Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pasangan itu Partner, bukan Proyek

Konten [Tampil]
Pasangan itu Partner, bukan Proyek

Parenting By Rey - Pasangan itu adalah partner hidup, bukan sebuah proyek hidup, sebuah kalimat yang sangat saya setujui dan saya alami, ketika melihat sebuah quote di beranda medsos.
"Women. You are not rehabilitation centers for badly raised men. It's not your job to fix him, change him, parent or raise him. You want a partner not a project"

Demikian kira-kira bunyi quote tersebut yang sepertinya sih merupakan pernyataan yang dilontarkan oleh aktris Hollywood terkenal, Julia Robert.
"Warning! ini curhatan saya, silahkan skip kalau nggak kuat bacanya!"

Pernyataan itu benar-benar pas buat saya, yang merasakan seperti ada sesuatu yang mengganjal, dari beberapa nasihat atau masukan orang, tentang memahami suami.

Iya, kehidupan saya menjadi sangat keras, ketika suami berubah.
Gimana enggak ya, seseorang yang telah saya titipkan semua hidup saya di tangannya, seluruhnya.
Tapi akhirnya menyerah, hanya karena dia merasa gagal.

Iya, saya tahu banget, kalau paksu itu sedang depresi.
Karena dia merasa tak pernah bisa membahagiakan saya selama pernikahan kami.
Bayangin aja, selama 12 tahun dan dia (seakan) tak punya apa-apa (padahal ya still have istri yang setia, dan anak-anak yang tetap mencintainya).

Tapi, entahlah.
Lelaki mungkin merasa hidupnya belum lengkap tanpa kesuksesan.
Ya makanya dikejar dengan serius kesuksesannya, Bwambang!

Lah mengeluh hidupnya nggak pernah berubah, tapi apa yang dia lakukan nggak pernah dia ubah.
Tetap aja cuman mengandalkan waktunya yang sebagian besar dihabiskan di pekerjaannya.

Akan tetapi, pola pikir, pola kerja, dan yang paling penting, kuncian kesuksesan itu, yaitu ridha dari Allah, nggak pernah benar-benar dia kejar.

Terus marah setelah nggak sukses.
Padahal sholat Subuh dan Isha nyaris nggak pernah dilakukan, apalagi shalat kuncian rezeki di Dhuha atau kuncian kesuksesan di Tahajud?
Situ waras, Bwambang? hahaha.

Ya karena merasa tidak sukses, dia jadi ingin menyerah, tapi perlahan, membuat saya membencinya, membuat saya jadi tak berharap lagi kepadanya.

Tapi anehnya ya, ketika saya ucapkan, bahwa kita adalah partner aja, setidaknya sampai anak-anak bisa lebih ngerti nanti.
Eh dia marah dong ya.
Katanya, 
"Kamu nggak nganggap saya suami"
Laaahhh, menurut pangana jo???
Tanya aja sama semua teman-teman saya, menurut mereka, saya masih punya suami nggak?
Jika saya sakit sampai nggak bisa jalan, dan dia (katanya) kerja di Suramadu, kami tinggal di Taman, Sidoarjo, tapi dia nggak mau pulang.

ITU SUAMI, BUKAN?

Saya sendirian loh, nggak ada tetangga yang bisa bantu, nggak ada juga teman yang bisa bantu, karena saya juga bakal nolak karena kami bisa jadi memang positif Covid-19.

Intinya, sejak tahun lalu, eh bahkan 2 tahun lalu sih ya, kelakuannya udah di luar batas kewajaran.
Udah bukan lelaki yang pernah saya kenal lagi.
Lalu memang hati kecil saya berbisik, kalau dia memang ingin menyerah, tapi nggak mau frontal, dia ingin saya yang pergi, agar namanya tetap bersih di mata semuanya.

Dia begitu, karena depresi.
Saya yang memang pernah dan sering merasa depresi (karena dia juga), tahu hal itu.
Tapi satu hal juga yang saya ketahui, bahwa orang depresi itu hanya bisa disembuhkan oleh dirinya sendiri, atau dirinya membiarkan orang lain untuk membantunya.

Tapi nyatanya enggak, dia sama sekali menolak semua bantuan, bahkan saya udah berkali-kali memohon sama bapaknya, agar bisa mengatakan kepadanya, agar berbagi masalahnya, biar bisa selesai, bapaknya, satu-satunya sosok yang dia hormati.
Tetap saja nggak bisa, dan bapaknya pun memahami aja.

Lah sama aja kagak ada jalan keluar kan ye.


Suami kurang Kuat Mental dan Depresi, Istri yang Dipaksa Mengerti


Sejujurnya, masalah paksu itu banyak.
Nggak cuman banyak, tapi buanyaaaakkkkkkkk banget.
Dan jujur saya muak sama masalahnya, yang nggak mau dia bagi, tapi juga nggak bisa dia selesaikan dengan baik.

