Ketika Anak-Anak Dihadapkan Ekspektasi Nenek Generasi Baby Boomers
Sudah mulai memasuki bulan ke-4 kami, saya dan anak-anak tinggal di rumah nenek. Dan akhirnya sampai juga di masalah yang sebelumnya sudah saya takutin, ketidak samaan pola pikir dalam menilai sikap anak-anak.
Padahal sebelum pulang ke rumah nenek, anak-anak, khususnya si Kakak, sudah saya sounding berulang kali tentang kondisi di sini.
Saya juga memperingatkan si Kakak, bahwa ketika hidup di rumah nenek, itu berarti dia akan dihadapkan dengan ekspektasi nenek terhadap si Kakak yang luar biasa.
Mulai dari masalah agama Islam, di mana nenek adalah salah seorang yang kesal ketika kami menyekolahkan si Kakak di SDI Raudlatul Jannah Sidoarjo yang memang terbilang mahal buat kami.
Dan setelah si Kakak lulus, besar harapan nenek, agar kakak jadi ulama *eh. Maksudnya nenek selalu berharap si Kakak jadi anak super alim, paham dan hafal semua ilmu agama, karena dia kan sekolah di sekolah Islam mahal.
Kasian si Kakak yang sering mendapatkan komentar pakai kata 'bodoh', di mana memang sih di Buton sendiri, orang tua sering menggunakan kata tersebut. Tapi saya sebagai ibu yang udah lama tinggal di Surabaya, sungguh merasa terganggu dengan kata-kata itu.
Contohnya ketika si Kakak ikut lomba adzan ketika ramadan tapi nggak menang, demikian juga lomba hafalan al-quran dan nggak menang.
Dan gong-nya adalah, ketika nenek berharap anak-anak, khususnya si Kakak bisa jadi anak yang ramah dan rajin kepada nenek, seperti saudara sepupunya (anak kakak saya).
Fyi, anak-anak kakak saya memang lebih ramah, khususnya anak bungsunya. Ketika bersama neneknya, dia akan dengan rajin mendekati nenek, bertanya apa yang bisa dibantu.
Itu wajar, karena ayahnya adalah seseorang yang ramah, yang suka basa basi, dan tentunya anaknya bisa dengan mudah mencontoh hal itu.
Meanwhile anak-anak saya sudah terlalu lama nggak pernah lama ketemu orang lain, kesehariannya di rumah saja, hidup bersama saya saja yang memang telah tumbuh jadi orang yang introvert, nggak suka banyak ngomong, karena kondisi masa kecil saya.
Selain itu, memang keturunan dari mama yang nggak ramah dan nggak terlalu pandai basa basi, melekat di saya.
Jadi, jujur saya kecewa banget, ketika neneknya berekspektasi tinggi ke anak-anak, agar mereka bisa ramah, padahal neneknya sendiri nggak ada ramah-ramahnya sama sekali, alergi ketemu orang dan lebih senang ngendon di rumah.
Neneknya dan tantenya bolak balik menegur saya, dan jujur sebagai ibu, tentu saja saya sudah menasihati anak-anak agar ramah dan bertanya ke nenek. Tapi ya gimana dong, tidak mudah mengubah karakter anak-anak, apalagi nggak ada contoh untuk itu.
Alhasil, saya stres sendiri, bolak balik memarahin anak-anak, terutama memarahi si Kakak.
Selain ekspektasi nenek yang merupakan generasi baby boomers, ekspektasi anak-anak saya harus seperti saya juga jadi ujian buat anak-anak. Saya yang ketika kecil dulu jarang diperhatikan, tapi nggak pernah bikin mama repot. Saya yang tidak pernah hidup tanpa produktif, setiap hari harus belajar atau bekerja.
Jadi, dulu tuh saya punya taman yang bagus di depan rumah, karena cuman hal itu yang saya bisa lakukan. Jadi kalau malas belajar, saya pasti ngerawat taman.
Bangun tidur pun selalu ada yang dikerjakan dulu, nyapu dulu, baru deh sarapan dan berangkat sekolah.
Nah, anak-anak tuh udah terbiasa sekolah di Surabaya yang masuk pukul 06.30 dan itu berarti pukul 6.00 harus udah berangkat.
Jadi, mereka bangun pukul 04.45, shalat subuh, sarapan, mandi lalu langsung berangkat sekolah. Nggak ada tuh kerjaan menyapu dulu, beberes dulu, ya selain beresin tempat tidur sih.
Lagian, selama di Surabaya, kami tinggal di kontrakan yang sempit, jadi yang namanya pekerjaan rumah tuh sangat minim. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. Apalagi di Surabaya, akses buat mendapatkan buku bacaan tuh banyak. Bisa beli di Gramedia saat maminya dapat job event toko buku tersebut, bisa juga pinjam ke Perpusda.
Nah, di rumah neneknya beda.
Karena bukan di kota, tentu saja rumahnya lumayan luas, halaman juga luas, mana tantenya (kakak saya) nitip pelihara in ayamnya di situ, jadilah nambah kerjaan anak-anak.
Anak-anak yang tidak terbiasa dengan kerjaan rumah lebih banyak (ingat lebih banyak dan baru ya, karena sebelumnya nggak pernah punya taman dan rumah sempit doang), tentunya butuh waktu banget buat mereka bisa beradaptasi dengan pekerjaan tambahan.
Dan ini menjadi masalah buat mereka, melalui maminya.
Saya jadi sering kena teguran karena anak-anak lebih banyak baca buku, belum lagi kadang beberes kesorean, keasyikan bercanda atau baca buku, jadinya mandipun kesorean.
Neneknya protes dan cerita ke tantenya, tantenya lalu negur saya, dan maminya yang sensitif ini jadi makan hati sehingga akhirnya ngomelin dan marahin mereka bolak balik.
Jadi kata siapa anak-anak akan punya mental yang bagus dan membaik ketika berada di rumah neneknya, yang ada beban mental mereka lebih berat dibanding ketika sebelumnya menghadapi permasalahan penelantaran keluarga oleh papinya.
Begitulah, saya pikir memang tempat terbaik buat anak-anak tuh adalah hanya bersama orang tuanya lengkap, ada ayah ibunya. Setidaknya nggak ketambahan harus memikul ekspektasi dari neneknya yang tentunya lebih tinggi ala generasi baby boomers.
Elweel, 18-04-2025
Post a Comment for "Ketika Anak-Anak Dihadapkan Ekspektasi Nenek Generasi Baby Boomers"
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)