Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berhenti Membandingkan Anak, Mulai Berkaca pada Diri Parent

Konten [Tampil]

membandingkan anak

Ketika melihat ada anak-anak yang hebat, apalagi yang sebaya dengan anak kita, sebagai parents seringnya kita tergoda baik sadar maupun tanpa sadar untuk berkomentar,

"Liat tuh si Anu pintar banget, sopan pula sikapnya, kamu harusnya kayak gitu!" kata parents kepada anaknya.

Saya pernah melakukannya kok, tanpa sadar membanding-bandingkan anak sendiri dengan anak orang tersebut.

Tapi sekarang saya mencoba mengontrol sikap dan omongan diri, dengan hal yang lebih tepat guna. Salah satunya dengan kepo akan parenting yang anak itu dapatkan dari parents-nya, sehingga dia tumbuh jadi anak kek gitu.

Dengan kata lain, saya fokus ke tugas saya sebagai parents dulu, bukan hasil dari tugas saya, yaitu sikap anak.

Ini penting banget untuk menghindari blunder nya hal-hal lain di depannya. Misal, sikap anak semakin sulit dikendalikan, semakin jauhlah dari harapan kita sebagai parents.

Giliran anak bisa diajak komunikasi, dia hanya menjawab kalau semua itu dia lakukan dari mencontoh sikap kita, yang selalu sibuk melempar tanggung jawab kita ke anak.

Maksudnya gini, seharusnya kan anak-anak itu layaknya kertas putih, kita lah yang mengisi kertas itu melalui pengasuhan yang baik dan efektif.

Dan pengasuhan yang baik dan efektif itu ya mencontohkan.

Ketika hasilnya masih kurang dari ekspektasi kita, tentunya akan lebih bijak, kalau kita menanyakan ke diri sendiri, kira-kira apanya ya yang kurang dari pengasuhan kita?. Bukannya hanya sibuk melemparkan masalah itu ke anak, dengan pertanyaan khas 'membanding-bandingkan' anak dengan yang lain.

Masih untung kalau anaknya tidak langsung menjawab dengan tajam,

"Ya tanyakan saja ke anak itu, bagaimana ayah ibunya mendidiknya, mungkin kah beda dengan didikan ibu?" 

Nah, loh!

Baca Juga : Mengapa Nggak Pulang Ke Rumah Ortu Sih?


Kebiasaan Parents Membanding-Bandingkan Anak

Disengaja atau tidak, kita semua tau bahwa ada banyak parents yang sering membanding-bandingkan anaknya dengan yang lain.

Entah memang udah menjadi pengalaman hidupnya sejak kecil sering dibanding-bandingkan oleh parents nya juga. Atau memang lingkungan yang tanpa sadar membuat parents tanpa sadar melakukan hal tersebut.

Ada beberapa hal yang sering dilakukan parents dalam membandingkan anaknya, di antaranya:


1. Membandingkan Anak dengan Anak Lainnya

Hal yang paling sering dilakukan oleh parents adalah membandingkan anak sendiri dengan anak orang yang lebih baik. 

Liat anak orang lebih berprestasi dari anak sendiri,  

"Liat tuh si Anu, bisa dapat juara 1, punya prestasi, kamu kok nggak bisa sih!"

Sering banget kan hal seperti ini, saya pun pernah beberapa kali melakukan, meskipun saya sadar akan dampaknya, namun saat itu saya berpikir melakukan hal itu agar anak mau berpikir dan terinspirasi.

Sekaligus karena rasa lelah saya mengurus anak-anak sendirian, padahal hal tersebut harusnya nggak dijadikan sebuah alasan.

Kenyataannya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Liu, Kvintova & Vachova di tahun 2025 ini membuktikan, bahwa anak akan cenderung memiliki harga diri lebih rendah dan merasa kurang berharga jika diperlakukan demikian. 

Memang dengan demikian anak bisa lebih optimis, tapi optimismenya hanya sedikit mengurangi dampak negatifnya, tidak sepenuhnya.


2. Membandingkan Anak Dengan Saudaranya

"Mengapa sih kamu kayak gini? liat tuh adikmu, dia lebih baik dan nurut!"

"Kamu kok susah banget diajarin, liat tuh kakak kamu lebih pintar!"

"Makanya, belajar tuh sama adikmu!"

Dan semacamnya.

Sering banget kan kita mendengar bahkan mungkin melakukannya, termasuk saya juga pernah, hiks. Padahal ya, ketika parents sering membandingkan satu anak dengan saudaranya, maka anak yang dianggap “kurang”, akan lebih rentan mengalami konflik dengan parents, dan juga menunjukkan perilaku negatif seperti membantah, berbohong, hingga menarik diri.

Hal ini berdasarkan penelitian dari Jensen, McHale & Pond, di tahun 2018.


Dampak Membandingkan Anak

Selain 2 dampak di atas, berdasarkan beberapa penelitian, berikut dampak yang akan dialami anak yang sering dibanding-bandingkan, yaitu:


1. Orientasi Perbandingan Sosial Parents dan Keputusan Anak

Berdasarkan penelitian Yen, Deng & Jin di tahun 2021, bahwa parents yang punya kebiasaan membandingkan anak dalam hal prestasi atau kecerdasan, bisa berdampak anak jadi selalu berhati-hati dan takut gagal.

Akibatnya, anak jadi kesulitan menuruti passion-nya, dan hanya bisa memutuskan sesuatu untuk menyenangkan parents-nya, tanpa dorongan dari dirinya sendiri.


2. Perbandingan Sosial dan Kecemasan Parents Terhadap Belajar Anak


Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Qiuyue Yang, Jianjun Gu dan Jon-Chao Hong, menjelaskan bahwa parents yang sering membandingkan anaknya dengan teman sekelas (terutama dalam hal nilai dan prestasi), berdampak anak mengalami kecemasan tinggi dan mempengaruhi hasil belajar anak.