Pasangan itu Partner, bukan Proyek

Akhirnya, saya yang kena batunya.
Baik dari pihak masalahnya itu, maupun dari pihak rasa depresinya.

Masalah ini sebenarnya masalah lama, yang pernah kami alami ketika 5 tahun pernikahan.
Tapi ketika itu, dia masih bisa bekerja sama dengan baik, dia mau berbagi, dan Alhamdulillah, masalahnya selesai hanya dalam satu tahun saja.

Setelah itu, meskipun masalah itu meninggalkan bekas luka mendalam di saya, tapi kami baik-baik saja, karena you know me kan ye, saya tuh tipe orang yang nggak suka mutung di tengah jalan.
Jika pilihan udah dijatuhkan, apapun kesulitan dan resikonya, saya tetap melangkah maju.

Masalah, kembali muncul, karena karakternya memang membuat masalah itu jadi ada, terlebih setelah dia memutuskan menutup rapat masalahnya, jadinya makin menggelembung di dalamnya.
Tahu nggak sih, jika wanita normal, sudah akan berhenti, karena kami itu sesungguhnya udah berada di samping jurang, udah tergelincir bahkan, hanya saya yang masih mau berusaha berpegang pada akar-akar yang tipis, berusaha naik meski saya digelondotin beban yang sangat berat.

Dan di atas sana, semua teman-teman beramai-ramai mengulurkan tali, berusaha menolong saya, dengan syarat agar saya melepaskan beban itu, karena saya juga berharga, dan saya berhak hidup lebih baik.

Duh udah kek hayalan sinetron nggak sih? hahaha.

Seperti itulah keadaan saya.
Punya suami yang nggak punya tujuan hidup dengan jelas, nggak punya kompeten yang lebih untuk membuktikan keinginannya, tapi tetap nggak mau berbagi masalah yang ujung-ujungnya menyerang saya itu.

Yang ada, saat keadaan benar-benar mendesak, seperti sekarang saya sakit dan memerlukan pengobatan, yang dia lakukan justru pergi begitu saja, sembunyi entah di mana, masih sempat juga main medsos, motret-motret, selfie-selfie dan upload-upload.

Kebayang nggak sih jika ada yang jadi saya, bahkan saya mengetik ini dengan perlahan, karena jari saya sakit, tulang saya nyeri, berjalan tertatih dan terbungkuk-bungkuk, tapi saya udah bosan tidur meski nggak bisa pulas, karena anak-anak selalu butuh bantuan.

Dan dia di sana, malah sibuk main medsos.
Hmmmm..

Tapi tenang saja, kemaren saya baper dan sedih banget karena itu, namun seiring waktu, support teman-teman tetap mengalir buat saya, dan sungguh menguatkan saya.
Semua mengatakan, agar saya fokus ke diri sendiri, fokus akan kesembuhan, dan sejenak melupakan hal yang menyakitkan.

Dan iyes, Alhamdulillah teman-teman berhasil membuat saya menjadi seperti itu.
Dan karenanya, saya berani menuliskan hal ini, yang insha Allah bukan karena saya benci, tapi karena saya ingin mengemukakan alasan, bahwa saya juga berarti, saya juga berhak bahagia.

Dan semoga saya, pembaca mengerti tentang apa yang saya tulis ini, bukan semata ingin membeberkan aib suami.
Sesungguhnya aib itu adalah sesuatu kekurangan yang di luar kendali kita, lalu disebarkan.

Namun, untuk sebuah sikap, yang sebenarnya masih bisa kita memilih, mau bersikap baik atau buruk, dan tetap memilih hal buruk, itu mah bukan aib, tapi sikap dzalim yang egois.

So, saya tahu, tulisan ini mungkin dibaca oleh paksu atau keluarganya, dan semoga mereka paham apa masalahnya, meskipun jujur udah sering banget hal ini saya beritahukan kepada keluarganya, bapaknya, kakaknya.

Tapi mereka lebih memilih mengerti paksu itu, dan itu malah makin menenggelamkannya dalam masalah yang berulang, yang saya yakin keluarganyapun udah bosan dengan masalahnya.

Iya, dia depresi, kecewa pada dirinya sendiri.
Tapi dia nggak mau kalah dengan egonya yang tak berpeluang itu.
I mean, dia stres nggak bisa membahagiakan anak istrinya, padahal ya saya udah bilang sejak awal.
Saya menikah dengannya, bukan baru kenal, saya kenal dia.
Dan jika memang di perjalanan ada yang salah, saya siap kok bersama-sama memperbaiki.

Kebahagiaan saya, bukan hanya di saat dia bisa beliin saya emas permata (karena saya tahu dia belum mampu untuk itu), tapi saat dia menjadi lelaki yang pertama kali saya kenal, yang mau menjadi partner yang baik buat saya dalam menjalani hidup ini.

