalanan keluarga kecil mba Rey yaaah

    ReplyDelete
  9. Halo mbak rey sudah lama ga berkunjung dan terkejut baca ini. Seperti patah hati saya tuh��
    Mbak rey semoga apapun yang mbak rey dan keluarga hadapi Allah beri kekuatan dan kemudahan untuk menjalaninya. Aamiin
    Apapun keputusan mbak rey pasti yang terbaik untuk semuanya. Terima kasih sudah sharing mbak rey.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo juga Mba :)

      Aamiin, makasih juga udah membaca :)

      Delete
  10. Terharu bacanya Rey. Dari dulu aku selalu salut karena kamu bener2 strong woman :(. Aku menyayangkan ada org lain yg sampe menuliskan wanita yg ga berani bercerai adalah rendah. Terlalu judgemental penilaiannya.. dia blm ngerasain ada di posisi wanita yg seperti itu :(.

    Aku ngerti banget alasanmu. Dulu aku memang sempet heran, bingung kenapa ga pilih pisah aja. Tapi lama2 aku sadar, alasan orang bercerai itu beda2. Ada wnaita yg dipukuli trus2an, tapi dia bertahan dengan harapan suami mau berubah, ato cintanya yg teramat besar, ato demi anak2nya. Juga alasan Krn dia ga akan bisa mandiri jika sampe pisah dr suaminya yg kasar :(. Sedih, tapi toh realita seperti itu ada. Apalagi ga ada support dari keluarga.

    Makanya aku ga berani utk ngejudge seenaknya orang2 yg terlihat menjalani kehidupan toxic tp ga mau berpisah dr pasangan. Mereka pasti ada alasan kuat kenapa begitu.

    Aku cuma bisa doain utk kamu dan anak2, semoga selalu dilindungi Allah dan dipermudah segala urusan ya Rey. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. HUhuhu makasih banyak Mba.

      Iya, mungkin juga hal yang bikin saya masih bertahan, karena nggak sampai dipukulin sih, kalaupun dipukulin, saya balas dong hahahaha.

      Tapi memang sih, jangan sampai juga bertahan meski udah dipukulin, walaupun saya yakin banget semua wanita bertahan itu punya alasannya tersendiri :)

      Tengkiu so much Mba atas doa dan semangatnya :)

      Delete
  11. Mom Rey aku sama sekali tidak berpikir negatif tentang tulisan ini. Yg dikatakan disini benar semua, perempuan itu butuh tangki cintanya full just itu, iabtidak masalah jika harus kekurangan uang ia akan sabar, asal laki2 terus mengisi tangki cintanya. Seringnya para suami memang hanya berpikir itu2 saja harus cari uang banyak agar bahagia sekalipun harus meninggalkan rumah dengan lamanya. Ia kurang mengerti bahwa berumah tangga itu seperti tanaman. Harus selalu dipikhara, di sirami, diberi pupuk, agar kelak tanaman itu tumbuh indah, subur dan menghasilkan buah yg baik pula. Mungkin paksu hanya memikirkan pembelian pupuk nya saja.
    Bersabar atas pernikahan yg toxic merupkan surga terbesar untuk momrey. Seperti yg pernah aku bilang , jangan dipikirkan suami mau berlaku apapun menganggapnya tidak ada itu lebih baik. Meski terkadang ada saat2 negens jika mengenangnya. Terutama saat PMS, Kelelahan atau setelah melihat/mendengar mereka yg pernikahanya lebih baik drpd kita. Toh menikah lagi, ganti lelakintidak menjamin kebahagian. Cobaan akan selalu ada. Namun jika ini pilihan dirimu. Kuatlah mom Rey paksu tidak sezalim firaun. Asiyahbsangat soleha memiliki lelaki kejam. Namun aku percaya yg lebih mengenal baiknya paksu momrey sendiri ketimbang netizen. Momrey apapun yg km putuskan sebagai sesama perempuan aku dukung saat dirimu butuh dukungan, dan saling reminder namun tidak menyudutkan. Banyak berdoa, karena yg mampu menolak balikan hati manusia hanya Allah. Kita hanya bertugas mengingatkan saja. Semoga menjadi ratu para bidadari surga momrey.. aamiin allahuma aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masha Allah, makasih banget MomBel sayang, means a lot buat saya.
      Aamiin ya Allah, semoga Allah melindungi dan memberikan ketenangan hati, kekuatan untuk kita menjadi wanita lebih baik, aamiin :)

      Delete
  12. aku percaya mba Rey wanita strong dan yakin bisa melalui semua dengan baik.
    luvvv mba rey & send virtual hug

    ReplyDelete
  13. Akhirnya baca jawaban setelah sebelumnya cuma baca beberapa status di FB yang muncul di . Pas baca sambatan Mbak Rey di FB, terlintas pertama di pikiranku bukan pertanyaan "kenapa nggak cerai aja sih" yang cenderung "menyuruh". Tapi "kenapa nggak cerai" yg bener2 why??
    Karena setiap pilihan sikap pasti ada latar belakangnya ya kan Mbak.
    Dan Mbak Rey pasti cukup independent untuk membuat pilihan yang tampak dependent.
    Aku hanya pembaca tulisan2 Mbak rey, nggak tahu bener2 seperti apa "sepatu" yang sedang Mb Rey kenakan.
    Hanya mendukung dan mendoakan dari jauh.
    Salam dari jauh untuk Mbak rey dan anak2

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaahh, tengkiu Mba :)
      Salam juga ya, makasih atas doa dan dukungannya :)

      Delete