Akibatnya, hubungan antara parents dan anak menjadi tegang, karena banyaknya tekanan yang ada.


3. Perbandingan sosial dan jumlah anak

Parents yang sua membandingkan anak juga biasanya dipengaruhi oleh jumlah anak yang banyak. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa parents yang punya lebih banyak anak biasanya lebih rentan melakukan perbandingan sosial (baik antar anak maupun dengan anak lain di luar keluarga). 

Penelitian ini menunjukkan bahwa hal itu menurunkan rasa kompeten parents sendiri dan meningkatkan kelelahan emosional.


4. Perbandingan Kondisi Keluarga dan Harga Diri Remaja

Bukan hanya itu, kualitas hubungan dalam keluarga (kehangatan, komunikasi, dan penerimaan) juga memiliki pengaruh paling besar terhadap harga diri dan kesehatan mental remaja. 

Jadi, fokus utama sebaiknya bukan pada “hasil” anak, namun pada lingkungan parentsng yang suportif.


Membandingkan Anak dan Cerita Parenting By Rey

Seperti yang saya ceritakan di atas, saya pun pernah bahkan kadang masih melakukan hal-hal yang membanding-bandingkan anak. Meskipun hal tersebut sebenarnya hanyalah output lain dari rasa lelah dan burnout saya mengasuh anak sebagai single fighter mom.

Baca juga : Apa itu Single Fighter Mom?

Saya terlalu capek mengasuh anak, jadinya pengen pakai jalan pintas, yaitu memberikan rasa selalu ingin berkompetisi pada anak. Nyatanya ternyata hal tersebut salah.

Si Kakak khususnya yang paling banyak mengalami luka akibat sikap saya yang membandingkan dia dengan temannya, atau adiknya. Akhirnya tumbuh jadi anak yang lebih tertutup dan terlalu banyak pertimbangan sehingga nggak berani memutuskan bahkan mencoba sesuatu.

Karena itulah, saya terus belajar dan berusaha menjadi ibu yang lebih baik buat mereka, salah satunya dengan berusaha untuk selalu berpikir agar saya fokus ke tugas saya sebagai parents, bukan hanya ke hasilnya pada anak.

Misal, ketika saya melihat anak lain lebih unggul, lebih sopan, lebih disiplin. Hal pertama yang saya katakan bukannya membandingkan dengan anak-anak saya, tapi bertanya-tanya bagaimana pola asuh kedua parents-nya sehingga anaknya bisa tumbuh jadi anak hebat seperti itu.

Saya juga mencoba mendiskusikan hal tersebut kepada anak-anak, sekarang sih lebih banyak ke si Adik, dengan bahasa yang mudah dimengerti olehnya tentunya.

Bagaimana anak tersebut jadi hebat, parents-nya ngapain aja ya?. Dan hasilnya amazed sih, si Adik dengan sendirinya merasa harus mengikuti sikap temannya yang baik tersebut, tanpa saya bandingkan ataupun minta.

Meskipun perubahannya masih sangat kecil, tapi saya tetap fokus ke diri sendiri, bagaimana menjadi parents yang baik. Itu jauh lebih mudah dan tenang, ketimbang hanya terus menuntut anak harus begini dan begitu.

Benar ya kata orang bijak, being a parents itu adalah proses belajar seumur hidup.  Apapun itu, semoga kita bisa menjadi parents yang meninggalkan memori indah dan terbaik bagi anak-anak kita.

 

Kesimpulan dan Penutup

Membandingkan anak dengan anak lain mungkin terasa sepele, bahkan sering dianggap sebagai cara agar anak termotivasi. Namun dari berbagai penelitian, jelas terlihat bahwa kebiasaan ini justru menimbulkan efek sebaliknya.

Anak-anak yang sering dibandingkan lebih rentan kehilangan kepercayaan diri, merasa tidak berharga, bahkan takut gagal. Mereka cenderung menekan diri untuk menyenangkan parents-nya alih-alih mengejar hal yang benar-benar mereka sukai.

Tak hanya berdampak pada anak, parents pun bisa ikut terjebak dalam kecemasan sosial, khususnya ketika membandingkan nilai atau prestasi anaknya dengan anak lain (Yang, Gu & Hong, 2021). Lama-kelamaan hubungan parents dan anak menjadi tegang, karena hubungan yang seharusnya hangat berubah menjadi kompetisi yang penuh tekanan.

Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa kebiasaan membandingkan sering muncul karena kelelahan emosional dan jumlah anak yang banyak (Zhang dkk., 2021). Artinya, sumber masalah sebenarnya bukan pada anak, tapi pada cara pandang dan kondisi psikologis parents sendiri.

Sebagai parents, kita memang ingin yang terbaik untuk anak-anak. Namun, cara terbaik untuk membantu mereka tumbuh bukan dengan membandingkan, melainkan dengan menjadi contoh nyata dan fokus memperbaiki diri sendiri.

Seperti kata pepatah, anak bukan pendengar yang baik, tapi peniru yang ulung. Jadi, sebelum berkata “lihat tuh si Anu lebih baik,” mari belajar berkata “yuk, kita sama-sama jadi lebih baik.”

Karena pada akhirnya, being a parent is a lifelong learning journey.

Dan perjalanan ini akan jauh lebih indah ketika dijalani dengan penuh kesadaran, cinta, dan keteladanan, bukan perbandingan.


Baubau, 23-10-2025

Sumber referensi:

  • https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2025.1473318/pdf diakses 23 Oktober 2025

Post a Comment for "Berhenti Membandingkan Anak, Mulai Berkaca pada Diri Parent"