Ada masalah, ya udah kita selesaikan bareng.
Marah-marah?
Ya wajar lah ya, saya juga manusia yang punya amarah, ketika saya udah berusaha sedemikian rupa, tapi partner seringnya mengacaukannya.

Tapi, bukan masalah marahnya yang cuman sebentar itu, yang paling penting adalah, bagaimana ke depannya, fokus ke solusi.
Dan itu yang jadi masalah, dia nggak mau berbagi, tapi hal itu makin menggelembung, lalu dia melepaskan begitu saja, lari dari kenyataan.

Dia, dan beberapa orang, mengharapkan saya menjadi istri yang penuh pengertian.
Istri yang bagai malaikat.
Yang bisa memahami keadaannya, yang nggak marah-marah menambah bebannya.
Yang memberikan dia kesempatan menyendiri ketika dia sedang ingin menyendiri, tak peduli bom atom meledak, kayak kemaren saya butuh banget bantuan karena sakit, dan dia nggak datang sama sekali, kirim uang pun tak ada.

Keluarganya?
Mungkin udah bosan sih ya, dan saya tidak menyalahkan mereka untuk itu.

Tidak ya!
Itu terlalu berat untuk saya.
Saya yang sudah meletakan semua hidupku di tangannya, sejak awal bertemu dengannya.
Saya tak pernah pergi dong, meski kami selalu saja hidup kekurangan.
Saya yang rela melupakan ortu demi dia bisa tetap dekat ortunya.
Saya yang merelakan semua masa depan saya demi bersama dia.

Karena bukankah pernikahan itu begitu ya?
Kebersamaan dalam suka dan duka?

Dan dengan semua itu, saya masih dituntut lagi untuk mengerti dan memahami sikap labilnya yang bagaikan bukan sikap lelaki itu?

Saya rasa siapapun yang menyalahkan seolah tidak memberikan pengertian terhadapnya, tidak mau bersabar kepadanya, sungguh itu adalah patriarki yang sesungguhnya.


Suami itu Partner, bukan Proyek buat Istri 


Iya, seperti kata Julia Robert.
Bahwa, lelaki itu adalah partner wanita dalam berumah tangga.

Bukan tugas saya untuk menjadikannya sebagai orang baik.
Bukan juga tugas saya, mengerti dia bagaikan orang tua yang mengerti anaknya.
Bukan tugas saya untuk seolah mendewasakan dia.

Bukan, saya adalah istri yang mana adalah partner, bukan pusat rehabilitasi bagi lelaki yang belum matang.

Itu tugas orang tuanya, seharusnya.
That's why mengapa wajib banget kita menjadi sosok manusia yang baik, setidaknya kita bisa menunjukan bahwa orang tua kita telah susah payah mendidik dan membesarkan kita.

Saya pun demikian.
Nama baik itu nomor utama bagi saya, karena saya meskipun adalah saya, tetap saja saya membawa nama baik kedua orang tua saya.
Karenanya, memaksa diri menjadi orang yang baik itu wajib, dan menjadikan pasangan kita sebagai partner hidup dalam menjalani kehidupan yang berat ini.

Iya, hidup ini berat, ngurus anak aja, masha Allaaaaahhh nyaris bikin saya gila, ketambahan lagi ngurus suami yang masih labil sikapnya?

Duh, lama-lama saya cepat mati, anak-anak terlantarkan deh.
Karenanya, perlakukan pasangan kita sebagai partner.

Jangan terus menerus menuntut mereka untuk memahami kita yang lagi stres atau labil.
Jangaaann...!
Hidup ini memang berat, tapi satu yang wajib kita sadari, bahwa sekarang, udah bukan waktunya lagi kita meratapi hidup.

Karena kita sekarang adalah orang tua.
Dari dua anak pula.
Menyekolahkan dan mengasuh satu anak aja masha Allaaaaaahhh bikin stres.
Apalagi dua?
Kalau enggak ada kerjasama, jelas bakal terasa lebih berat lagi.

Karenanya, kalau memang tujuannya ingin membuat saya membencinya, nggak masalah.
Saya nggak akan membencinya kok, saya cukup menjadi diri saya sendiri, yang mencintai diri saya, karenanya saya nggak akan peduli dengannya.

Tapi, jangan pernah lagi menuntut dengan perkataan.
"Nggak menganggap aku sebagai suami"

Lah ngana sendiri merasa jadi suami tak?       

Pasangan itu Partner, bukan Proyek

Demikianlah, jadilah manusia yang lebih baik, jadilah partner yang baik buat pasangan.
Bukan beban buat pasangan.
Bekerjasamalah dengan baik, terlebih kalau kau masih memiliki orang yang masih mau diajak kerjasama, meski sejujurnya saya jadi pengen nyanyi kek Isyana.
"ku tahu tak mudah jalani denganmu
kulewati dalamnya lembah hidup
mengartikan tujuan si langit biru"
 
Sidoarjo, 5 Februari 2021

#FridayMarriage

2 comments for "Pasangan itu Partner, bukan Proyek "